Angin
malam itu menusuk tulang, dengan rintikan gerimis tipis tapi gigih. Aku dan Aisha
genggam cangkir teh hangat di balik jendela
kaca kafe yang berembun, mencoba
cari sedikit kehangatan yang
entah kenapa tidak bisa kutemukan di hatiku. Usiaku baru dua puluh satu, tapi
rasanya pundak ini sudah menanggung beban segunung.
Sudah
tiga bulan sejak pabrik garmen tempatku kerja dulu bangkrut. Tiba-tiba saja,
tanpa peringatan sama sekali,
email PHK itu datang, menghantamku seperti palu godam.
Bukan hanya aku yang kaget,
ratusan karyawan lain juga senasib. Mimpi-mimpi kecilku menabung untuk renovasi
rumah orang tua dan bantu biaya sekolah adik seketika menguap.
“Aisha,
kamu nggak apa-apa?” suara Elina, teman lamaku yang sekarang jadi barista di
sini, membuyarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum tipis, senyum yang terasa hambar di lidahku. “Nggak apa-apa kok.”
Tapi
Elina tahu. Dia lihat binar di mataku yang dulu selalu cerah, kini meredup.
Sejak kehilangan pekerjaan, rasanya
aku kehilangan arah. Lamaran kerja demi lamaran
kukirim, tetapi tidak ada
satupun yang membuahkan hasil. Setiap hari itu perjuangan, bukan hanya untuk
mencari nafkah, tetapi juga untuk melawan bisikan putus asa yang terus-menerus
menggerogoti.
Rumah
kontrakan kecil yang kutempati terasa semakin sempit, bukan karena ukurannya, tetapi
karena tekanan yang menyesakkan. Stok makanan menipis, tagihan listrik, dan air
mulai numpuk. Rasanya sangat malu pada diriku sendiri dan orang tuaku yang
selalu percaya padaku.
Malam
itu, setelah pulang dari kafe Elina, aku duduk di tepi ranjangku yang sempit.
Aku pandang ke luar jendela, langit gelap tanpa bintang, seolah memang
mencerminkan perasaanku. Setetes air mata jatuh, terus diikuti yang lain,
sampai pipiku basah. Aku kangen
masa-masa hidup terasa lebih ringan, masa-masa aku bisa tertetawa lepas tanpa
beban.
“Aku
harus kuat,” bisikku pada diriku sendiri, ngulang mantra yang dulu sering Ibu
bilang. “Ayah sama Ibu sudah berjuang hidup buat aku.”
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang beda. Aku ingat, dulu Ibu sering memuji masakanku. Terutama nasi goreng spesial buatanku. Dengan sisa uang yang ada, aku membeli sedikit bahan, terus mencoba masak beberapa porsi. Dengan ragu, aku foto hasilnya dan kuunggah ke grup WhatsApp kompleks perumahan. “Nasi goreng spesial, siap antar!” tulisku.
Jantungku deg-degan
banget nunggu respons.
Lima menit berlalu,
sepuluh menit, lima belas…dan tidak ada yang pesan.
Kekecewaan mulai merayap, mungkin memang ini bukan jalanku. Tetapi, disaat
aku mau nyerah,
sebuah notifikasi masuk.
“Aku pesan dua porsi, Aisha!
Antar ke rumah Bu RT ya.”
Senyum merekah di wajahku. Hanya dua
porsi, tapi rasanya
seperti menang lotre. Aku langsung
antar pesanan itu, dengan langkah ringan yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak hari itu, pesanan
mulai berdatangan, meski
tidak banyak. Satu,
dua, terkadang lima porsi.
Aku bangun
lebih pagi, menyiapkan bahan, dan mengantar pesanan dengan sepeda
tuaku. Tanganku pegal, punggungku sakit, tetapi ada
semangat baru yang membara di dadaku. Aku
tidak lagi melihat diriku sebagai korban, melainkan sebagai pejuang.
Suatu
sore, waktu aku lagi antar pesanan, aku berpapasan dengan mantan manajerku dari
pabrik garmen. Bapak itu terlihat cuek aja, jalan tergesa-gesa dengan setelan
rapi. Aku menunduk, awalnya merasa
malu, tetapi setelah itu aku mengangkat kepalaku. Aku tidak lagi sama seperti Aisha
yang dulu. Aku adalah Aisha yang sedang berjuang, dengan
keringat dan tekadku sendiri.
Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan. Bisnis nasi goreng rumahan Aisha semakin
berkembang. Aku mulai menawarkan menu lain, seperti mi goreng dan kwetiau.
Pelangganku bertambah, bahkan beberapa ibu-ibu di kompleks menyarankan aku untuk
membuka warung kecil.
Dengan
modal yang kukumpulkan sedikit demi sedikit dan bantuan pinjaman dari Elina,
aku akhirnya nyewa lapak kecil di dekat pasar.
Aku cat sendiri, pasang meja dan kursi sederhana. Waktu hari pembukaan,
aku mengundang orang tua dan adikku. Mata Ibu berkaca-kaca melihat warung
kecilku.
“Kamu sudah besar, Nak,” kata Ibu sambil memelukku erat.
Aku tatap warungku, lalu ke arah langit. Kali ini, aku tidak lagi melihat kegelapan. Aku melihat, lentera yang kunyalakan sendiri di tengah badai kehidupanku. Perjuangan itu belum selesai, pasti akan ada badai lain yang datang. Tetapi aku tahu, aku punya kekuatan untuk menghadapinnya. Aku sudah belajar bahwa kesulitan itu ujian dan setiap langkah kecil yang kita ambil untuk melawannya adalah sebuah kemenangan.
Kini, setiap kali aku melihat
badai, aku tahu di mana menemukan lentera.
Ia ada di dalam diriku sendiri, nyala yang tidak akan
padam, selama aku terus berjuang.
Karya: Devita Mutiara Putri (Kru Magang LPM 24)
Editorial: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM 23)
0 Komentar