(Foto/ Furqon)


Semarang, KABARFREKUENSI.COM – Isu mengenai konflik sensitif yang mengatasnamakan agama kerap kali bertebaran di masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah agama tidak mengajarkan kedamaian. Dalam acara bedah Buku Tuhan Maha Asyik pada senin (13/11) di Audit II Kampus 3 UIN Walisongo Semarang salah satu narasumber, Nur Samad Kamba atau akarab dipanggil Buya Kamba menjawab pertanyaan tersebut.

Buya Kamba menjelaskan, pada mulanya semua ajaran agama ialah kesederhanaan, memberikan panduan menuju tuhan. “Bagi Saya agama itu cara membawa manusia kepada tuhan,” tutur Narasumber sekaligus dosen UIN Sunan Gunung Jati Itu.

Menurutnya, munculnya konflik yang mengatasnamakan agama saat ini dikarenakan agama dijadikan sebagai tujuan. “Agama dijadikan kendaraan untuk tujuan sesaat misal politik, kekayaan dan lainnya.” Akibatnya, muncul suatu ironi yang kemudian menjadi konflik pertentangan. Buya menegaskan, “Seharusnya agama mengantarkan kedamaian dan perdamaian.” Hal tersebut menurutnya tidak bisa dirubah kecuali dengan merubah paradigma ketuhanan, sudut pandang atau konsep manusia terhadap tuhan.

Buya Kamba menawarkan suatu paradigma baru dalam buku Tuhan Maha Asyik. Beliau menjelaskan kenapa dalam buku ini tokoh-tokoh yang berbicara ialah anak-anak karena anak-anak adalah kesederhanaan.

“Anak-anak tidak pernah mengkomunikasikan bagaimana mereka memandang tuhan,” ungkapnya. Buya Kamba mengungkapkan bahwa seluruh aktivitas manusia ketika kanak-kanak disupervisi oleh tuhan secara langsung. Ketika manusia dewasa mereka memiliki independensi. “Karena itu kemudian dia membuat jarak dengan tuhan,” jelas Buya.


Dosen Tasawuf di UIN Bandung tersebut menjelaskan bahwa dalam sufisme, taraf fana dan kemanunggalan sesungguhnya kembali ke taraf anak-anak, “Yakni berkomunikasi dengan tuhan tanpa pikiran.” (Kabar/ Furqon)