(Foto/ Jesicha)


”Sekarang sudah bukan zamannya mempersoalkan emansipasi wanita. Sekarang saatnya mengukuhkan kembali peran wanita dalam memajukan bangsa”
Semarang, KABARFREKUENSI.COM – Perempuan menjadi tema besar dalam seminar nasional yang digelar mahasiswa Pendidikan Biologi 3A Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Walisongo, Kamis (21/12). Acara yang digelar untuk memperingati Hari Ibu tersebut bertempat di Auditorium II Kampus III UIN Walisongo. Dalam seminar, pembicaraan terkait perempuan itu disajikan oleh lima narasumber yang semuanya perempuan, (baca juga : Seminar Nasional : Wanita dan Kebangkitan Pembangunan Bangsa). Mereka yang berangat dari latar belakang berbeda membicarakan masalah perempuan berdasarkan pengalamannya sejak kecil.

Peran Perempuan Utopia Semata
“Judul seminar ini hanya sebatas utopia,ujar Jauharatul Farida salah satu narasumber setelah membaca tema seminar yang terpampang diproyektor saat itu. Pernyataan tersebut sempat membuat suasana seminar membeku beberapa detik. Betapa tidak, audien dibuat bertanya-tanya tentang maksud perkataan ketua pusat studi gender UIN Walisongo tersebut.

“Sebab Perempuan Mulialah Bangsa”, saya rasa itu hanya utopia saja. Utopia bila tidak ada peran serta laki-laki yang mendukungnya. Perempuan yang dapat memuliakan bangsa adalah perempuan yang sudah dimuliakan laki-laki,terangnya.

Jauharatul Farida memaparkan lebih lanjut, untuk menjadi perempuan yang menjadi “sebab mulialah bangsa” maka perempuan harus dimuliakan dan dihormati. Baik oleh pasangan, masyarakat, maupun Negara. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, bagaimana perempuan dapat menjadi sebab mulianya bangsa kalau perempuan belum dihargai. Pada tahun 2015 saja tercatat ada  sekitar 619.000 kasus ibu meninggal karena hamil dan melahirkan, belum lagi kasus-kasus kekerasan dan pelecehan terhadap wanita. Contoh terdekatnya sering kita jumpai di jalan-jalan, banyak truk yang di bagian belakangnya masih memajang gambar wanita minim busana. Hal tersebut merupakan salah satu wujud kurangnya penghormatan terhadap wanita.

Bagaimana wanita bisa memuliakan bangsa, kalau wanitanya sendiri belum dihormati dan dimuliakan, tambah Jauharatul Farida.

Perempuan jangan hanya jadi buntut laki-laki
“Perempuan jangan hanya jadi buntut laki-laki”. Kalimat itulah yang menjadi inspirasi Sisrini pendiri kelompok Guru Berani, komunitas Sodong Lestari. Lahir dan dibesarkan di keluarga petani dengan budaya masyarakatnya yang menikah setelah lulus SD tidak lantas menyurutkan semangatnya untuk terus megenyam pendidikan. Hingga selepas menempuh pendidikannya di prodi FKIP Universitas Satyawacana Salatiga, ia memberanikan diri mengabdi menjadi guru berani di Sodong Papua. Hal itu dilakukan untuk membantu wanita buta huruf disana. Berbagai persoalan ia hadapi disana, mulai dari perbedaan budaya, perbedaan kondisi alam, sampai perbedaan bahasa.

Jangan pernah menyerah karena keterbatasan
Tsaqiva Kinasih Gusti, Sineas Muda Penggiat Omah Dongeng Marwah asal Kudus ini memiliki cerita masa kecil yang unik. Dimasa kecilnya Tsaqiva adalah anak yang malas berangkat kesekolah. “Waktu kecil saya malas sekali berangkat sekolah, bangunnya siang-siang, kalau bangun harus disiram air dulu, harus ditarik-tarik ke kamar mandi juga,” tutur Tsaqiva dalam seminar siang itu.

“Kalau sudah sampai sekolah saya juga sering dimarahin guru karena pas jam istirahat suka manjat pohon kresen dan nggak mau turun pas udah bel,” tambahanya.

Kemalasan Tsaqiva akan belajar itupun membuat ia dan ibunya memikirkan metode belajar yang cocok untuknya. Hingga akhirnya metode belajar dengan dongeng dan lagulah yang membuat Tsaqiva semangat bersekolah.

Tsaqiva mulai menulis dan mengirimkan cerpen-cerpennya ke koran sejak duduk di kelas 4 SD. Diusianya yang baru menginjak 14 tahun ini, Tsaqiva sudah memiliki banyak karya, mulai dari cerpen, dongeng, film, hingga lebih dari 20 lagu ia ciptakan sendiri.

Jangan sampai keterbatasan menghalangi kita untuk mencapai mimpi dan tujuan. Misalnya, kita suka fotografi dan ingin menjadi fotografer, jangan hanya karena tidak punya kamera kita menghentikan mimpi kita untuk menjadi fotografer, pesan Tsaqiva di akhir sesi tanya jawab dengan pembawa acara.

Ketidakadilan Gender
Lahir lingkungan masyarakat yang masih kental dengan fenomena ketidakadilan gender membuat Arikha pengasuh pondok pesantren Darul Falah Besongo, Ngaliyan, Semarang ini bertanya-tanya “Apakah ada yang salah dengan jenis kelamin saya”. Dulu ia pun sering menemui masjid-masjid bertuliskan tidak ada tempat untuk wanita.

Ketika melihat tulisan itu hati saya rasanya sakit sekali, ya walaupun saya bisa memahami alasan dibuatnya tulisan tersebut karena masjidnya berada di sekitar pondok pesantren laki-laki,” tutur Arikha.

Pertanyaan Arikha terkait gender semakin menjadi saat kelompok remajanya bubar. Kelompok remaja yang diberi nama Kelompok Remaja Islam Kauman seketika bubar setelah ada salah seorang ulama mengingatkan jika suara wanita merupakan aurat. Fenomena ketidakadilan gender pun dijumpainya ketika di pondok pesantren. Saat itu ia berpendapat jika mengaji hanya dijadkan killing time saja untuk para wanita.

Ngajinya belum selesai sudah harus dijeput orang tuanya karena sudah ada yang melamar,” ungkapnya.

Berdasarkan pengalamnya tersebut, ia kemudian mendirikan pondok pesantren Darul Falah. Dimana, pondok pesantren bagi mahasiswa tersebut mengedepankan adanya kesetaraan gender.

Tidak ada perlakuan berbeda untuk santri laki-laki maupun perempuan. Bahkan, dalam pelatihan ketrampilan memasakpun santri laki-laki juga diwajibkan untuk ikut,” terang Arikha. (Kabar/ Jesicha*)

*) Kru Magang LPM Frekuensi
Prodi Pendidikan Matematika Angkatan 2016