Ilustrasi google.com



Oleh: Novi Ridho Pangestuti*

Konon, di kedalaman suatu sungai yang jembar lagi jernih hiduplah segerombol ikan mujair dan seekor belut—tentu mereka bukan satu-satunya penghuni tetap. Sebagian satwa di sana menetap, sedang yang lain hanya mampir lewat. Salah dua ikan mujair itu bernama Dudu dan Dede, si kembar dari banyak kembaran lainnya—bukankah hampir setiap spesies ikan itu kembar? Kecuali mereka yang cacat rupa barangkali. Sedangkan sang belut bernama Koko, si belut dari kumpulannya terbuang. Mereka semua berkawan tanpa punya pikiran salah satu di antaranya boleh jadi santapan.
Sekali waktu hujan lebat menciptakan banjir bandang yang membuat sungai meluap tak karuan. Seisi sungai dibuat kocar-kacir oleh gelombang pasang dari hulu. Para penghuni berhamburan kecuali mereka yang beruntung sarangnya tak jadi porak-poranda diterjang batu-batu kali. Sebagian terseret ombak sungai dan membuatnya terdampar di pinggir kali. Nasib mereka sungguh sial; ditelan ular kali, dicabik-cabik kucing hutan, atau mati sia-sia tak beroleh napas. Banyak satwa hilang, tak terkecuali sanak saudara ketiga hewan malang si atas. Dudu, Dede, dan Koko yang dibuat linglung dalam kekacauan itu digelontorkan arus deras hingga ujung hilir penuh bebatuan.
***
Hari itu sungai begitu tenang, Dede pergi berpetualang bersama Koko si belut, sementara Dudu tinggal di sarang bersama para mujair yang tersisa. Lalu, tiba-tiba sepotong kepala udang goreng—entah manusia mana yang sedang bertamasya dan makan-makan di dekat sungai itu—tenggelam ke dasar dan membuat permukaan air beriak tipis. Dengan cekatan Dudu dan sekawanan ikan saling berebut menyerbu. Dudu hanya beroleh sebagian kecil. Namun hal itu membuatnya teringat Dede yang sedang pergi dan tidak memperoleh bagian makanan. Akhirnya Dudu memutuskan untuk memakan bagiannya nanti bersama Dede setibanya di sarang. Meski begitu kelaparan, Dudu tetap setia menunggu saudaranya pulang.
            Sedangkan di lain tempat, Dede dan Koko juga menemukan makanan—kali ini semacam bakso yang mereka masih meragukannya sebagai batu empuk—di antara batu-batu kali. Sebelum menyantapnya, Koko teringat Dudu saudara Dede.
“Bagaimana kalau kita bawa pulang saja makanan ini?” tanya Koko mencoba memberi saran, “Lalu nanti kita makan bersama Dudu. Ia pasti akan menyukainya.”
“Untuk apa makanan ini kita bawa pulang?” sahut Dede tak terima, “Mending kita makan saja di sini. Pasti kita bakal lebih kenyang karena hanya dibagi dua; untukmu dan untukku.”
Kemudian Dede menyantap makanan itu dengan girang seolah tak pernah melihat makanan selama puluhan pekan. Ia tampak seolah tak peduli bagaimana nasib saudaranya yang tak beroleh bagian. Namun tidak dengan Koko. Ia hanya terdiam mematung melihat Dede makan dengan lahabnya.
“Ko, kenapa kau cuma bengong melihatku makan? Apa kau tak lapar?” tanya Dede sambil terus mengunyah makanan yang membuat mulut kecilnya terlihat penuh sesak, “Kalau tidak, mendingan makanan ini untukku semua saja.”
“Aku belum lapar. Sisakan saja separuhnya untuk kubawa pulang. Akan kumakan nanti ketika lapar,” jawab Koko.
Sebenarnya Koko juga merasa lapar, tapi Koko lebih memilih membawa pulang makanan itu dan berbagi dengan Dudu. Sekembalinya mereka, Koko mendapati makanan di dalam sarang. Ia bertanya siapa pemilik makanan itu. Dudu menghampiri dan memberitahu bagaimana ia memperolehnya sore tadi. Ia juga bilang bahwa ia hendak memakannya bersama Dede, dan Koko jika mau.
“Lihatlah, betapa baiknya Dudu terhadapmu,” bisik Koko kepada Dede yang sedari tadi tampak bingung, “Bahkan ia rela menahan lapar demi menunggumu pulang dan makan bersamanya. Tapi kau malah sama sekali tak memikirkannya.”
Namun tetap saja Dede tak merasa bersalah. Ia menganggap makanan yang diperolehnya secara cuma-cuma itu sebagai keberuntungan baginya.
“Aku juga membawa sedikit makanan untuk kita makan berdua, Du. Ini lihatlah!”
“Kenapa hanya kita berdua? Bagaimana dengan Dede?” tanya Dudu merasa kasihan dengan saudaranya.
“Ia sudah makan tadi di sana,” jawab Koko jujur.
“Tapi sekarang aku masih lapar,” sergah Dede tanpa malu-malu.
“Ya sudah, ayo kita makan saja makanan ini bertiga,” ajak Dudu, “Kita bagi rata untuk semuanya.”
Akhirnya mereka menyantapnya bersama, dan Dede lah yang tampak paling rakus.
***
Suatu ketika musim kemarau panjang mengakibatkan sungai sedikit mengering. Hal itu membuat mereka kesulitan memperoleh makanan. Sejauh mereka mencari makanan ke sana-kemari, tetap saja tak menemukan apa pun untuk dimakan, hingga akhirnya membuat mereka kelelahan dan begitu kelaparan. Sepotong kecil makanan sekonyong-konyong melintas di hadapan mereka. Dede menyambarnya secepat kilat tanpa ba-bi-bu apalagi memikirkan teman-temannya. Dede menelan habis makanan itu. Teman-temannya hanya bisa diam melihat Dede menghabiskannya seorang sendiri.
Tak seberapa lama, muncul lagi sepotong makanan dari permukaan air. Dengan rakusnya, Dede kembali menyambar makanan itu untuk dirinya sendiri. Melihat sikap Dede, lagi-lagi membuat Dudu dan Koko terdiam. Namun, hal aneh terjadi pada Dede setelah menyambar makanan itu. Dede tampak kesakitan, tubuhnya seperti tertarik ke atas. Dudu melihat seutas benang bening di sekitar mulut Dede. Benar saja, makanan yang Dede sambar tadi adalah umpan dari alat pancing seseorang di atas sana. Dede meraung kesakitan dan minta tolong pada Dudu dan Koko. Mereka berdua berusaha keras menolong dan menahan Dede, namun tetap saja mata pancing yang tersangkut di mulutnya sangat sulit dilepaskan. Hingga akhirnya Dede tetap tertarik ke permukaan dan diraih oleh si pemancing. Dudu merasa begitu sedih karena ia kehilangan keluarga satu-satunya itu.



*)Kru Magang LPM Frekuensi Angkatan 2018 Jurusan Matematika