Foto/ Furqon |
Judul
Buku : Laut
Bercerita
Pengarang
: Leila S.
Chudori
ISBN : 978-602-424-694-5
Penerbit : Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG)
Tahun
terbit :
Oktober 2017
Tebal : x + 379 Halaman
Peresensi : Syifaul Furqon
Era 90-an menjadi tahun kelam bagi rakyat Indonesia, terkhusus
para aktivis dan orang-orang terdekatnya. Bukan rahasia lagi bahwa pada masa
itu (baca: orde baru) tidak ada yang namanya kebebasan berpendapat maupun
kritik atas pemerintah. Mereka yang menyuarakan aspirasinya dianggap sebagai
musuh yang mengancam keutuhan negara.
Kritikan atas pemerintah lekas ditindak. Acap kali
terdengar kabar penculikan atau hilangnya orang-orang yang menyuarakan
aspirasinya. Mereka kadang muncul kembali dengan tubuh penuh luka atau bahkan
tak kembali sama sekali. Ini barangkali yang ingin digambarkan oleh Leila S.
Chudori lewat bukunya Laut Bercerita.
Leila menggambarkan bagaimana para aktivis memperjuangkan hak-hak rakyat yang
kerap kali berurusan dengan aparat. Tak hanya itu, kisah pilu dan kekhawatiran
keluarga serta orang terdekat atas kawannya yang hilang tanpa kabar pun
diceritakan Leila dalam novelnya ini.
Ialah Biru Laut Wibisana, tokoh yang dipilih penulis
kelahiran Jakarta, 12 Desember 1962 ini untuk menjadi lakon dalam novelnya.
Biru Laut digambarkan sebagai seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas
Negeri di Yogyakarta yang menjalani kehidupannya sebagai aktivis bersama
rekan-rekannya di organisasi bernama Winatra. Sebuah organisasi yang
berafiliasi dengan organisasi Wiratama yang menentang pemerintahan otoriter
pada masa Orde Baru.
Dengan basis berupa bangunan tua di tengah hutan, Biru
Laut bersama kroninya; Kinan, Mas Gala (kerap disebut Sang Penyair), Daniel, Julius,
Naratama, Anjani, Alex, dan lainnya menjalankan kegiatannya seperti diskusi
buku-buku pemikiran serta aksi perjuangan hak-hak rakyat yang tertindas.
Terinspirasi oleh kisah para aktivis era orde baru, Leila
mengisahkan perjuangan Laut dan rekan-rekannya yang harus berdiskusi buku
secara sembunyi-sembunyi, bagaimana mereka harus bergerilya untuk melakukan
aksi tanam jagung, menghindar dari razia, serta menjalani siksaan aparat.
Salah satu perjuangan Laut digambarkan saat mereka hendak
melakukan aksi tanam jagung dan membacakan puisi Sajak Seonggok Jagung-nya
Rendra untuk membela hak rakyat Blangguan, Jawa Timur yang lahannya diambil
paksa untuk kepentingan militer. Aksi mereka tak beroleh hasil karena aparat telah
mencium aksi itu lebih dulu. Tak cukup sampai di situ, mereka juga dipaksa mundur.
Dan dalam perjalanan, Laut serta beberapa kawannya terjaring razia yang
berakhir dengan penyiksaan.
Novel dengan sampul biru bernuansa laut ini tidak
hanya bercerita kisah heroik perjuangan aktivis era 90-an, tapi juga romantika
dan keluarga Biru Laut. Adalah Anjani, gadis seorganisasi dengan Laut yang
berhasil mencuri hatinya. Ketertarikan Laut bermula sejak pertemuan pertamanya
dengan Anjani yang kala itu sedang melukis mural pada dinding bangunan Winatra.
Laut jatuh hati pada Anjani yang melukis potongan kisah Ramayana, dengan Rama
yang terculik dan Shinta menolongnya.
Leila pun mengisahkan bagaimana kehidupan Laut bersama
keluarganya. Tentang kebiasaan keluarga Laut yang setiap Minggu masak dan makan
bersama. Juga Ibunya yang suka memasak makanan kesukaan Laut setiap anaknya itu
pulang, dan kemudian dibantu sang Ayah yang selalu memutar lagu The Beatles. Tak lupa, adik tersayangnya
Asmara Jati yang sedang menempuh studi ilmu kedokteran.
Menggunakan alur maju-mundur dalam bab tertentu, Leila
menceritakan kegiatan dan perjuangan Laut bersama rekan-rekannya. Dan pada bab
selanjutnya, Leila menggambarkan kejadian di masa mendatang, di mana Laut
bersama rekan-rekannya diculik aparat dan menjalani penyiksaan yang berat.
Teringat tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, novel
Laut Bercerita juga berlatar masa
lalu dan sama-sama menggambarkan tokoh dan perjuangannya membela rakyat. Mengajak
pembaca untuk bersimpati kepada para aktivis 90-an yang tak jelas nasibnya,
Leila menceritakan dengan begitu dramatis perjuangan Laut bersama
rekan-rekannya menghadapi kekejaman aparat kala itu.
Laut Bercerita akan
membawa pembaca larut dalam kisah-kisah di setiap babnya. Novel ini fiktif
namun seolah berdasarkan kenyataan. Itu karena Leila benar-benar melakukan
riset dan wawancara dengan tokoh-tokoh yang pernah bersinggungan dengan tragedi
era orba, salah satunya pemred The Jakarta Post, Nezar Patria.
Sekilas, kisah dalam novel ini mengingatkan kita akan
film tentang perjalanan hidup Wiji Thukul ‘Istirahatlah
Kata-kata’. Sosok Sang Penyair dalam buku ini pun serasa mirip Wiji Thukul.
Dari segi perawakan hingga kisah keluarganya pada bagian Sang Penyair yang hilang
meninggalkan istrinya.
Novel Laut
Bercerita menjadi semacam tribute
untuk para aktivis era orde baru. Leila ingin mengajak pembaca untuk kembali
mengingat mereka—para aktivis—yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya—entah
hidup atau mati. Ia ingin menyampaikan bahwa ada keluarga dan orang terkasih
mereka yang masih dirundung kesedihan dan menunggu kabar yang tak kunjung datang.
Lebih Dekat