Ilustrasi/ google.com |
Oleh: Iftikhatun Afifah*
Di malam yang sunyi ditemani
terangnya cahaya purnama, Kiran seorang gadis mungil nan cantik, yang ditinggal Ibunya
sejak kecil kini terduduk di atas
balkon seraya menatap
gemerlapnya bintang serta rembulan. Tangannya
menggenggam sebuah gelas cantik berisi kopi tuk menemaninya. Dinginnya malam tak ia hiraukan, bibirnya pucat,
matanya lelah, tatapannya kosong, dan
pikirannya tebang entah kemana. Hampir berhari–hari ia melakukannya,
membayangkan segala sesuatu yang terlintas dalam pikirannya.
Pandangan yang
ada dalam matanya hanyalah sebuah rumah, di suatu desa yang
damai dengan lingkungan yang sangat asri. Awalnya dia hanya melihat sepucuk
senyuman dengan ekspresi wajah yang lembut penuh kasih sayang. Lalu tampak sebuah
hidung, alis, dan bola matanya yang indah.
Itulah dia, sosok perempuan pahlawan
hidupnya. Bagi Kiran, sosok perempuan itu adalah segalanya. Kebahagiaan hidupnya,
semangatnya, kepintarannya, bahkan mewakili semua tentang hidupnya. Sosok
perempuan itu sungguh membuatnya bahagia. Perempuan itulah yang rela berkorban demi Kiran. Wajahnya berseri–seri, pipinya merah merona, bibirnya tersenyum
indah. Tiada kata yang mampu melukiskan kebahagiaan saat itu.
Lantas, terdengar langkah kaki
perempuan itu yang semakin mendekatinya. Suaranya yang lembut memanggil namanya. Melihat
dirinya sendiri berada tepat di depannya, mengusap lembut rambutnya menyuruhnya
tidur, serta membacakan cerita kepadanya, menghabiskan malam itu bersama perempuan tersebut.
Ketika sang surya mulai muncul, sosok perempuan tersebut membangunkannya. Sosok
perempuan itu adalah Ibunya yang selalu menyiapkan makan, mengantar sekolah,
mengajajari mengerjakan PR, dan lain sebagainya. Saat lIbur tiba, Kiran bersama
sosok perempuan tersebut serta seorang laki–laki berlIbur tuk menikmati
indahnya pantai. Canda tawa terdengar di antara mereka. Keceriaan menghiasi wajah
mereka.
Sejak kecil
Kiran dibesarkan oleh kasih sayang mereka. Hidup dalam kesederhanaan cukup
membuatnya bahagia. Suatu ketika saat Kiran sedang berlari–larian di bawah
sinar sang mentari, ia melihat hamparan bunga nan indah dekat taman kolam ikan.
Kuingin sekali memiliki bunga–bunga itu dan memanamnya di halaman depan rumah.
“ Ibu… Kiran pengin itu,” kata Kiran sambil menunjuk bunga di tepi
kolam ikan.
“Semuanya atau yang warna ungu aja?” tanya Ibu sambil mendekati
bunga itu.
“Semuanya, Kiran ingin menanam bunga
itu di halaman depan rumah, biar penuh warna, Bu,” jawab Kiran.
“Ya, Ibu petikkan sedikit,” ucap Ibu sambil memetik bunga itu.
Setelah selesai memetik, Ibu
memberikannya ke Kiran. Kiran segera minta pulang. Karena ia sudah tak sabar
tuk menanam bunga itu. Sesampainya di rumah, Ibu menyiapkan beberapa peralatan
untuk menanam bunga itu. Kiran dan Ibu menanam bunga itu dengan ditemani senda
gurau. Mereka senang sekali, terlebih sang Ibu. Ibu sangat senang melihat
senyum Kiran dan gelak tawa Kiran.
Hari demi hari,
bulan dan tahun terus berlalu begitu saja. Suasana menjadi berubah hampir 180
derajat. Sekarang Kiran menyaksikan
dirinya sendiri merawat Ibunya, saat ia duduk di bangku kelas tiga Sekolah
Dasar. Segala sesuatu yang terkadang disiapkan sang Ibu, kini harus ia
siapkan sendiri. Sifat kekanak–kanakannya mulai berubah dengan sendirinya. Kiran yang dulu
cengeng sekarang sudah mulai mengerti kondisi hidupnya. Walaupun terkadang dia
masih nakal ataupun bandel sehingga sering membuat Ibunya emosi. Di
suatu malam segerombolan anak berlarian ke sana kemari. Di tengah sunyinya
malam, segerombolan anak tersebut memecah kesunyian tersebut. Rumah warga
senyap dan tampak gelap. Teriakan anak–anak itu terdengar sampai tengah malam.
Tiba–tiba terdengar suara perempuan memanggil namanya.
“Kiran...” perempuan alias sang Ibu memanggil dirinya.
“Iya… dalem...” sahut Kiran.
“Pulang! Main gak kenal waktu,“ ucap Ibunya dengan nada
naik.
“Iya, ini mau pulang.”
Setelah Kiran menjawabnya, Ibunya pulang duluan. Namun, Kiran bukannya mengikuti
di belakangnya tuk pulang, malah melanjutkan main bersama teman–teman. Pada
akhirnya dia tidak dapat pintu. Dia tidak bisa masuk rumah karena pintunya
terkunci. Dia pun tidur di rumah teman.
Keesokan harinya, Kiran pulang ke
rumah saat subuh. Namun dia tetap saja kena omelan kedua orang tuanya. Waktu demi waktu berlalu. Keadaan menjadi semakin tak
terkendali. Kiran kini lebih sering tinggal di rumah nenek. Ibunya sekarang
sering sakit–sakitan.
“Kiran, kalau kamu butuh sesuatu tinggal ke sini aja, di rumah kamu enggak ada siapa-siapa,” ujar
neneknya.
“Iya, Nek,” jawab Kiran.
“Kamu sudah makan belum?” tanya nenek.
“Belum, Nek,”
“Ya sudah sana makan, ambil sendiri
di meja makan. Nanti kalo mau pulang, bawa makanan buat di rumah ya,” ucap
nenek.
Setelah selesai makan Kiran membawa
makanan pulang ke rumah. Sehabis itu, ia baru main lagi ke sana kemari. Namun
sekarang Kiran ingat waktu. Sekarang dia mengerti kapan waktunya ia main, kapan
saatnya ia belajar, dan kapan ia harus pulang. Sepanjang waktu, Ibunya sering kambuh,
sering sakit. Sesekali saat ia
bersama Ibunya menikmati indahnya udara malam hari, Ibunya selalu berkata, “Jika
suatu saat nanti kau rindu seseorang terutama Ibu, kau bisa lihat bintang kecil
yang indah itu. Kau bisa menyampaikan kerinduanmu kepadanya. Bintang dan
bulan itu yang akan menemanimu saat kamu kesepian, Nak.” Sejak saat itu
kiran senang melihat bintang. Terkadang ia keluar rumah saat malam hanya untuk
melihat bintang itu.
Tak lama saat Kiran duduk di
bangku kelas lima, penyakit Ibunya semakin parah. Ibunya harus dirawat di rumah sakit selama berhari-hari. Kiran harus membantu Ayahnya untuk merawat Ibunya,
terlebih saat pulang sekolah.
“Nak, kamu jangan nakal ya, Ayah
harus merawat Ibumu di rumah sakit, Ayah enggak bisa ngawasin kamu di rumah. Kamu doakan saja biar Ibumu
cepat sembuh,” pesan Ayah ketika Kiran mau pulang dari rumah sakit.
“Iya, Yah,“ jawab Kiran singkat.
Selama Ibunya dirawat di
rumah sakit, ia harus tinggal bersama neneknya. Bolak–balik rumah sakit, rumah
nenek, dan rumahnya sendiri, sudah menjadi hal yang biasa bagi Kiran. Namun lama–lama
perempuan itu tidak kuat menanggung sakitnya. Perempuan itu pergi meninggalkannya
tuk selamanya. Betapa sedihnya hati Kiran saat sosok Ibu yang selama ini merawatnya
pergi tuk selama–lamanya. Tetesan air mata mengalir deras membasuh pipinya yang
lembut. Sepanjang malam
ia selalu menangis. Matanya menjadi
sembap ketika bangun tidur.
Terlebih sekarang Kiran harus hidup di pesantren, tanpa seorang Ayah
ataupun keluarganya. Semenjak Ibu pergi Ayah pergi ke luar kota. Kiran
sekarang menjadi lebih kuat dan mandiri dari hari–hari sebelumnya.
Gelas yang ia pegangi tiba–tiba terjatuh.
Suara pecahan gelas kaca itu menyadarkan ia dari tatapan kosongnya. Kini Kiran sudah tidak
melamun memandangi bintang, namun dia terisak tangis karena teringat sang Ibu.
Kerinduannya yang membuatnya selalu memandangi indahnya bintang dan rembulan. Seringkali ia berkata “Ibu, Kiran rindu Ibu,
Kiran masih ingin seperti dulu. Kiran masih ingin menikmati kebahagiaan
keluarga kecil ini. Kiran sekarang sendirian, Bu, Ayah pergi ke luar kota dan jarang menemui Kiran. Ibu, Kiran rindu Ibu,”
tangisannya sudah tak dapat ia bendung lagi. Hampir setiap hari mukanya dibasuh
dengan air mata kerinduan. Namun waktu telah
berlalu, kini hari sudah bukan malam lagi melainkan hampir pagi. Saatnya ia bergegas ke tempat tidurnya karena ia harus bersiap tuk hari ini di dunia
tanpa seorang pahlawannya dan ia juga tidak mau teman–temannya tahu saat ia
menangis.
*) Kru Magang LPM Frekuensi Jurusan
Pendidikan Matematika angkatan 2017
Lebih Dekat