Sumber Dokumentasi: Piqsels

Angin malam itu menusuk tulang, dengan rintikan gerimis tipis tapi gigih. Aku dan Aisha genggam cangkir teh hangat di balik jendela kaca kafe yang berembun, mencoba cari sedikit kehangatan yang entah kenapa tidak bisa kutemukan di hatiku. Usiaku baru dua puluh satu, tapi rasanya pundak ini sudah menanggung beban segunung.

Sudah tiga bulan sejak pabrik garmen tempatku kerja dulu bangkrut. Tiba-tiba saja, tanpa peringatan sama sekali, email PHK itu datang, menghantamku seperti palu godam. Bukan hanya aku yang kaget, ratusan karyawan lain juga senasib. Mimpi-mimpi kecilku menabung untuk renovasi rumah orang tua dan bantu biaya sekolah adik seketika menguap.

“Aisha, kamu nggak apa-apa?” suara Elina, teman lamaku yang sekarang jadi barista di sini, membuyarkan lamunanku.

Aku hanya tersenyum tipis, senyum yang terasa hambar di lidahku. “Nggak apa-apa kok.”

Tapi Elina tahu. Dia lihat binar di mataku yang dulu selalu cerah, kini meredup. Sejak kehilangan pekerjaan, rasanya aku kehilangan arah. Lamaran kerja demi lamaran kukirim, tetapi tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Setiap hari itu perjuangan, bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga untuk melawan bisikan putus asa yang terus-menerus menggerogoti.

Rumah kontrakan kecil yang kutempati terasa semakin sempit, bukan karena ukurannya, tetapi karena tekanan yang menyesakkan. Stok makanan menipis, tagihan listrik, dan air mulai numpuk. Rasanya sangat malu pada diriku sendiri dan orang tuaku yang selalu percaya padaku.

Malam itu, setelah pulang dari kafe Elina, aku duduk di tepi ranjangku yang sempit. Aku pandang ke luar jendela, langit gelap tanpa bintang, seolah memang mencerminkan perasaanku. Setetes air mata jatuh, terus diikuti yang lain, sampai pipiku basah. Aku kangen masa-masa hidup terasa lebih ringan, masa-masa aku bisa tertetawa lepas tanpa beban.

“Aku harus kuat,” bisikku pada diriku sendiri, ngulang mantra yang dulu sering Ibu bilang. “Ayah sama Ibu sudah berjuang hidup buat aku.”

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang beda. Aku ingat, dulu Ibu sering memuji masakanku. Terutama nasi goreng spesial buatanku. Dengan sisa uang yang ada, aku membeli sedikit bahan, terus mencoba masak beberapa porsi. Dengan ragu, aku foto hasilnya dan kuunggah ke grup WhatsApp kompleks perumahan. “Nasi goreng spesial, siap antar!” tulisku.

Jantungku deg-degan banget nunggu respons. Lima menit berlalu, sepuluh menit, lima belas…dan tidak ada yang pesan. Kekecewaan mulai merayap, mungkin memang ini bukan jalanku. Tetapi, disaat aku mau nyerah, sebuah notifikasi masuk. “Aku pesan dua porsi, Aisha! Antar ke rumah Bu RT ya.”

Senyum merekah di wajahku. Hanya dua porsi, tapi rasanya seperti menang lotre. Aku langsung antar pesanan itu, dengan langkah ringan yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak hari itu, pesanan mulai berdatangan, meski tidak banyak. Satu, dua, terkadang lima porsi.

Aku bangun lebih pagi, menyiapkan bahan, dan mengantar pesanan dengan sepeda tuaku. Tanganku pegal, punggungku sakit, tetapi ada semangat baru yang membara di dadaku. Aku tidak lagi melihat diriku sebagai korban, melainkan sebagai pejuang.

Suatu sore, waktu aku lagi antar pesanan, aku berpapasan dengan mantan manajerku dari pabrik garmen. Bapak itu terlihat cuek aja, jalan tergesa-gesa dengan setelan rapi. Aku menunduk, awalnya merasa malu, tetapi setelah itu aku mengangkat kepalaku. Aku tidak lagi sama seperti Aisha yang dulu. Aku adalah Aisha yang sedang berjuang, dengan keringat dan tekadku sendiri.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bisnis nasi goreng rumahan Aisha semakin berkembang. Aku mulai menawarkan menu lain, seperti mi goreng dan kwetiau. Pelangganku bertambah, bahkan beberapa ibu-ibu di kompleks menyarankan aku untuk membuka warung kecil.

Dengan modal yang kukumpulkan sedikit demi sedikit dan bantuan pinjaman dari Elina, aku akhirnya nyewa lapak kecil di dekat pasar. Aku cat sendiri, pasang meja dan kursi sederhana. Waktu hari pembukaan, aku mengundang orang tua dan adikku. Mata Ibu berkaca-kaca melihat warung kecilku.

“Kamu sudah besar, Nak,” kata Ibu sambil memelukku erat.

Aku tatap warungku, lalu ke arah langit. Kali ini, aku tidak lagi melihat kegelapan. Aku melihat, lentera yang kunyalakan sendiri di tengah badai kehidupanku. Perjuangan itu belum selesai, pasti akan ada badai lain yang datang. Tetapi aku tahu, aku punya kekuatan untuk menghadapinnya. Aku sudah belajar bahwa kesulitan itu ujian dan setiap langkah kecil yang kita ambil untuk melawannya adalah sebuah kemenangan.

Kini, setiap kali aku melihat badai, aku tahu di mana menemukan lentera. Ia ada di dalam diriku sendiri, nyala yang tidak akan padam, selama aku terus berjuang.

Karya: Devita Mutiara Putri (Kru Magang LPM 24)

Editorial: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM 23)