Ilustrasi/ Repro Zakiya

Saras Dewi menitikberatkan pentingnya rekonstruksi pandangan manusia tentang alam sebagai tempatnya berpijak.

Ada pengalaman yang telah mengubah wanita yang lahir dan besar di Bali, Saras Dewi. Saras kecil begitu mengagumi satu pohon ketapang besar yang menjulang tinggi rimbun penuh daun. Dia sering menghabiskan banyak waktu dan merasa tenteram di bawahnya. Namun, saat kenaikan kelas, dia mendengar kabar mengecewakan lantaran pohon ketapang akan ditebang untuk memperluas bangunan sekolah. Dia berusaha protes, namun pikirannya yang masih kanak-kanak belum bisa membuat rasionalisasi yang kuat untuk menolak penebangan tersebut.
Selain pohon ketapang, Saras Dewi juga mempunyai kisah lain sebagai bukti kecintaannya terhadap kampung halaman. Dalam teks pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang dibawakannya pada 10 November 2018 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki bertajuk Sembahyang Bhuvana, Saras menarasikan satu tempat di mana ia selalu disergap khidmat. Tempat itu adalah Pantai Sanur. Dia sering menyelami lautan sehingga sang nenek selalu khawatir meneriakkan namanya dari sisi pantai. Namun kakeknya tanpa rasa takut akan mengatakan, “biarkanlah, itu persembayangannya”.
Semasa kecil kakeklah yang menjadi kawan diskusi terutama menyoal bagaimana alam bekerja, bagaimana alam adalah sumber kehidupan itu sendiri. Pun, pada akhirnya sang kakek menyadari ada pergelutan antara manusia dengan keberlangsungan alam, sebab kehawatirannya akan pembangunan yang pesat di Bali. Inilah akar dari tulisan Saras Dewi dalam karya –mulanya sebuah disertasi lalu diterbitkan oleh Marjin Kiri yang ia beri judul Ekofenomenologi; Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam.
Buku yang terdiri dari enam bab ini memaparkan suatu pendekatan baru dalam menilik dan menganalisis fenomena kerusakan alam secara universal. Saras menekankan urgensi rekonstruksi pandangan relasional antara manusia dan alam.
Sebetulnya, pada tataran etis beberapa teori telah dikembangan untuk menjelaskan relasi antara manusia dengan alam. Namun, menurut Saras pemikiran etis saja tidaklah cukup tajam mendedah dan memilah substansi permasalahan kerusakan alam yang terjadi dewasa ini. Misalnya, pandangan Aldo Leopold tentang Etika Tanah (1949) mengenai rapuhnya kehidupan manusia karena dikuasai oleh perilaku antroposentrik.
Konsepsi Leopold mengenai konservasi ini menimbulkan persepsi dari beberapa environmentalis bahwa alam sebatas properti. Alam dinilai tidak memiliki unsur intrinsik, pun hanya relevan dalam kegunaannya bagi manusia. Pengertian konservasi kerap diterima sekadar bagaimana alam menjadi sumber daya yang memberikan manfaat untuk kehidupan manusia, berikut keserakahannya.
Memandang alam sebagai properti menjadi penyebab mengapa manusia seperti tidak terikat kewajiban pada alam. (hlm. 4).
Selain itu terdapat Arne Ná´‚ss yang mengawali gerakan ‘Ekologi-Dalam’, di mana mereka tidak merasa puas hanya pada filsafat maupun teori lingkungan. Mereka menekankan bahwa perubahan yang lebih baik terhadap kondisi alam adalah melalui aktivitas sosial.
Dalam buku setebal 172 halaman ini Saras mengungkapkan bahwa rekonstruksi terhadap alam yang rusak tidak dapat diselesaikan dengan pandangan etis-praktis saja, namun harus melalui pemahaman ontologis tentang alam. Namun, dia menegaskan bahwa pandangan ontologis yang dimaksudkan berbeda dengan sebelumnya (pandangan para etikus lingungan –red). Saras menawarkan ontologi baru yang menyorot secara spesifik relasi manusia dan alam. Artinya, manusia dan alam adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan, keduanya menjadi substansi yang utuh, yakni kehidupan.
Manusia modern beranggapan bahwa dirinya adalah spesies tertinggi di alam. Jika dirunut pada zaman berkembangnya ilmu pengetahuan, di Abad Pertengahan, ia mengasai alam atas validasi kitab suci. Selanjutnya, di Abad Pencerahan, yang didasari oleh postulasi Cartesian, Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada), manusia adalah entitas yang mampu menyadari keberadaan dan eksistensi melalui akalnya. Kemampuan cogitans inilah yang menjadi keistimewaan bagi manusia dan menjadi dasar seluruh fondasi antroposentik dibentuk. Dengan diiringi revolusi industri, sangat mungkin terjadi adanya teknologi baru. Mesin diinterpretasi sebagai wujud keunggulan manusia di atas alam. Oleh karena itu sumber daya alam digunakan tanpa menyadari dampak ekologisnya. Diandaikan, alam adalah sumber pemuas segala kebutuhan manusia. Maka dari itu, ulasan ekofenomenologi Saras dimaksudkan untuk menelusuri akibat diskoneksi manusia dengan alam dan mematahkan paradigma antroposentrisme tersebut.
Saras menganggap filsafat harus digunakan untuk meradikalisasi problem. Oleh karenanya, metode fenomenologi lingkungan digunakan untuk meneliti dan mengkritik relasi manusia dan alam secara radikal. Dia menggunakan Fenomenologi Edmund Husserl (1970), Maurice Merleau-Ponty (1973), dan Martin Heidegger (1983) sebagai kerangka berpikirnya. Ketiganya telah mengantarkan Saras pada konklusi bahwa telah terjadi disekuilibrium atau ketidakseimbangan di alam semesta ini.
Disekuilibrium merupakan hilangnya kestabilan dua vektor yang berbeda dan berlawanan tetapi saling berpengaruh. Kondisi tersebut karena manusia telah mengeksploitasi alam tanpa memikirkan keberlanjutan hidupnya. Meskipun alam memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan diri, lambat laun kondisi disekuilibrium yang terus menerus akan membawa manusia dan alam ke ambang kehancuran.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mewujudkan ekuilibrium? Saras meyakini, ketimpangan relasi antara manusia dan alam yang terjadi saat ini dapat dipulihkan apabila terdapat kesadaran ontologis relasi manusia dengan alam yang lebih adil (hlm. 146).
Di buku ini, Saras menyinggung konsepsi De Geus mengenai sistem masyarakat dalam menciptakan kondisi ekuilibrium, yakni sistem masyarakat yang patuh pada otoritas negara absolut, dan masyarakat terdesentralisasi atau anarkis. Murray Bookchin dalam buku Ekologi dan Anarkisme mengonsepsikan sistem masyarakat  anarkis yang menekankan perlunya desentralisasi sehingga komunitas yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil bisa lebih bekerja sama dan mematuhi kesepakatan untuk menyelenggarakan masyarakat yang peka terhadap alam. Sebab, masyarakat dalam skala kecil dan terdesentralisir dipandang lebih mudah diatur dan disesuaikan terhadap keadaan ekosistem. Para kaum anarkis mengontraskan komunitas ini dengan konsep urban yang sentralistik dengan pola konsumsi yang luar biasa sehingga alam semakin terdestruksi. Namun Saras mempertanyakan kemungkinan sejauh mana tercapainya ekuilibrium mengingat masyarakat urban telah menjadi simbol kepesatan peradaban manusia.
Agaknya Saras Dewi mengamini pendapat De Geus untuk tidak sepakat dengan dua format yang ada, baik totalitarianisme maupun anarkisme lingkungan dengan memberi pernyataan penutup sebagaimana berikut:
Menyerahkan otoritas pada negara semata-mata sebagai pemeran tunggal agar alam dapat terawat, merupakan wujud kepatuhan palsu yang tidak sungguh-sungguh membahas kesadaran subjek dalam mengupayakan ekuilibrium. Sebaliknya, anarkisme yang ditawarkan Bookchin bisa dibilang terlampau ekstrem dalam kondisi faktual yang ada sekarang, mengingat negara sesungguhnya masih relevan sebagai pengatur kebijakan yang memberi ruang pertimbangan etis bagi alam. (hlm. 146).
Dalam buku lain yang serupa yakni Lingkungan Hidup dan Kapitalisme; Sebuah Pengantar karya Fredd Magdoff dan John Bellamy Foster,  pun diterbitkan oleh Marjin Kiri, persoalan kerusakan ekologis tidak semata-mata disebabkan oleh sifat antroposentris, ataupun karena ekologi terjebak di antara pemisahan ekosentrisme dan antroposentrisme semata. Namun yang lebih penting adalah krisis lingkungan yang sifatnya kompleks, multifaset, dan semakin cepat pada skala planet ini dapat pula ditelusuri kepada satu penyebab sistemik: tatanan sosial-ekonomi tempat kita hidup. Menurut Rachel Carson, penyebab utama kerusakan ekologis adalah masyarakat yang memuja dewa-dewa kuantitas dan kecepatan, laba yang mudah dan cepat didapat, dan dari berhala mengerikan ini bangkitlah setan-setan mengerikan. Magdoff dan Foster pun mengamininya: kapitalismelah penyebab yang sebenarnya.
Adapun solusi yang ditawarkan buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme; Sebuah Pengantar adalah revolusi ekologis, yang berarti memutus lingkaran setan eksploitasi atas manusia sekaligus atas alam dan merencanakan masyarakat baru. Dalam hal ini, kedua pengarang mencita-citakan bahwa tradisional sosialisme dan ekologi yang kian berpautlah yang bisa dilakukan untuk menentang kapitalisme dan kehancuran lingkungan.
Terlepas dari keharusan menumbuhkan kesadaran ontologis relasi manusia dan alam, sebagai manusia yang hidup selaras dengan alam, kita mempunyai hak dalam memilih sebagai upaya mewujudkan ekuilibrium. Apakah masih akan menggaungkan konservasi sebagaimana konsepsi Aldo Leopold, menggunakan semangat aktivisme Ekologi-Dalam, menciptakan masyarakat baru dengan semangat sosialisme, menyepakati totalitarianisme-lingkungan, atau bahkan mengaplikasikan ide anarkisme-lingkungan yang dianggap terlalu utopis ini? Kesemuanya berhak mendapat tempat masing-masing.[]
Judul               : Ekofenomenologi; Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Pengarang      : Saras  Dewi
Cetakan          : Kedua, Maret 2018
Halaman         : xiv + 172 Halaman
ISBN                : 978-979-1260-42-8
Peresensi       : Zakiyatur Rosidah