Ilustrasi/ google.com


Oleh: Diah Ayu Safitri

Malam ini dunia sangat sepi, suara jangkrik bersautan di halaman rumah, terdengar hingga ke telinga kanan dan kiriku yang sedari tadi mendengarkan alunan musik. Aku seorang diri di sini, ditinggal pergi kakakku kemarin malam. Entahlah dia pergi ke mana, tapi kata orang, Tuhan lebih menyanyanginya. Jujur saja aku masih tak terima, aku gadis remaja yang belum siap ditinggal pergi, lagi. Tapi, apa dayaku? Begitulah takdirnya. Hari semakin larut, bunyi jam dinding semakin terdengar jelas, namun membuatku semakin tak bisa tidur, aku gelisah. Rasanya banyak sesak yang menyelimuti hati ini. Aku ingin menangis sekarang, tapi tak tahu menangisi apa, aku tak punya alasan. Hatiku mulai mati rasa.
Sedari tadi, aku hanya duduk dan termenung di atas dipan sembari melihat ke luar jendela kamar, menerobos langit malam yang gelap. Aneh sekali, malam ini tak ada bintang. Seolah mengisyaratkan bahwa langit ikut bersedih melihat kondisiku sekarang ini. Ah, tampaknya aku sangat menyedihkan. Sekian lama aku melamun, seketika air mengalir di pipiku. Aku bertanya-tanya dari mana asalnya? Setelah tangan ini mengusap air itu, ternyata mata tempatnya berasal. Selain air mataku, ada air lain yang ikut mengalir, air yang jatuh dari langit. Ya, inilah aku, perempuan aneh yang setiap kali awan memuntahkan isinya ke bumi, air matakupun ikut menetes dan membasahi pipi. Kondisiku saat hujan memang tak bisa dipahami, tapi ada cerita tersendiri di sini. Tangisku semakin menjadi, aku tak kuasa, hujan kembali mengingatkan cuplikan memori menyakitkan di masalalu.
10 tahun yang lalu
Aku sangat gembira, hari itu aku dapat bermain bersama kedua orangtua dan kakak laki-lakiku. Kami berencana menghabiskan libur akhir pekan di rumah nenek, rumah yang jauh dari ingar bingar kota. Kurasa berlibur di sana adalah pilihan yang tepat sebab akupun rindu nenekku. Saat ini, Aku sedang duduk manis menikmati putaran gambar di layar kaca sembari memakan cokelat pemberian kakak. Ibu, ayah, dan kakakku sedang sibuk berkemas. Setelah jam dinding menunjukkan pukul 09.30 pagi …
"Dek Risa," panggil kakkakku."Ayo ke mobil, kita berangkat."
"Ya, kak. Siap laksanakan," jawabku sambil tersenyum gembira.
Kami bergegas masuk mobil lalu meluncur menyusuri jalanan. Kali ini jalanan sangat lengang sebab banyak dari penghuni kota telah pergi meninggalkan rumah mereka untuk berkencan bersama keluarga.
Sepanjang perjalanan kami banyak bercerita, mulai dari cerita tantang aku yang sering bertingkah aneh, kakakku yang mulai mengenal arti kasmaran hingga cerita anak-anak karangan ibuku. Saat itu aku melihat dengan jelas senyum, tawa, dan wajah gembira mereka, orang yang sangat kusayangi. Namun hal itu tak berlangsung lama. Semuanya rusak saat hujan lebat menghambat perjalanan kami. Ayahku tak terlalu fokus menyetir mobil karena hujan yang begitu deras. Beriringan dengan hujan yang semakin deras terdapat sebuah truk yang melaju kencang dari arah yang berlawanan dengan kendaraan kami. Truk itu semakin mendekat, semakin mendekat, semakin mendekat, dan akhirnya ... “Brakkk…” truk itu menghantam habis mobil kami. Aku sangat merasakan bagaimana mobil kami langsung terpental jauh lalu menghantam kerasnya aspal. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi, seketika semuanya menjadi gelap. Penglihatanku menjadi remang-remang, aku tak kuat, tapi aku harus mencari ayah, ibu, dan kakakku. Aku berusaha bangkit, dan kakakku datang menghampiriku terlebih dulu dengan wajah dan badan yang berlumuran darah.
Dek, lihat badanmu," katanya dengan raut wajah sangat cemas, "penuh darah, mana yang sakit? Biar kakak obati."
Aku baik-baik saja, kak. Sekarang ayah dan ibu di mana, kak?” tanyaku sambil menangis.
Kakak enggak tahu,” jawabnya sembari mengangkat aku ke atas punggungnya, “mari kita cari bersama, kamu kugendong saja."
Kami berjalan menyusuri jalanan yang sepi dan masih diguyur hujan deras. Kulihat mobil kami sudah dalam kondisi terbalik, banyak pecahan kaca serta puing-puing mobil yang berserakan.
“Risa, Adi ….” Terdengar suara samar-samar.
Kak, itu seperti suara ibu," kataku panik, "arahnya dari dalam mobil kita."
Ya, dek. Ayo kita ke sana,” jawab kakakku langsung membawaku yang sedari tadi digendongnya menuju mobil.
Oh tidak…. Aku lihat di sana ada ayahku yang sudah dalam kondisi tak sadarkan diri dan bersimbah darah. Aku menangis sekencang-kencangnya, aku tak sanggup melihat ayahku dalam kondisi seperti itu. Tangisku semakin menjadi ketika kudapati ibu tengah merintih kesakitan tepat di samping ayahku. Ia juga bersimbah darah. Astaga … dunia begitu kejam, teganya menjadikan kedua orangtuaku seperti itu. Tak lama, aku lihat ibuku bernapas tersengal-sengal, dan akhirnya di depan mata kepalaku sendiri ibuku pergi meinggalkan aku dan kakakku ke tempat yang sangat jauh. Aku sudah tak sanggup melihat semua yang terjadi malam itu dan ketika aku menangis, hujan tetap saja turun, hujan tak mau berhenti. Sungguh, mulai malam itu aku sangat membenci hujan, bagiku, segala yang terjadi penyebabnya adalah hujan.
***
Dadaku semakin terasa sesak, cuplikan memori menyakitkan itu membuat tangisku semakin pecah. Aku merasa tak suka karena hujan tak kunjung reda. Aku merasa mataku sudah sangat sembab karena hampir tiga jam sudah aku menangis. Kuangkat tubuhku bangkit dari dipan menuju ke cermin di kamarku, aku ingin melihat air mukaku setelah menangis. Sesampainya di cermin, aku heran sekaligus terkejut karena saat aku melihat bayanganku di cermin, ia tersenyum sedangkan aku tak tersenyum, bahkan mataku di cermin itu tidak sembab padahal aku sangat merasa bahwa mataku sembab. Aku mencoba menyentuh cermin itu namun saat aku mengangkat tanganku dan mendekatkannya ke cermin, bayanganku tak melakukan hal yang sama denganku. Ia diam lalu kulihat ia tersenyum kepadaku.
Kamu siapa? Setahuku cermin tak pernah menghadirkan bayangan seperti ini,” sontak aku seperti orang gila menanyai bayanganku sendiri.
Bayangan itu hanya diam dan tersenyum.
Ayolah kamu ini siapa? Aku terlampau lelah untuk sekadar bermain-main denganmu,” desakku sambil menangis tersedu. “Jika kau hanya ingin diam lebih baik pergi saja, tinggalkan aku, bila perlu seluruh dunia pergi meninggalkanku.”
Hai Risa…” sapa bayanganku di cermin itu.
Aku diam, aku tak tahu harus berkata apa.
“Risa ayolah, kamu harus bangkit," katanya tiba-tiba, membuatku sedikit kaget. "Jangan terus-terusan terpuruk seperti ini, semakin kamu terpuruk maka dunia akan semakin tampak begitu kejam."
Kamu tak mengerti, semuanya memang kejam. Setelah dunia mengambil ayah dan ibuku, lalu nenekku, dan kemarin malam, dunia mengambil kakakku,” jawabku tegas dan tetap menangis. “Segalanya telah menghilang, aku tak punya siapa-siapa lagi di sini."
Ya, aku paham bahwa kehilangan bukanlah hal yang mudah, tapi apakah kamu akan terus seperti ini? Aku yakin ayah, ibu, nenek, dan kakakmu tidak ingin melihatmu menjadi seperti ini.” Ia mencoba menghiburku. Aku hanya menatapnya bingung. “Ayolah bangkit! Aku yakin kamu kuat, kamu adalah perempuan yang jauh lebih kuat dari apa yang kamu kira.”
“Tahu apa kamu tentang diriku? Dan bagaimana kamu bisa berkata seperti itu? Aku tidak sekuat itu.”
“Tentu saja aku tahu, aku adalah bayanganmu, aku tahu semua tentang dirimu. Sekarang lihat aku, aku tak mungkin bisa berbicara di depanmu sekarang kalau bukan karenamu, kamu yang kuat. Mereka semua meninggalkanmu karena mereka tahu kamu kuat, kamu mampu menjalani segalanya seorang diri, kamu adalah ratu di kerajaanmu sendiri. Ayolah! Hidup ini memang keras dan kamu harus lebih keras dari hidup itu sendiri. Aku tahu kau mampu. Ingat! kau tak akan pernah sendiri, aku akan selalu ada di dirimu dan Tuhan akan selalu bersamamu.”
Lalu bayangan di cermin berubah menjadi bayangan yang sesungguhnya. Sekarang aku dapat melihat mata sembabku di cermin itu. Entahlah, setelah percakapan aneh itu, aku menjadi sedikit lega. Sekarang aku mulai mengantuk dan ingin lekas tidur.