Dewa menangis
tersedu-sedu di pojok kelas. Ia meringkuk sendirian, membungkuk memegangi
dadanya yang terasa sesak. Air matanya berhamburan, membasahi lengan bajunya.
Tak ada yang peduli padanya. Bahkan semuanya seolah membiarkannya begitu saja. Teman
sekelasnya hanya menertawakan dan merundungnya. Dewa dikucilkan, bagai najis
yang harus dijauhi.
“Dasar anak haram,”
ejek Luri, teman sebangkunya, dengan nada penuh penghinaan.
Ucapan itu begitu
menusuk jantungnya. Karena sudah tak tahan dengan semua ocehan menyakitkan itu,
Dewa segera mengambil tas dan pergi dari kelas. Ia berlari meninggalkan
sekolah.
“Tuhan, apakah salah
dan dosaku? Apakah ini yang harus kutanggung sebagai anak haram?” isaknya lirih
di tepi kolam yang sunyi.
Pemilik kolam
menyangka Dewa hendak mencuri ikan lele dan nila di kolam miliknya. Tanpa pikir
panjang, ia melempar sandal ke arah Dewa.
“Hei! Mau apa kamu
di sana?!” hardiknya penuh curiga.
Dewa ketakutan dan
segera melarikan diri.
Ia hanya bisa
kembali ke rumah. Hanya rumah yang mau menerimanya dan segala kesedihannya. Ia
menutup pintu kamar dan memeluk guling. Air mata makin deras membasahi
wajahnya.
Dewa adalah anak
yang tak tahu-menahu tentang asal-usulnya. Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya.
Siapa ayah dan ibunya, ia tak pernah tahu. Bahkan ketika bertanya kepada
pamannya, sang paman hanya diam seolah sengaja membungkam mulutnya.
Dewa memukul tembok
dan membanting buku di sebelahnya. Suaranya keras hingga membuat seisi rumah
terkejut. Tangisannya menggema, terdengar sampai ke telinga bibinya. Sang bibi
segera menuju kamar Dewa.
“Dewa, boleh Bibi
masuk ke kamar?” tanya bibinya lembut dari luar.
“Boleh, Bi. Silakan
masuk, tidak dikunci,” sahut Dewa pelan.
“Apa yang kamu
banting tadi?” tanyanya lagi, penasaran.
“Tidak ada, Bi,” jawab
Dewa pendek.
“Itu buku, ya?”
tebak bibinya sambil menatap benda di lantai.
Dewa hanya diam.
Bibinya mengusap air matanya, lalu memeluk keponakannya itu.
“Bibi tahu apa yang
kamu alami. Teman-temanmu merundungmu lagi, ya?” duga bibinya dengan nada iba.
Dewa menatap kosong,
tak menjawab.
Bibinya merasakan
betapa berat penderitaan batin dan beban hidup yang dipikul Dewa. Ia telah
merawat Dewa seperti anaknya sendiri, karena adiknya merantau ke Sumatra dan
hanya sesekali mengirim uang.
“Memang bajingan lelaki
itu,” gumam bibinya dengan penuh kemarahan.
“Siapa, Bi?” tanya
Dewa penasaran.
“Ayahmu. Ayah
kandungmu,” jawab bibinya jujur.
“Bibi tahu siapa
ayah saya?” tanya Dewa, matanya membelalak.
“Dia anak pejabat
kelas wahid di daerah sini,” ujar bibinya dengan suara tertahan.
“Bolehkah saya tahu
namanya, Bi?” desak Dewa pelan.
“Namanya Yoki. Anak
bos mebel yang kaya raya,” ungkap bibinya akhirnya.
“Lalu, di mana dia
sekarang?” tanya Dewa penasaran.
“Kabarnya dia kabur,
mencuri emas milik ayahnya,” sahut bibinya dengan getir.
Dewa sudah punya
firasat buruk. Ia merasa apa yang dialaminya adalah karma dari orang tuanya.
Tapi keinginannya untuk tahu lebih banyak justru makin membesar.
“Siapa ibu saya,
Bi?” tanyanya pelan.
“Ibumu adalah
adikku,” jawab bibinya lirih.
“Siapa namanya?”
“Dahlia,” ucap
bibinya, tersenyum pahit.
“Wow, nama yang
indah,” gumam Dewa kagum.
“Ibumu dulu seorang
kembang desa. Banyak lelaki ingin melamarnya,” tutur bibinya, mengenang masa
lalu.
“Karena dia
cantik... Tapi kenapa malah memilih ayah saya?” tanya Dewa heran.
“Ibumu sebenarnya
disukai banyak orang. Dari pengusaha sukses, aparat, sampai pegawai pemerintah.
Tapi ia lebih memilih ayahmu karena cinta,” jelas bibinya.
“Kenapa orang selalu
menyebut saya anak haram?” tanya Dewa, mulai sesak lagi dadanya.
“Karena ibumu dan
ayahmu tidak pernah menikah,” jawab bibinya pelan.
“Berarti saya
dilahirkan di luar pernikahan?” tanya Dewa, setengah tak percaya.
Bibinya hanya
mengangguk.
“Kenapa saya tidak
dibuang saja?” tanya Dewa, separuh putus asa.
“Ibu mana yang tega
membuang anaknya?” sahut bibinya, pelan dan tegas.
“Tapi kan banyak
berita perempuan yang membuang bayinya karena hamil di luar nikah,” bantah
Dewa.
“Ibumu sangat
menyayangimu. Bahkan dia rela mati demi dirimu,” ujar bibinya sambil mengelus
rambut Dewa.
“Tapi kenapa saya
tak pernah merasakan pelukannya?” tanya Dewa lirih.
“Ibumu terlalu
banyak menanggung malu. Maka ia memilih pergi dari desa ini,” jawab bibinya
dengan mata berkaca-kaca.
“Apakah saya bisa
bertemu orang tua saya suatu hari nanti?” tanya Dewa, penuh harap.
“Kalau ibumu, bisa.
Tapi ayahmu, jangan dan tidak usah,” ucap bibinya, tegas.
“Kenapa begitu, Bi?”
tanya Dewa, penasaran.
“Dia lelaki bangsat
yang liar dan keji,” jawab bibinya, penuh kemarahan.
“Se... sekeji apa,
Bi?” bisik Dewa ragu.
“Sekeji pembunuh dan
pemerkosa,” tegas bibinya dengan nada geram.
Dewa membeku. Ia tak
pernah melihat wajah ibunya tergantung di dinding rumah, tak pernah
berkomunikasi dengannya. Ia pun mulai ragu apakah yang dikatakan bibinya benar
adanya.
Ia berganti baju dan
keluar. Ia berjalan menuju pohon angsana dan berteduh di bawahnya.
Orang-orang
sekampung yang rumahnya dilewati memandangnya sinis. Mereka bagai burung hantu
yang menyambut kematian. Dewa hanya berjalan dengan kepala tertunduk.
“Dasar anak haram!”
seru seorang tetangga yang melintas di depannya.
Ucapan itu seperti
sembilu. Rasanya dosa yang tak pernah ia lakukan harus ia tanggung sendiri.
Tidak hanya teman sebaya, seluruh orang menganggapnya anak haram. Ia lahir tak
diharapkan, dibesarkan dalam ketidakmauan. Yang ada hanya tumpukan kecewa dan
tangisan atas dosa orang lain yang menimpanya.
Tiba-tiba, telepon
bibinya berdering. Ia beranjak ke dapur, sementara Dewa diam-diam menguping
dari balik pintu. Ia melihat bibinya terkejut, air matanya mulai jatuh.
“Apa?! Tidak
mungkin... Astaga!” teriak bibinya, panik.
“Ada apa, Bi?” tanya
Dewa cepat-cepat.
“Diam dulu kamu,
Nak!” seru bibinya, terguncang.
“Ibu saya? Mana dia,
Bi?” tanya Dewa panik.
“Ibumu... mati
dibunuh oleh orang di sana,” ujar bibinya lirih.
“Di sana? Di mana?”
tanya Dewa tak percaya.
“Di Taiwan. Ibumu
bekerja di sana,” jawab bibinya, menahan tangis.
“Astaga...” desah
Dewa, lututnya lemas.
“Sayang sekali
hidupmu, Nak. Kamu tak pernah melihatnya, dan sekarang dia sudah jadi mayat,”
ujar bibinya sambil terisak.
“Mama...” lirih
Dewa, bergetar.
“Memang dasar
brengsek ayahmu itu. Lelaki tak tahu diri! Selama ini yang membiayai hidupmu,
sekolahmu, uang jajanmu, semua dari ibumu!” seru bibinya, marah dan sedih
bersamaan.
Dewa hanya bisa
meratapi nasibnya. Kini ia tak punya ibu maupun ayah. Ia hanya seorang diri.
Dibesarkan oleh bibinya yang ia anggap sebagai ibu. Ia terduduk lemas di ambang
pintu, menangisi kepergian ibunya.
penulis: Kontributor
Editor: Siti Qummariyah
0 Komentar