ilustrasi/ google.com

“Cuma orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta.”
Kalimat tersebut menjadi pembuka sekaligus inti dari novelet karya penulis Indonesia, Ratih Kumala. Setelah sukses dengan Tabula Rasa, Genesis, Larutan Senja, Bastian dan Jamur Ajaib, Kronik Betawi, dan Gadis Kretek, melalui karyanya, Wesel Pos, Ratih Kumala berusaha menyibak keriuhan yang ada di ibu kota Indonesia, Jakarta.
Bermula dari kisah seorang perempuan desa bernama Elisa Fatunisa yang hidup sebatang kara karena ibunya baru saja meninggal, Elisa memberanikan diri berangkat ke Jakarta menggunakan transportasi bus. Berbekal uang seratus lima puluh ribu  rupiah, ponsel lawas, dan secarik wesel pos, Elisa menjelajahi kota Jakarta seorang diri. Wesel pos yang dibawanya merupakan satu-satunya petunjuk untuk mencari kakaknya, Ikbal Hanafi karena saban satu bulan sekali Ikbal mengirimkan uang untuk Elisa dan ibunya di kampung dan di situ tertera alamat kerjanya. Belakangan Ikbal sudah tak pernah memberi Elisa kabar seperti biasanya, pun nomor yang biasa menghubunginya tidak aktif lagi. Selain ingin memberitahu bahwa ibu sudah meninggal lebih kurang 30 hari silam, Elisa juga ingin mencari kakaknya yang sudah dua tahun lamanya  tak memberi kabar.
Begitu tiba di Jakarta, Elisa bingung ketika pertama menginjakkan kaki di terminal. Jakarta sunggu berbeda ketimbang desa tempat ia tinggal. Elisa tidak tahu hendak ke mana hingga ia beristirahat dengan membeli coffeemix yang dijajakan ibu-ibu. Elisa hendak ke kamar mandi sehingga menitipkan tas kepada ibu yang dianggapnya baik tersebut. Setelah ia selesai buang air kecil, Elisa mendapati ibu tersebut sudah tak ada di tempat, pergi entah ke mana. Tas yang berisi baju dan sejumlah uang tersebut turut raib. Dari sinilah permasalahan-permasalahan baru diterima Elisa. Ia semakin yakin bahwa perlu kekuatan ekstra untuk bisa bertahan hidup di ibu kota.
Akhirnya Elisa pergi ke kantor polisi untuk melaporkan perampokan yang dialaminya. Di sana, Elisa justru tahu bahwa penjahat tak bisa langsung ditangkap. Elisa hanya menerima selembar kertas berisi laporan yang membuatnya bingung. Barang-barang dalam tasnya hilang, tak punya pegangan uang sepeserpun hingga membuat Elisa menangis. Polisi yang menerima keterangan Elisa merasa iba sehingga memutuskan untuk mengantar menuju ke tempat kakaknya bekerja berbekal wesel pos kucel yang masih dipegangnya.
Seketika harapan itu muncul di benak Elisa. Sekuriti menunjukkan cara untuk menemui kakaknya, yakni bertemu dengan Fahri, supir salah satu direksi perusahaan di gedung tersebut. Fahri mempunyai banyak kenalan di gedung itu. Elisa lantas menemui Fahri dan menceritakan tujuannya datang jauh-jauh dari Purwodadi ke Jakarta. Fahri lah yang menemani Elisa menghadapi riuhnya ibu kota. Sementara Elisa ikut Fahri tinggal di rumah susun. Selama tinggal di sana, Elisa rajin bersih-bersih hingga suatu ketika ia mendapati banyak salinan wesel pos yang tertuju ke alamat rumahnya di kampung dan sepucuk surat darinya yang belum dibaca. Selepas itu, Fahri berani membuka mulut kalau Ikbal, kakak Elisa sudah meninggal. Selepas ikbal meninggal, Fahri meniru kebiasaan Ikbal, selalu menyisihkan uangnya untuk Elisa dan keluarganya berbantuan wesel pos.
Novelet setebal 100 halaman yang bisa diselesaikan dengan sekali duduk ini menggambarkan betapa riuh dan rumitnya kehidupan di Jakarta. Berbagai persoalan pelik selalu menghinggapi kehidupan setiap manusia yang tinggal di sana. Misalnya menyoal urbanisasi. Menggeliatnya urbanisasi tidak dapat dilepaskan dari kemajuan yang tampak akibat modernisasi dan industrialisasi di Jakarta. Hal-hal dengan gemerlapnya yang ditawarkan ini kemudian memunculkan persepsi jika ingin sukses maka bekerjalah di Jakarta. Persepsi ini yang kemudian membuat orang berbondong-bondong meninggalkan desa, mengadu nasib ke kota metropolitan nomor satu di Indonesia. Urbanisasi ini memberikan banyak dampak di antaranya penduduk kota semakin banyak, desa semakin ditinggalkan, polusi dan kerusakan lingkungan semakin menggurita, terlebih persoalan-persoalan kriminal.
Selain itu, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka tiap-tiap individu semakin kompetitif. Individu harus bekerja dan berjuang lebih giat guna memenuhi kebutuhan hidup dan survive di ibu kota. Hal ini juga mempengaruhi pola interaksi antarmasyarakat yang semakin individualis. Solidaritas dan interaksi masyarakat ibu kota cenderung berbasis kepentingan ketimbang kekeluargaan.
Dalam novelet yang menggunakan wesel pos sebagai sudut pandang pertama ini, selain menceritakan persoalan Jakarta yang pelik dan keras sehingga harus menjadi manusia sakti dahulu agar dapat bertahan, juga berkisah tentang sulitnya mempertahankan prinsip hidup. Seperti halnya kisah Fahri yang ingin berhenti menjadi kurir narkoba namun terperangkap pada perjanjian dengan bosnya, jika tidak mau menjadi kurir selama hidupnya, maka ia diancam mati di jalan atau mati di tangan bosnya tersebut.
Penuturan Ratih Kumala cukup lancar, membuat pembaca sangat mudah memahami novelet ini meskipun terkadang jalan cerita selanjutnya sangat mudah ditebak. Cerita yang dihadirkan seakan memberi imbauan kepada pembaca bahwa untuk bertahan hidup di Jakarta haruslah menjadi orang sakti. Jika tidak, orang akan sakit dan mati ditelan kekalahan, seperti yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam Wesel Pos ini.
Judul               : Wesel Pos
Penulis            : Ratih Kumala
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan          : Pertama, Juni 2018
Tebal              : vii + 100 halaman
ISBN                : 978-602-03-8711-6
Peresensi       : Zakiyatur Rosidah