Ilustrasi: Internet


Oleh: Zakiyatur Rosidah*
“Jangan lupa bahagia”, demikian kalimat yang sering saya jumpai saat berselancar di dunia maya. Entah mengapa, akhir-akhir ini semarak sekali kalimat tersebut mewarnai sosial media. Atau, meskipun telah terunggah sebuah foto, pada kolom caption sang pengunggah akan mengungkapkan bahwa hidup sebaiknya dilakoni dengan bahagia. Kalimat tersebut sederhana, namun kenyataannya kita sering lupa untuk mempraktikannya dalam kehidupan.
Kadangkala, pikiran manusia itu sering berubah dari keinginan yang satu ke keinginan yang lain sehingga mengaburkan arti bahagia itu sendiri. Belum lagi keadaan psikologis manusia yang berbeda-beda sesuai latar belakangnya. Kondisi manusia memang naik turun. Baru beberapa detik kita merasakan kebahagiaan yang luar biasa, beberapa detik kemudian kita merasakan kesedihan bahkan penderitaan. Ya, begitulah kehidupan manusia.
Ada masa di mana seseorang melakukan sesuatu demi menyenangkan orang lain, memenuhi target-target mereka, sesuatu yang bahkan bertentangan dengan suara hatinya. Seseorang juga cenderung berbuat karena sebuah tuntutan, atau keterpaksaan sehingga mereka tidak menemukan kebahagiaan di sana.
Kebanyakan dari kita mengartikan bahagia dari sisi indikatornya. Contohnya punya banyak uang, pekerjaan yang pasti atau jabatan yang tinggi. Tapi di sisi lain, ada juga yang punya banyak uang, sudah memiliki pekerjaan yang mapan, atau telah mencapai jabatan tinggi, tapi belum bahagia sepenuhnya. Lalu seandainya kita disuruh memilih; punya banyak uang atau bahagia? Bekerja di perusahaan besar atau bahagia? Mencapai jabatan setinggi bintang atau bahagia? Kita akan pilih mana?
Seandainya terpaksa didefinisikan, menurut saya bahagia adalah perasaan atau suasana hati yang terbebas dari rasa takut, ketidaknyamanan, cemas, bosan dan sedih.
Menyoal tentang kebahagiaan di tempat kerja, karyawan akan bekerja secara totalitas apabila mereka bahagia. Bagi mereka uang bukan merupakan hal utama. Memang kekayaan bisa mendatangkan kebahagiaan, namun tak ada jaminan bahwa jika kita kaya maka kita akan bahagia.
Ada sebuah penelitian yang mendukung kesimpulan bahwa kekayaan tak menjamin kebahagiaan. Dari literatur yang saya baca, peneliti dari University of Warwick dan Cardiff University, Inggris, melakukan penelitian mengenai hubungan kebahagiaan dan pendapatan seseorang. Ternyata seseorang yang memiliki pendapatan Rp 1 miliar setahun tak merasa bahagia ketika ia mengetahui tetangga atau temannya memiliki pendapatan lebih tinggi darinya.
Supaya kita tidak menjadikan kekayaan sebagai standar indikator kebahagiaan, Ungkapan Immanuel Kant bisa jadi renungan kita bersama. Ia mengatakan bahwa “bukan hanya semata-mata takdir yang mengharuskan kita bahagia, tetapi kitalah yang harus membuat diri kita berbahagia”. Mari kita introspeksi diri, perbanyak bersyukur dan harus menikmati apa yang kita punya. Ingatlah, kebahagiaan itu kita sendiri yang menentukan, bukan orang lain.

*penulis adalah Kru LPM Frekuensi angkatan 2016