Puluhan pekerja Suara Merdeka harus bertahan hidup di tengah gaji dicicil dan pemotongan upah sepihak.

Semarang, KABARFREKUENSI.COM-Pagi itu, Ramlan memandangi tangan kasarnya yang mulai retak di sela-sela semen. Di antara debu bangunan, ia menepuk-nepuk celana kerja lusuhnya, berusaha menepis sisa pasir yang menempel.

Sudah beberapa bulan ini, lelaki 52 tahun itu menghabiskan harinya sebagai buruh bangunan di pinggiran Semarang pekerjaan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Padahal, lebih dari dua dekade hidupnya ia dedikasikan untuk dunia media, tepatnya di Suara Merdeka, salah satu surat kabar tertua di Indonesia.

“Lucu, ya. Saya kerja di media besar, tapi malah harus nyari kerja tambahan biar bisa makan,” ujarnya lirih, saat ditemui Tim LPM Frekuensi, beberapa waktu lalu.

Gajinya sebagai koordinator penata letak bagian foto kerap terlambat, bahkan sering dicicil tanpa kejelasan. Kadang tanggal 1, kadang tanggal 10, kadang akhir bulan. “Berangkat kerja saja harus mikir pakai uang apa,” tambahnya.

Sejak pandemi Covid-19, upah yang ia terima tak lagi penuh. Kadang hanya separuh, kadang malah nihil. Kini, Ramlan hidup dengan beban ganda: menafkahi dua anak-salah satunya masih kuliah, sembari menanggung rasa malu karena harus bekerja serabutan di tengah statusnya sebagai karyawan tetap media besar.

“Aneh, kan? Kerja itu cari uang, bukan kita yang cari uang untuk bisa kerja,” katanya dengan nada getir.

Kisah pilu Ramlan bukan satu-satunya. Cahyo, rekan kerjanya, justru mengalami nasib yang lebih tragis. Akibat glaukoma yang dideritanya sejak dua tahun lalu, penglihatannya nyaris hilang. Kini, ia lumpuh dan bergantung pada bantuan keluarga untuk beraktivitas. Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan atau pesangon layak, Cahyo hanya diberi janji: 'gaji akan tetap dibayar sampai makan hari ini.' Tak ada kepastian, tak ada jaminan kesehatan.

Kisah Ramlan dan Cahyo menjadi potret getir pekerja media yang berjuang menuntut keadilan di balik nama besar korporasi pers (Sumber dokumentasi : tirto.id)

“Cahyo itu dulu orang yang paling rajin di redaksi,” kenang Ramlan. “Sekarang, buat jalan ke kamar mandi saja butuh bantuan.” Kondisi itu menunjukkan lemahnya perlindungan pekerja di ruang redaksi yang seharusnya menjunjung keadilan sosial.

Berdasarkan catatan LBH Semarang, kasus Cahyo menjadi simbol hilangnya hak dasar pekerja media terhadap jaminan sosial dan kesehatan, termasuk kepesertaan penuh dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Menurut Amadela Andra Dynalaida dari Lembaga Badan Hukum (LBH) Semarang, pelanggaran hak pekerja di Suara Merdeka sudah terjadi sejak 2012 dan memburuk pascapandemi Covid-19. Masalah utama adalah gaji pokok di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Semarang. Perusahaan menggunakan skema take home pay menambahkan tunjangan agar totalnya tampak sesuai UMK. Padahal, secara hukum, gaji pokok harus minimal setara UMK, dan tunjangan adalah tambahan, bukan pengganti.

Dalih Efisiensi, Gaji Dipotong hingga 45 persen

Saat Pandemi Covid-19 melanda, perusahaan memotong gaji hingga 45% dengan dalih efisiensi. Kebijakan itu dilakukan sepihak, hanya melalui memo internal tanpa keputusan gubernur sebagaimana diwajibkan oleh regulasi ketenagakerjaan. Ironisnya, pemotongan tetap berlaku bahkan setelah pandemi dinyatakan berakhir pada Juni 2023. Puncaknya, lima pekerja tetap tidak digaji sama sekali selama Februari hingga Juli 2025.

“Perusahaan sengaja menciptakan tekanan agar pekerja mundur sendiri, supaya tidak perlu membayar pesangon,” jelas Amadela. Data LBH menunjukkan bahwa sejak 2020, jumlah karyawan Suara Merdeka menurun drastis dari sekitar 800 menjadi hanya 320 orang. Banyak yang memilih resign karena tak tahan, meski harus kehilangan hak-haknya.

Pada April 2025, lima pekerja tetap didampingi LBH Semarang, AJI Semarang, dan Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah melaporkan kasus ini ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng. Namun, proses hukum berjalan lambat. Upaya penyelesaian awal dilakukan lewat perundingan bipartit, namun hasilnya nihil. Pihak manajemen Suara Merdeka bersikukuh bahwa sistem take home pay mereka sudah sesuai UMK.

Perhitungan LBH Semarang menunjukkan, setiap pekerja mengalami kerugian akumulatif mencapai Rp143 juta. Jumlah itu berasal dari tiga komponen utama:

Meski demikian, pihak manajemen Suara Merdeka justru mengisyaratkan akan melakukan PHK terhadap lima karyawan pelapor, dengan tawaran kompensasi hanya Rp5–Rp10 juta, jauh di bawah batas ketentuan hukum yang berlaku.

Kasus ini tak berdiri sendiri. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang menilai, persoalan Suara Merdeka adalah cerminan krisis yang lebih besar di dunia media Indonesia. Banyak media mengalami hal serupa upah di bawah standar, pemotongan sepihak, keterlambatan gaji, hingga ancaman PHK.

Sejak menerima aduan dari lima pekerja Suara Merdeka, AJI menerjunkan tim Divisi Ketenagakerjaan untuk melakukan advokasi, berkoordinasi langsung dengan AJI Indonesia di tingkat nasional. Meski belum menggandeng LBH Pers, AJI Semarang terus melakukan pendampingan bersama LBH Semarang dan Serikat Pekerja Lintasn Media (SPLM) Jawa Tengah.

Menurut Baihaqi Annizar, Ketua SPLM Jawa Tengah, tantangan terbesar adalah menghadapi perusahaan yang tidak berpihak pada pekerjanya. “Pekerja cuma menuntut haknya sendiri, tapi dipersulit dengan berbagai alasan,” katanya. Baihaqi juga menyoroti lambannya respons Disnakertrans Jateng dalam menindaklanjuti laporan.

Setelah dua kali perundingan bipartit gagal, AJI Semarang, LBH Semarang, dan SPLM Jawa Tengah kini bersiap menuju tahap tripartit, bahkan hingga pengadilan hubungan industrial jika masih tidak ada solusi. “Ini bukan hanya tentang gaji, tapi tentang martabat pekerja media,” tegas Baihaqi.

Kasus Suara Merdeka menjadi cermin buram bagi industri pers Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah media yang setiap hari menyerukan spirit keadilan dan profesionalisme dalam kerja-kerja jurnalistiknya justru mengabaikan keadilan bagi karyawannya sendiri?

“Jurnalis itu manusia juga, pekerja juga. Kalau hak dasarnya saja tidak dipenuhi, maka demokrasi kita ikut rapuh,” tutup Amadela.

SM Mengaku Sudah Berkoordinasi dengan Disnakertrans Jateng

Dilansir dari tirto.id (29/07), Direktur Keuangan dan Pembukuan Suara Merdeka, Sumardi Suherman, mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Disnakertrans Jateng perihal laporan persoalan ketenagakerjaan tersebut.

"Saat ini dari manajemen sudah berkomunikasi dengan Disnaker yang diwakili oleh Manajer HRD dan Direktur operasional untuk hal tersebut," kata Herman.

Saat ditanya mengenai detail dari masalah dan upaya penyelesaian, Herman urung menjawab.

Suara Merdeka merupakan salah satu koran tertua di Indonesia yang didirikan Hetami di Semarang. Surat kabar ini pertama kali terbit pada era pascakemerdekaan, tepatnya 11 Februari 1950. Para pejuang pers yang dipimpin Hetami mendirikan Suara Merdeka dengan misi awal memperdengarkan aspirasi dan suara hati rakyat yang baru saja merdeka.

Atas kasus ketenagakerjaan yang menimpa sejumlah karyawannya, suara pekerja mungkin tertahan di ruang redaksi, tapi gema perjuangan mereka kini telah sampai ke publik. Pertanyaannya: apakah suara itu akan didengar, atau kembali dibungkam oleh kepentingan segelintir orang di balik nama besar Suara Merdeka? ***


Reporter : Siti Qummariyah dan tim LPM Frekuensi

Penulis : Siti Qummariyah