(Ilustrasi/ google.com) |
Oleh:
Zakiyatur Rosidah
Pernyataan pemerintah yang inkonsisten
dalam menyikapi adanya cacing parasit pada produk ikan makerel kaleng membuat
masyarakat bingung.
Beberapa waktu lalu, warganet
dihebohkan dengan video di media daring berisi
konten produk ikan makerel kaleng yang mengandung cacing mati di Kepulauan Riau
(Kepri). Viralnya video tersebut ditanggapi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia (BPOM RI) Kepri pada Kamis (22/3). Sehubungan dengan
beredarnya pemberitaan tersebut, BPOM RI memandang perlu untuk memberikan
penjelasan dan menindaklanjutinya.
Dilansir dari website resmi
BPOM RI; www.pom.go.id tertanggal 28 April 2018 yang
memuat klarifikasi BPOM RI menyoal perkembangan temuan parasit cacing pada
produk ikan makerel kaleng menyebutkan bahwa dalam pengujian 541 sampel ikan
dalam kaleng yang terdiri dari 66 merek terdapat 27 merek positif mengandung
cacing parasit, 16 merek produk impor dan 11 merek produk dalam negeri.
Berdasarkan temuan tersebut, BPOM RI
telah memerintahkan importir dan produsen untuk memusnahkan dan menarik
produknya dari peredaran. BPOM RI mengindikasikan produk dalam negeri bahan
bakunya juga berasal dari impor, terutama China karena pemerintah juga memberi
notifikasi kepada pemerintah China terkait bahan baku ikan makerel kaleng yang
mengandung cacing.
BPOM RI juga bekerjasama
dengan Lembaga/Kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) untuk memberikan penguatan pengawasan mengenai rantai produksi
ikan; entry hingga exit. Dilansir dari tempo.co (30/3), di sisi lain otoritas KKP menyebutkan, Anisakis
sp., yang sudah mati itu tidak mengandung racun
atau masuk dalam kategori bahaya keamanan pangan (food safety).
Pernyataan dari kedua lembaga tersebut dapat menimbulkan kebingungan bagi konsumen. Pasalnya, jika dianggap tidak membahayakan, mengapa BPOM RI mengimbau untuk menarik dan memusnahkan produk tersebut padahal KKP menyebutkan ikan makarel aman dikonsumsi.
Perlu diingat bahwa keamanan
pangan tercantum dalam amanat Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan
yang berbunyi “negara berkewajiban
mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang
cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun
daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal”.
Mencuatnya kasus parasit
cacing ikan dalam kaleng serta tanggapan otoritas keamanan pangan telah
menunjukkan bahwa komunikasi publik agaknya kurang berjalan dengan baik. Selain
menimbulkan kebingungan di masyarakat juga timbul pertanyaan lagi soal sistem
produksi pangan dan pengawasannya. Masyarakat juga tidak cukup jika hanya
diimbau dengan harus mengingat dan mengecek “KLIK” (Kemasan, Label, Izin Edar dan Kedaluwarsa) sebelum membeli
atau mengonsumsi produk pangan.
Masyarakat
mengharapkan penjelasan dari pemerintah dengan lebih baik lagi terkait keamanan
ikan dalam kaleng yang mengandung cacing. Meskipun bahan baku disimpan pada
suhu beku dan dimasak pada suhu tinggi, misalkan, namun hal itu juga perlu
dijelaskan alasan mengapa bisa ada cacing di dalam ikan tersebut, jika memang
terdapat cacing dan menurutnya aman dikonsumsi, lantas bagaimana dampaknya bagi
kesehatan. Pun tidak semua orang dapat menerima keberadaan cacing di ikan
kaleng pada meja makannya.
Kasus ini juga berimbas pada
industri dan tenaga kerja pada industri terkait. Dilansir dari laman tirto.id (31/3), ketua Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI), Ady Surya
menyebutkan bahwa penghentian proses produksi ikan makerel kaleng di Indonesia telah
membuat para produsen merugi hingga miliaran rupiah dan ada ribuan pekerja yang
sekarang dirumahkan karena produksi dihentikan.
Tak kalah penting lagi, ini
juga menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap pengawasan pemerintah. Jika
pengawasan pemerintah berjalan baik, mungkin kasus cacing di ikan kaleng tak
semestinya terjadi. Kasus ini bisa menunjukkan perlu ada evaluasi secara
komprehensif pada tata kelola pemantauan dan produksi pangan. Hal ini seyogianya
dilakukan karena ke depan konsumsi masyarakat Indonesia, khususnya makanan
olahan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan, gaya hidup,
serta keterbukaan Indonesia pada produk pangan impor.
Lebih Dekat