Ilustrasi Internet


Oleh: Lianita Anggraini

“Oh ayolah! Kau akan tahu manfaat gedung ini, Kepala Suku!” tukas Kepala Pusat memaksa. “Untuk apa?” Kepala Suku ragu-ragu. “Tunggu dua tahun berikutnya, tapi kembaliannya Saya pinjam ya,” mereka berdua lalu sepakat mendirikan gedung dengan uang sisa yang dipinjam.


***


Sejak peristiwa dua tahun silam, di pelataran kota yang dipenuhi semak-semak belukar dan pepohonan menjulang tinggi dibangun oleh Pemerintah Pusat sebuah bangunan megah yang aneh. Suku Debil –yang memiliki daya pikir tidak lebih dari seorang anak dua belas tahun- diam-diam kerap mendatangi bangunan tersebut, dengan langkah bak seorang prajurit peperangan. Kepala Suku memberi aba-aba di tengah anak-anak suku dengan berteriak dan berjingkat. Nantinya, anak-anak suku akan memberikan respon yang sama, berjingkat dan berteriak. Oh, tidak! Berteriak dulu baru berjingkat.


Berbondong-bondong mereka menuju bangunan yang tersembul di antara pepohonan oak yang menutupi bagian depan gerbang berwarna putih dengan cat yang terkelupas sehingga warna karat sudah menjadi motif tersendiri untuk gerbang tak bersuara itu. Sudah ku bilang, bangunan ini baru dua tahun, namun rupanya ada dana beberapa yang mungkin saja dipinjam dulu oleh Kepala Pusat untuk memberi makan anak-istri yang senang berjalan-jalan ke antero Antartika. Suku Debil berharap besar beliau tidak lupa mengembalikan uang yang dipinjam, untuk dibagi rata dengan Suku Stoic dan para Anoman Majalengka. Tentunya, sedikit cipratan dana untuk Kepala Suku Debil yang bisa menahan tawanya saat Pak Kepala Pusat menegosiasi untuk mengembalikannya dana tanpa kasat mata. Bagaimana bisa?

Sukseslah rombongan yang terdiri atas hampir sepuluh orang itu melewati gerbang yang kuncinya di pegang oleh Pak Bon. “Braak..Braaak..Ngiiik..” itu suara terakhir yang ku dengar setelah teriakan “Huhu Heho” dan jingkatan bak monyet yang baru saja mendapatkan sebuah pisang berkulit cokelat-kuning. Bunyi karat itu menjerit, Ngik-nya semakin panjang. Kurasa napasnya sudah megap-megap minta air putih. Lalu, ada segerombolan pasukan kuda yang menyerbu pintu utama, ya, siapa lagi kalau bukan Suku Debil.

Kau tahu? Suku ini hanya berkisar 5-8 orang yang mendatangi sebuah bangunan megah hanya lebih kurang 5-8 orang atau seluruhnya. Ini mencengangkan, mereka semua sepakat menelanjangi gulungan-gulungan bergaun putih itu. Lalu di antaranya adalah: Einsten si pendiam dengan buah apel yang menyangkut di gusinya setiap petang; Syam yang juga pendiam, sayangnya poster wajah yang identik dengan orang tua itu benar-benar mengerikan ditambah luka sayat pada pipinya, kau tak akan suka berlama-lama memandang wajah yang lebih dari sekedar mimpi buruk; aku lupa sisanya siapa. Nantilah jika aku ingat akan ku sampaikan dalam paragraf lainnya.

Diam-diam si Einsten menyukai sekali rak biru tua yang pucuknya saja yang menyembul di samping rak berwarna cyan. Ia bisa lupa diri bahkan tidak sadar sudah setengah bulan ia belum mandi dan melupakan makan demi menyetubuhi gulungan bergaun putih-kekuningan mirip apel yang didiamkannya dari petang hingga fajar; itu menjijikan dan aku tahu, tapi kebenarannya seperti itu. Oh aku ingat! Einstens bersamaan dengan Hawking memperkosa gulungan cantik itu bersamaan. Menggemaskan kau tahu? Si tampan Hawking dan yang menggemar menjulurkan lidah –aku curiga, ia menutupi apel yang tersangkut di giginya- Einsten, kedua pasang mata yang dimiliki keduanya benar-benar sedalam black hole yang dalamnya aku saja tidak tahu, intinya sangat dalam.

Keduanya berteriak, semacam menemukan tanda tanya. Namun tak berjingkat, semacam menemukan tanda tanya baru. Kau lalu akan tersenyum masam jika sama-sama menemukan tanda tanya tetapi responnya berbeda, ayolah pahami itu dua suasana berbeda. Hawking berjalan menuju meja berisikan kertas putihnya John Locke, mungkin itu alasan mengapa muncul ide di kepala John Locke untuk mencetuskan ide “Tabula Rasa”-nya, karena ia seorang penjaga meja dan menjual kertas-kertas dengan harga yang terpantau sangat murah; dua dollar!

Pak Bon sudah pernah menegur si John bahwa gedung megah itu hanya akan terkotori dengan monopoli perdagangan kertas miliknya: “Sudahlah John, kau hanya mengotorinya jika kau bermain politik atas gedung berfaedah ini,” begitu tukasnya, dan John hanya tersenyum masam saja. Ia sudah gila uang, pikir Pak Bon. Lalu, John menjual kertasnya pada Hawking, sekali lagi 2 dolar untuk kertas satu meter itu.

***

Hawking berjingkat tidak berteriak, tangannya menggenggam kertas dengan harap-harap cemas Einsten akan marah karena menunggu terlalu lama. Sungguh kekanak-kanakan, ini baru lima menit setelah Hawking memutuskan untuk menemui Syam di sudut ruangan. Ia sedang bersembunyi dari incaran pengamanan Ketua Pusat. Katanya, ia PKI, Bahkan Hawking tidak mengerti perpolitikan kaum kuminis yang diceritakan Syam terkait alasan ia bersembunyi; Hawking hanya bersungut-sungut. Lalu berlalu.

“Sepertinya Syam sudah gila,” ujarnya ketika menemui Einsten yang mencoba mengeluarkan apel di giginya, “Apel ini benar-benar menambah probabilitas kegagalanku,” balas Einsten. Hawking menyerah, ia tak mau memperpanjang membahas Syam. “Tentu sudah ada Aidit, dibiarkan saja,” tambah Hawking. “Kalau bicara Hepatica aku akan berpendapat, sungguh gadis Athena yang menawan,” Einsten menggigil geli. “Baiklah, ayo kita mulai, kita akan berbicara tentang alam,” Hawking berdehem dua kali.

“Emmm, mengapa alam? Kau saja tak tahu ini gedung apa?” timpal Einsten. “Mana bisa kau tahu jika kau saja tak tahu tujuan kau hidup,” sunggut Hawking. “Apa kau benar-benar hidup? Atau sekadar merasa kau hidup?” selidik Einsten. “Atau kita hanya bayangan?” “Merasa bayangan? Oh, ayolah Hawking!”, Einsten mulai geram. “Lalu yang menjadikan hidup itu hidup apa?” Hawking menarik ujung pena lalu menggigitnya. “Tuhan?” ujar Einsten. “Tuhan itu apa?” Hawking terkesiap. Einsten diam sejenak; “Kata Tuhan menurutku tidak berarti apa-apa selain ekspresi dari produk kelemahan manusia,”. “Lalu bagaimana dengan kitab?”

 “Alkitab? Bagiku hanya sebagai kumpulan tulisan berharga, namun tetap saja primitif dan kekanak-kanakan. Dan tidak ada interpretasi secanggih apapun untuk merubah ini, begitu?” tanya Einsten. Hawking manggut. “Aku tak percaya Tuhan,”

“Oh, ayolah, jelaskan bagaimana bisa terjadi alam semesta, manusia, gedung ini, dan bintang-bintang?”, Einsten bergeser. Gulungan dari John ia biarkan menganga bak tanya. “Begini, alam semesta terjadi secara Big Bang, bahkan berproses secara Big Bang, kemudian mengembang dan mengerut lagi hingga tercipta black hole. Dan tidak ada campur tangan dari Tuhan,” Hawking duduk. “Lalu dimensi? Energi?” “Hubble pernah melakukan pengamatan,” gulungan bergaun putih diberikannya pada Einsten. Einsten membaca.

***


John melintas. Sepertinya suara gaduh berubah menjadi kesunyian, ia ingin tahu. “Halo Einsten dan Hawking!”, keduanya hanya melirik. “Ku beritahu sesuatu mau?” alisnya naik satu. Hawking mendekat. “Kau tau gedung apa ini?”, tanyanya. “Oh ayolah, ini gedung Kepala Pusat,” John tertawa. “Ya. Gedung hibah dari Kepala Pusat, Pak Bon memberitahuku namanya adalah “Perpustakaan”,” Hawking berkernyit. “Oh, semoga saja, Perpustakaan ini menjadi gudang rahasia gulungan-gulungan putih yang selalu menjadi tempat Suku Debil dan peranakannya,” “Ya, karena meski kerap dianggap dungu, saya rasa, dengan perpustakaan dan pikiran yang merdeka, akan lahir perubah dunia,” tambah Pak Bon yang berada di belakang mereka. John terkesiap, lalu tunggang-langgang bersembuyi. Hawking tersenyum getir.