Ilustrasi: alternativephotography.com |
Sinengker aris?
Ngger, sampean tau, apa yang ada di
dalam tosan aji ini? Bentuknya yang berliuk-liuk itu melambangkan
kebijaksanaan, sedangkan yang lurus melambangkan prinsip atau keteguhan hati.
Kebijaksanaan dan tekad haruslah seimbang dan lurus menuju ke atas (Tuhan),
oleh karena itu, ujungnya runcing.
Ah,
aku tak paham apa yang sering dikatakan simbah
tempo dulu. Akhir-akhir ini, keris ini meresahkanku. Sebagai keturunan Jawa
asli, aku mulai meragukan bahwa keris itu simbol kekuatan leluhur dan alam
semesta. Orang-orang Jawa pun percaya bahwa presiden Indonesia yang pertama dan
kedua tidak akan menjadi presiden jika tidak memiliki keris Nogososro yang
kekuatannya lebih dahsyat dari Keris Empu Gandring itu.
Awalnya,
aku sedikit percaya akan hal tersebut. Walaupun aku enggan mengadakan ritual
yang harus dijalani. Namun setelah aku dipecat dari jabatan direktur utama pada
salah satu perusahaan ternama di Jakarta, aku terkekeh saat melihat benda ini.
Mengapa khodam keris tersebut tidak
mencelakai orang yang telah memfitnahku? Lha,
memang benar ada khodam-nya? Dari
kecil sampai sekarang pun aku tak pernah melihatnya.
“Pa,
cobalah pertimbangkan tawaran Babah Liong.” Istriku yang cantik itu jadi
kelihatan lebih tua dari usianya yang baru menginjak kepala tiga. Wajahnya yang
teduh mulai ditumbuhi kerutan. Sudah lima bulan sejak kami pindah ke desa ini.
Sebenarnya,
dari kecil aku tidak percaya dan tertarik tentang kepercayaan yang selama ini
mendarah daging itu. Aku menyimpannya hanya karena itulah satu-satunya warisan
dari simbah--orang yang merawatku
dalam kesederhanaannya setelah kedua orang tuaku meninggal saat usiaku tiga
tahun.
Aku
pun tak tahu bagaimana keris itu tiba-tiba ada di genggaman tanganku saat aku
bangun tidur. Malam sebelumnya, aku bermimpi mengambil keris itu pada sebuah
kendi dalam gua. Keesokan harinya, paklik
menelpon, mengabari kalau simbah meninggal.
Seminggu
kemudian, aku dipecat. Fitnah keji itu mengharuskanku ganti rugi dalam jumlah
yang besar kepada perusahaan. Akhirnya, aku dan istriku kembali ke kampung
halaman. Menjadi orang kere.Numpang
di rumah paklik.
“Rohman,
paklik ini hanya wong tani cilik.Penghasilan paklik
juga pas-pasan. Bulekmu akhir-akhir
ini uring-uringan, minta ini itu karena ngidam. Lalu ponakanmu itu lho, Narti, minta lanjut ke SMA. Di sisi
lain, bulekmu juga mau melahirkan.”
Hatiku
pilu. Kalau saja aku tidak dipecat, akan kutanggung semua biaya kebutuhan
keluarga paklik.Pikiranku tambah
kacau saat terpaksa membiarkan istriku menjadi buruh cuci. Telapak tangannya
menjadi kasar.
“Hayya,
Lohman! Saya belsedia laa, membayal selatus juta untuk kelis itu. Coba pikilkan
lagi ma, kau olang bisa pakai itu uang untuk modal. Sebagai lekan keljamu,
hanya itu yang bisa saya lakukan untuk membantu.”
Perkataan
Babah Liong terngiang-ngiang. Kulepaskan tanganku yang memeluk Sifa, istriku. Ia
tidur begitu lelap dan mendengkur. Ia hanya mendengkur setiap kelelahan. Dan semenjak
pindah ke sini, setiap malam aku mendengar dengkurannya.
Pukul
satu. Aku beranjak dari tempat tidurku. Kembang setaman telah kurendam sejak
subuh uput-uput. Aku menyeringai, menertawakan diri sendiri. Hal yang kuanggap
konyol itu kini kulakukan. Membuka almari dan mengambil tosan aji berlekuk sembilan yang terletak di dalam kotak persegi
panjang. Kulolos senjata pusaka tersebut dari warangkanya.
Pesinya
berukir naga. Kusentuh dari bagian sor-soran
hingga sampai pucukan. Berlekuk-lekuk
seperti egotan naga. Pantas saja jika
banyak yang menginginkan pusaka indah ini. Kata simbah, warisan ini harus diperlakukan istimewa. Pas sekali, ini adalah
malam Jumat Kliwon.
“Le, keris ini setiap malam Jumat atau
Selasa Kliwon harus diputrani. Setiap
malam Senin atau Kamis Wage juga boleh. Carilah kembang setaman.”
Sepuluh
tahun setelah kepergian simbah,
inilah pertama kali aku melakukan prosesi ini. Ya, aku memang kurang kerjaan
sekarang. Jadi buruh serabut tak ubahnya seperti seorang pengangguran.
Di
dapur, ada sepetak ruangan yang biasa dipakai simbah untuk mutrani
keris. Harus dipakani kembang,
katanya. Kembang itu terdiri dari
mawar, kanthil, melati, dan kenanga yang diletakkan dalam baskom. Kemudian keris kuletakkan
di atas cobek yang berisi kemenyan. Kubakar kemenyan sambil mengucap mantra.
Tidak. Aku tidak hapal mantranya. Tapi malam itu, bibirku bergerak dengan
sendirinya.
Sallallahu alaisalam. Sang
lok putoh, sang dhel putih, sang ter putih, sang gumeter putih, sang tes putih,
sang les putih, sang rasa kang mertapa ing jroning pusaka, lah pada sira metua.
Iki sekul putih ganda arum minangka tandha asihku. Dak jaluk gawemu supaya
kemakmuran mara ing keluargaku. Ewang-ewangana jaga kaslametanku lan
sakeluargaku ana ngendi bae. Saka kersane Allah sira kedhawuhan padha mbiyantu
uripku. Ya hu ya hu ya hu.
Tiga
kali kurapalkan dengan hati bergetar. Kemudian kubasuhkan kembang pada setiap bagian. Tiga kali. Beberapa menit kemudian,
kurasakan kesejukan merambat dari ujung kaki sampai ke ujung kapala. Setelah
itu, entah apa yang terjadi.
Pukul
empat dini hari, usapan lembut membangunkanku. Menuntun berjalan menuju kamar
kosong. Kamar simbah dahulu.
Fragmen-fragmen itu muncul. Di sana ada simbah
dan paklik.
“Di,
usiaku sudah tak lama lagi.” Benang-benang putih yang menempel di kepala tua
itu melucut satu per satu hingga hanya sedikit yang tersisa.
“Pae, janganlah bicara seperti itu.
Rohman baru saja memberi kabar kalau dia naik jabatan menjadi direktur utama di
perusahaan. Pae akan tambah makmur.
Kita akan makmur.” Paklik
menyeringai.
Aku
masih mematung di dekat paklik yang
duduk di sebuah kursi. Sedangkan simbah
yang kurus kering itu berbaring di emben
yang beralaskan tikar. Beliau diselimuti jarik.
“Ponakanmu
itu wong apik, Di. Hanya saja dia
keras kepala.” Simbah menatap ke
atas.
“Apa
ada yang mau pae sampaikan?”
“Keris
sekti aji milikku, tolong berikan
padanya, Di.”
“Kenapa
pae mau memberikan keris itu pada
Rohman? Maksudku...”
“Marsudi,
keris itu adalah jodohnya.”
Dadaku
sesak. Wajah pucat yang terbaring di emben
itu napasnya tersengal-sengal. Waktu terus berjingkat dan napas itu telah
sampai kerongkongan.
Kerongkonganku
seakan tercekik karena paklik yang
memiliki wajah rupawan dan berkulit kuning bersih itu bahkan tak memiliki jiwa
kasih induk ayam kepada anaknya. Bukannya membisikkan kalimat-kalimat Allah ke
telinga simbah, ia malah
mengobrak-abrik almari tempat keris itu disimpan.
“Maafkan
aku, Pae. Tapi akulah yang pantas
memiliki keris ini.”
Kepalaku
memberat. Pandanganku kabur. Entah apa yang terjadi kemudian. Hanya saja, pagi
itu, aku sudah berbaring di kasur. Istriku tidak mengatakan apa-apa ketika
memberikan bubur untuk sarapan dan segelas air putih. Tapi, ah. Matanya sembab.
“Sampean sudah makan, Dik?”
“Sampun,
Mas. Mas Rohman kelelahan. Semalam sampai mengigau tidak jelas.”
“Kemarin
aku hanya macul di gogo Pak Kasan sampai zuhur, Dik. Tidak
terlalu capek.”
“Istirahatlah,
Mas. Aku sudah membersihkan rumah ini dan membantu bulek masak. Alhamdulillah, meskipun
hanya bubur. Karena persediaan beras menipis. Jam 7 aku akan pergi mencuci baju
ke rumah Mbok Royam.”
“Maafkan
Mas, Dik. Kamu ikut menderita.”
“Kenapa
Mas ngomong seperti itu? Kita memang harus lebih giat lagi supaya bisa ngontrak
rumah, kan?”
“Jadi
kamu juga berpikir demikian?”
“Tentu
saja. Bulek selalu mengatakannya berulang-ulang. Mereka sedang kesusahan. Kita
ini malah merepotkan mereka.”
“Baiklah,
Dik. Kalau begitu, Mas nanti jam 7 akan ke rumah Pak Soleh, menawarkan tenaga
Mas untuk ngangon kebo. Supaya kita
bisa segera ngontrak rumah dan tidak merepotkan paklik dan bulek.”
Hari
berganti hari. Usaha kami hanya cukup untuk makan. Itu pun pas-pasan. Untung
saja kami belum mempunyai anak.
“Mas
sudah memutuskan. Besok Babah Liong akan ke sini.”
“Apa
Mas sudah yakin?”
Pukul
dua siang, mobil sedan merah berhenti di depan gubug sederhana ini. Pria gendut
dan berkumis itu turun dari mobil. Seperti biasa, pakaiannya necis dengan jas
hitam dan kemeja putih. Rambutnya klinyir.
Senyum berseri-seri. Dia memelukku. Kami duduk di teras. Istriku menyuguhkan
singkong bakar hasil macul-ku di gogo kemarin.
“Saya
olang senang, akhilnya kamu olang mau menelima tawalan saya.”
“Biar
saya ambil dulu kerisnya di dalam, Koh.”
“Silahkan,
silahkan.”
Tiga
puluh menit kemudian.
“Koh,
keris itu hilang.”
“Apa
maksud kau olang? Kau olang main-main dengan saya, ya?”
Babah
Liong langsung pulang dengan wajah besengut. Keris itu tidak ada di kotak.
Apa diambil sama paklik? Tapi,
bukankah selama ini keris itu aman-aman saja? Apa mimpiku kemarin itu pertanda?
Ah, tapi apa benar aku sedang bermimpi? Nyata sekali. Perasaanku kecut hingga
malam. Paklik pun belum pulang dari
pagi tadi. Pukul sebelas.
Suara
orang terjatuh. Kubangunkan istriku karena ada keributan di ruang tamu. Kami segera
bergegas menuju sumber suara itu. Orang mabuk! Orang itu berjalan sempoyongan
sambil menunjuk-nunjuk bulek. Melempar
barang apa saja yang ia lihat. Kesetanan.
“Di
mana kerisku? Kau sembunyikan di mana, Hah?!”
“Keris?
Bukannya tadi sampean yang bawa,
Mas.”
“Hilang,
Ningsih. Hilang!”
Istriku
bersembunyi di balik punggungku, ketakutan.
“Rohman!
Kau kan yang mengambil keris itu? Keris itu punyaku. Seharusnya aku yang
memilikinya.” Telunjuk kanannya tepat menunjuk hidungku.
“Ya,
itu memang milik paklik.”
“Ponakan
yang baik. Hehe. Terus mana keris itu sekarang? Di mana kau sembunyikan lagi
keris itu?”
“Paklik sudah mengambilnya, bukan?
Sekarang aku tidak tahu lagi.”
“Kau
mau main-main denganku, Hah? Bocah tengik!”
“Tidak,
Pakik. Kenyataannya, saya memang
tidak tau di mana keris itu sekarang.”
Paklik
menendang kursi meja. Televisi satu-satunya ia lempar ke bawah hingga ringsek.
Tubuhnya pun tumbang dan terduduk di lantai. Seperti anak kecil, ia ngomong
tidak jelas. Seperti orang tidak waras karena seolah-olah berbicara dengan
seseorang di samping kanannya. Padahal, tidak ada siapa-siapa.
“Nyi,
kau kah yang mengambil keris itu? Tolong kembalikan padaku. Aku sudah memersembahkan darah
perawan untukmu, kan? Seperti yang kau mau,” memelas dan merendahkan suaranya.
“Nyi...,
tolong jangan pergi. Kau mau ke mana?”
Kami
yang terbengong-bengong karena bingung pun ikut duduk di lantai. Istriku
mengelus-elus bahu bulek yang
terisak-isak itu. Paklik berteriak keras sekali. Marah.
“Sifa,
ini semua karena kamu! Pasti Nyi Kembang cemburu karena aku merayumu. Bangsat!”
Sontak,
kami bertiga langsung berdiri. Paklik mendekati istriku. Istriku yang ketakutan
itu sembunyi di belakangku.
“Nyi
Kembang telah meninggalkanku. Kamu pun mau meninggalkanku, hah? Tidak, Sifa.
Kamu harus jadi milikku.” Tangannya memegang pisau yang ia rogoh dari saku
celananya.
“Rohman,
istrimu untukku saja, ya. Ha hah ha.”
Ia
mendekat. Aku terus berjalan mundur. Tidak ada sesuatu yang bisa kugapai. Kalau
aku berpindah tempat, bagaimana nasib istriku?
“Aaaargh!”
Bulek
menusuk perut paklik dengan keris itu. Kerisku.
Tangis
pecah. Kupeluk erat istriku yang tersedu-sedu. Aku teringat saat sering
memergoki istriku menangis diam-diam. Bukan. Bukan kemiskinan yang membuatnya
menangis.
*Penulis merupakan
mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Diponegoro (UNDIP), dan aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Hayamwuruk, FIB UNDIP.
Lebih Dekat