Sumber Dokumentasi: artisoo.com

Dewa menangis tersedu-sedu di pojok kelas. Ia meringkuk sendirian, membungkuk memegangi dadanya yang terasa sesak. Air matanya berhamburan, membasahi lengan bajunya. Tak ada yang peduli padanya. Bahkan semuanya seolah membiarkannya begitu saja. Teman sekelasnya hanya menertawakan dan merundungnya. Dewa dikucilkan, bagai najis yang harus dijauhi.

“Dasar anak haram,” ejek Luri, teman sebangkunya, dengan nada penuh penghinaan.

Ucapan itu begitu menusuk jantungnya. Karena sudah tak tahan dengan semua ocehan menyakitkan itu, Dewa segera mengambil tas dan pergi dari kelas. Ia berlari meninggalkan sekolah.

“Tuhan, apakah salah dan dosaku? Apakah ini yang harus kutanggung sebagai anak haram?” isaknya lirih di tepi kolam yang sunyi.

Pemilik kolam menyangka Dewa hendak mencuri ikan lele dan nila di kolam miliknya. Tanpa pikir panjang, ia melempar sandal ke arah Dewa.

“Hei! Mau apa kamu di sana?!” hardiknya penuh curiga.

Dewa ketakutan dan segera melarikan diri.

Ia hanya bisa kembali ke rumah. Hanya rumah yang mau menerimanya dan segala kesedihannya. Ia menutup pintu kamar dan memeluk guling. Air mata makin deras membasahi wajahnya.

Dewa adalah anak yang tak tahu-menahu tentang asal-usulnya. Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya. Siapa ayah dan ibunya, ia tak pernah tahu. Bahkan ketika bertanya kepada pamannya, sang paman hanya diam seolah sengaja membungkam mulutnya.

Dewa memukul tembok dan membanting buku di sebelahnya. Suaranya keras hingga membuat seisi rumah terkejut. Tangisannya menggema, terdengar sampai ke telinga bibinya. Sang bibi segera menuju kamar Dewa.

“Dewa, boleh Bibi masuk ke kamar?” tanya bibinya lembut dari luar.

“Boleh, Bi. Silakan masuk, tidak dikunci,” sahut Dewa pelan.

“Apa yang kamu banting tadi?” tanyanya lagi, penasaran.

“Tidak ada, Bi,” jawab Dewa pendek.

“Itu buku, ya?” tebak bibinya sambil menatap benda di lantai.

Dewa hanya diam. Bibinya mengusap air matanya, lalu memeluk keponakannya itu.

“Bibi tahu apa yang kamu alami. Teman-temanmu merundungmu lagi, ya?” duga bibinya dengan nada iba.

Dewa menatap kosong, tak menjawab.

Bibinya merasakan betapa berat penderitaan batin dan beban hidup yang dipikul Dewa. Ia telah merawat Dewa seperti anaknya sendiri, karena adiknya merantau ke Sumatra dan hanya sesekali mengirim uang.

“Memang bajingan lelaki itu,” gumam bibinya dengan penuh kemarahan.

“Siapa, Bi?” tanya Dewa penasaran.

“Ayahmu. Ayah kandungmu,” jawab bibinya jujur.

“Bibi tahu siapa ayah saya?” tanya Dewa, matanya membelalak.

“Dia anak pejabat kelas wahid di daerah sini,” ujar bibinya dengan suara tertahan.

“Bolehkah saya tahu namanya, Bi?” desak Dewa pelan.

“Namanya Yoki. Anak bos mebel yang kaya raya,” ungkap bibinya akhirnya.

“Lalu, di mana dia sekarang?” tanya Dewa penasaran.

“Kabarnya dia kabur, mencuri emas milik ayahnya,” sahut bibinya dengan getir.

Dewa sudah punya firasat buruk. Ia merasa apa yang dialaminya adalah karma dari orang tuanya. Tapi keinginannya untuk tahu lebih banyak justru makin membesar.

“Siapa ibu saya, Bi?” tanyanya pelan.

“Ibumu adalah adikku,” jawab bibinya lirih.

“Siapa namanya?”

“Dahlia,” ucap bibinya, tersenyum pahit.

“Wow, nama yang indah,” gumam Dewa kagum.

“Ibumu dulu seorang kembang desa. Banyak lelaki ingin melamarnya,” tutur bibinya, mengenang masa lalu.

“Karena dia cantik... Tapi kenapa malah memilih ayah saya?” tanya Dewa heran.

“Ibumu sebenarnya disukai banyak orang. Dari pengusaha sukses, aparat, sampai pegawai pemerintah. Tapi ia lebih memilih ayahmu karena cinta,” jelas bibinya.

“Kenapa orang selalu menyebut saya anak haram?” tanya Dewa, mulai sesak lagi dadanya.

“Karena ibumu dan ayahmu tidak pernah menikah,” jawab bibinya pelan.

“Berarti saya dilahirkan di luar pernikahan?” tanya Dewa, setengah tak percaya.

Bibinya hanya mengangguk.

“Kenapa saya tidak dibuang saja?” tanya Dewa, separuh putus asa.

“Ibu mana yang tega membuang anaknya?” sahut bibinya, pelan dan tegas.

“Tapi kan banyak berita perempuan yang membuang bayinya karena hamil di luar nikah,” bantah Dewa.

“Ibumu sangat menyayangimu. Bahkan dia rela mati demi dirimu,” ujar bibinya sambil mengelus rambut Dewa.

“Tapi kenapa saya tak pernah merasakan pelukannya?” tanya Dewa lirih.

“Ibumu terlalu banyak menanggung malu. Maka ia memilih pergi dari desa ini,” jawab bibinya dengan mata berkaca-kaca.

“Apakah saya bisa bertemu orang tua saya suatu hari nanti?” tanya Dewa, penuh harap.

“Kalau ibumu, bisa. Tapi ayahmu, jangan dan tidak usah,” ucap bibinya, tegas.

“Kenapa begitu, Bi?” tanya Dewa, penasaran.

“Dia lelaki bangsat yang liar dan keji,” jawab bibinya, penuh kemarahan.

“Se... sekeji apa, Bi?” bisik Dewa ragu.

“Sekeji pembunuh dan pemerkosa,” tegas bibinya dengan nada geram.

Dewa membeku. Ia tak pernah melihat wajah ibunya tergantung di dinding rumah, tak pernah berkomunikasi dengannya. Ia pun mulai ragu apakah yang dikatakan bibinya benar adanya.

Ia berganti baju dan keluar. Ia berjalan menuju pohon angsana dan berteduh di bawahnya.

Orang-orang sekampung yang rumahnya dilewati memandangnya sinis. Mereka bagai burung hantu yang menyambut kematian. Dewa hanya berjalan dengan kepala tertunduk.

“Dasar anak haram!” seru seorang tetangga yang melintas di depannya.

Ucapan itu seperti sembilu. Rasanya dosa yang tak pernah ia lakukan harus ia tanggung sendiri. Tidak hanya teman sebaya, seluruh orang menganggapnya anak haram. Ia lahir tak diharapkan, dibesarkan dalam ketidakmauan. Yang ada hanya tumpukan kecewa dan tangisan atas dosa orang lain yang menimpanya.

Tiba-tiba, telepon bibinya berdering. Ia beranjak ke dapur, sementara Dewa diam-diam menguping dari balik pintu. Ia melihat bibinya terkejut, air matanya mulai jatuh.

“Apa?! Tidak mungkin... Astaga!” teriak bibinya, panik.

“Ada apa, Bi?” tanya Dewa cepat-cepat.

“Diam dulu kamu, Nak!” seru bibinya, terguncang.

“Ibu saya? Mana dia, Bi?” tanya Dewa panik.

“Ibumu... mati dibunuh oleh orang di sana,” ujar bibinya lirih.

“Di sana? Di mana?” tanya Dewa tak percaya.

“Di Taiwan. Ibumu bekerja di sana,” jawab bibinya, menahan tangis.

“Astaga...” desah Dewa, lututnya lemas.

“Sayang sekali hidupmu, Nak. Kamu tak pernah melihatnya, dan sekarang dia sudah jadi mayat,” ujar bibinya sambil terisak.

“Mama...” lirih Dewa, bergetar.

“Memang dasar brengsek ayahmu itu. Lelaki tak tahu diri! Selama ini yang membiayai hidupmu, sekolahmu, uang jajanmu, semua dari ibumu!” seru bibinya, marah dan sedih bersamaan.

Dewa hanya bisa meratapi nasibnya. Kini ia tak punya ibu maupun ayah. Ia hanya seorang diri. Dibesarkan oleh bibinya yang ia anggap sebagai ibu. Ia terduduk lemas di ambang pintu, menangisi kepergian ibunya.

penulis: Kontributor

Editor: Siti Qummariyah