Dewasa ini, Sekolah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban modern. Sekolah diangggap sebagai sarana yang mengantarkan pribadi menuju kesuksesan. Karena itu, sekolah menjadi tolok ukur kesuksesan anak. Jika ia berhasil dalam sekolah maka ia juga akan berhasil di kehidupan nyata, begitupun sebaliknya.
Sebegitu urgennya peran sekolah hingga menjadikannya candu. Kita pun tak sadar dibuat menjadi sakau atas sekolah itu. Namun, Bagaimana kabar sekolah hari ini? Apakah sekolah saat ini sudah berperan sesuai hakikatnya?
Secara etimologi sekolah yang berasal dari kata skhole, scola, scolae, atau schola yang bermakna waktu luang atau waktu senggang. Asal kata ini berasal dari kebiasaanorang yunani kuno. Ketika waktu luang,mereka mengunjungi suatu tempat ataupun seseorang pandai untuk mempertanyakan dan memperlajari ihwal yang tidak diketahuinya. Orang yunani kuno menyebut kegiatan ini skhole, scola, scolae, atau schola.
Lama kelamaan kegiatan ini menjadi kebiasaan orang dewasa. Mereka pun menurunkan kebiasaan ini ke anak-anaknya. Sang ayah maupun ibu merasa tidak mempunyai waktu luang maupun ilmu yang cukup untuk mendidik anaknya. Karena itu, mereka menitipkan anaknya di tempat mereka berscolae dulu. Di tempat ini anak-anak bisa bermain dan belajar apapun yang perlu mereka ketahui. Ketika sudah dewasa, anak-anak tersebut akan pulang kembali untuk menjalani rutinitas layaknya orang dewasa.
Waktu terus berlalu, semakin banyak orang tua yang menitipkan anaknya pada tempat tersebut. Perlu adanya tata tertib yang mengatur jalannya pembelajaran. Pembelajaran pun haruslah dibuat lebih sistematis. Inilah yang menjadi cikal bakal sekolah modern.
Roem Topatimasang lewat bukunya Sekolah itu Candu mengulas problema sekolah masa kini. Meskipun ditulis pada tahun 1980an, buku ini masih cukup relevan dengan problema pendidikan saat ini.
Diantarkan dengan prolog kisah berlatar tahun 2222, Seseorang bernama Sukardal sedang berada di Museum Bank Naskah Nasional. Ia menemukan sebuah buku tua dengan label ‘bacaan terlarang’. Naskah inilah yang digambarkan sebagai isi dari buku Sekolah itu Candu karya Roem Topatimasang.
Sekolah itu Candu
Roem Topatimasang menganggap sekolah sebagai candu. Mengapa candu? Padahal candu biasanya erat hubungannya dengan narkotika ataupun zat yang menimbulkan ketagihan. Apakah sekolah seperti itu? Roem menyebut demikian (Read : Candu) dikarenakan saat ini kita tidak bisa hidup tanpa adanya sekolah. Sama halnya dengan kecanduan zat adiktif, kita dibuat tak berdaya jika tidak bersekolah.
Sekolah begitu berpengaruh terhadap kehidupan perseorangan dan perkauman kita, menjadi suatu imperatif budaya, semacam gejala yang Roem sebut ‘ketaksadaran kolektif’, sehingga setiap orang merasa kehilangan sesuatu yang bermakna bagi diri dan hidupnya, kehilangan peluang dan hak, jika ia gagal atau terputus ditengah jalan, masyarakat akan mencap dirinya gagal. Lama kelamaan, ia pun akan merasa benar-benar gagal.
Roem menganggap sekolah itu candu berangkat dari fenomena seorang pelajar bernama Eko yang melakukan penelitian mengenai pandangan remaja terkait kehidupan seksual. Penelitian yang dirancang dan dilakukannya sendiri tidak mendapatkan respon baik dari sekolahnya, ia malah dipecat. Ironisnya lagi, Ia pun tidak diterima di perguruan tinggi manapun dikarenakan penelitiannya itu.
Pada suatu ketika si anak membuktikan dirinya menjadi seorang panelis dalam sebuah diskusi kehidupan remaja di perguruan tinggi yang dulu menolaknya.  Karena penampilannya, banyak perguruan tinggi yang menawarkan untuk menerima Eko. Tetapi ternyata Eko lebih memilih tidak sekolah.
Fenomena semacam kasus Eko sudah jamak terjadi dan sering kali disesali, tapi pada saat bersamaan juga sekolah amat didambakan. Sekolah boleh berbuat salah, tapi harus tetap ada dan dibutuhkan, atau lebih tepatnya, dituntut untuk menerima setiap orang sebagai warganya. Ini menunjukan bahwa sekolah sudah sedemikian mapan dan berkuasa atas masyarakat.
Alam Raya  Sekolahku
Lain halnya dengan Eko, terdapat kisah-kisah mengenai sekolah di Indonesia. Misalnya saja pada salah satu kota kecil di Sulawesi Tengah, dulu berdiri sebuah bangunan sekolah rakyat yang tak istimewa. Sebuah bangunan tua berbentuk mirip huruf U peninggalan Belanda. Bangunan itu tampak suram, temboknya banyak yang retak, dindingnya berasal dari separuh papan dan separuh anyaman kulit yang lapuk, pagar yang melingkarinya berasal dari batang-batang kayu hutan.
Anak-anak di kota kecil tersebut dan desa sekitarnya sekolah ditempat itu. Ada enam kelas dengan lima guru resmi dari pemerintah dan tiga guru sukarela. Perawatan, pemeliharaan dan pemberdayaan sekolah itu berasal dari swadaya dan gotong royong masyarakat.
Ada yang unik dari sekolah ini, setiap sabtu (disebut hari krida) murid-murid bebas dari kegiatan sekolah. Kegiatan terpusat di luar ruangan mulai dari memperbaiki pagar, membabat rumput, menanam tanaman atau memetik buah. Tiap empat bulan sekali, semua murid, guru dan masyarakat sekitar masuk ke hutan untuk mencari bahan-bahan untuk merenovasi gedung sekolah. Tiap akhir semester dan kenaikan kelas, mereka melakukan panen raya dan melakukan acara syukuran. Namun, pemandangan itu kini telah sirna. Sekolah itu dirubuhkan dan diganti dengan sekolah yang lebih tersistematis.
Di tempat lain, tepatnya di Sekolah Dasar Mantigola, murid-murid di sana tidak menikmati sarana angkutan antar jemput. Namun guru-gurunya yang menikmati sarana angkutan antar jemput, hebatnya sarana ini tidak disediakan oleh sekolah namun disediakan oleh murid-murid di lepas pantai kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara itu.
Begitulah hal unik yang ada di SD tersebut. Setiap murid kelas empat hingga enam memiliki jadwal khusus untuk menjemput gurunya. Fenomena ini muncul sebagai akibat dari letak sekolah yang berada ditengah laut. Tidak adanya dermaga khusus untuk menyeberangkan lima guru pengajar dan satu sekolah ini membuat kebijakan khusus untuk menugaskan murid-murid menjemput gurunya.
Ini bukan tugas sukarela, namun merupakan peraturan khusus yang diberikan sekolah kepada murid. Ada satu hukuman unik yakni murid-murid yang telat menjemput gurunya dihukum mencari ikan segar di laut untuk dibawa pulang sang guru. Bukannya takut, maupun kesal dengan hukuman semacam itu, mereka malah bersuka ria jika mendapat hukuman pergi mencari dan menangkap ikan.
Jika ditelisik lebih lanjut adakah sekolah dalam hukuman murid-murid SD mantigola  kerjakan? Adakah sekolah dalam kegiatan mingguan, bulanan dan tahunan pada sekolah di kota kecil di sulawesi tengah seperti di atas itu? Jangan-jangan apa yang mereka kerjakan itu semuanya adalah sekolah itu sendiri, bahwa alam raya itu ialah sekolah itu sendiri.
Kemudian Roem pada bab lain, menggambarkan sebuah fenomena. Di daerah Sulawesi Selatan, anak harus berjalan kaki kurang lebih 10 kilometer melalui jalanan setapak, menerobos belukar, memanjat dan mendaki lereng gunung setinggi ratusan meter hanya untuk berangkat sekolah. Kegiatan ini mereka lakukan setiap hari karena tidak ada sekolah di dusun mereka. Tercatat ada 21 anak pada dusun itu yang melintasi jalur tersebut.
Adakah sekolah sedemikian penting, sehingga mereka sampai harus menempuh jalanan berliku semacam itu? Hampir semua orang dewasa yang ada di sana adalah tamatan sekolah tersebut. Hampir semuanya mengaku kehadiran sekolah tersebut sangat berguna bagi mereka setidaknya untuk membaca, menulis, menghitung dan lainnya.
Namun kemudian ada seorang pemuda yang melanjutkan sekolahnya hingga SMK mengatakan buat apa sekolah tinggi jika pada akhirnya saya hanya akan menjadi petani, ‘Kenapa tidak saya mulai dari sekarang saja’. Bagaimanakah peran sekolah dapat menentukan hidupnya? Perlu adanya pemikiran lebih lanjut mengenai hal itu.
Meskipun demikian, kita tak boleh berpikiran bahwa sekolah tinggi-tinggi tidak seharusnya menjadi petani, pedagang ataupun lainnya. Pemikiran macam ini sangat salah kaprah. Tan Malaka pernah berkata ‘Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul, dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.’ Jelaslah maksud dari Tan Malaka itu setinggi-tingginya pendidikan seseorang jika hanya menjauhkan ia dari masyarakat maka pendidikan itu jelas sudah salah. Di sinilah sekolah memposisikan dirinya untuk mengubah nasib hidup seseorang namun tidak membuatnya jauh kepada alam dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Sekolah Masa Kini
Saat ini sekolah dan perusahaan hampir tidak bisa dibedakan lagi. Perusahaan menciptakan produk, sekolah juga. Sulitnya mengurus sekolah hampir sama dengan sulitnya mengurus perusahaan. Perusahaan butuh uang banyak untuk mengurusi keperluannya, sekolah tak kalah banyak membutuhkan uang untuk mengurusi pegawai, guru dan muridnya.
Sekolah dewasa ini seringkali berorientasi pada masalah keuangan. Lihat saja, makin marak fenomena sekolah mahal dan sekolah unggulan. Mulai dari penerimaan hingga kelulusan, jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Perihal seragam, buku, studi wisata pun tak jauh-jauh dari masalah uang. Sekolah semacam ini jelas hanya bisa dinikmati orang-orang kalangan atas. Lalu bagaimana dengan mereka yang serba pas-pasan bahkan kekurangan?
Jika dilihat dari fungsi sekolah menurut Benyamin Bloom -mengenai taksonomi pendidikan, affecitive domain, cognitive domain dan psycomotoric domain, boleh jadi saat ini sekolah sudah membetuk tiga ranah tersebut. Tapi benarkah seperti itu? Sering kali terdengar dari media-media terjadi kekerasan di sekolah, entah itu dari guru, murid bahkan wali murid. Apakah watak dan sikap siswa sudah benar-benar diperbaiki?
Kemudian, lihat saja lulusan pendidikan saat ini. Sering kali bersifat ekslusif, menjauhkan diri pada masyarakat. Pendidikan yang didapatkan tidak diaplikasikan ataupun dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat di sekitarnya.
Itu baru beberapa fenomena pendidikan saat ini, masih banyak problema-problema yang lain. Maka boleh jadi kata Roem yang mengatakan bahwa ‘sekolah sudah mati!’ masih pantas untuk sekolah saat ini.
Roem dalam epilog buku ini memberikan gambaran bagaimana hakekat sekolah itu. Setelah selesai membaca naskah yang ditemukannya, Ia menelpon profesor dan memintanya untuk datang kerumahnya. Sukardal ingin menunjukan konsep sekolah menurutnya. Sukardal yang seorang petani mengajak profesor tersebut ke kebunnya untuk mempelajari lobak.
Dari epilog tersebut setidaknya Roem ingin menyampaikan beberapa hal. Yakni memperoleh ilmu tidak harus di sekolah namun juga bisa dari alam sekitar, seorang profesor pun masih mau belajar dan mendengarkan seorang petani (baca: Sukardal) kemudian seorang terpelajar haruslah dekat dengan lingkungannya.

Judul Buku     : Sekolah itu Candu
Pengarang      : Roem Topatimasang
Penerbit          : INSISTPress
Tahun terbit   : Cetakan ke-12, Mei 2013
Tebal                : xvi + 129 Halaman
Resensator     : Syifaul Furqon