(Foto/ Pinterest.com)
“... Saya kaget, Mas,
tiba-tiba telepon genggam saya berdering lebih dari tiga kali. Saya nggak menyangka
telepon itu dari salah satu perusahaan (mercon tikus) yang mencoba meneror
dan membujuk kelompok tani kami supaya
tidak meneruskan inisiatif penangkaran burung hantu di desa ini. Tapi kami
tak menggubris itu, dan kami tetap jalan saja,” ungkap Sukip, salah satu petani Desa
Tlogoweru pada Kamis (5/9/2019).
Sore itu, di sebuah gubuk—bangunan kecil yang letaknya
di pinggir area persawahan, saya sangat menikmati obrolan hangat bersama beberapa
petani di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak. Teh hangat, camilan khas (telo goreng) dan tiga bungkus rokok
menemani cerita-cerita kondisi kelompok tani dan perkembangan penangkaran
burung hantu inisiatif kelompok tani desa itu.
Seperti biasa, jamuan dan
sambutan hangat semacam itu sudah menjadi kultur kelompok tani untuk menemani
setiap mahasiswa yang melakukan riset di desa Tlogoweru. Jadi, saya bukan yang
pertama mendapat perlakuan semacam itu. Maklum, Desa Tlogoweru tiap tahun pasti ada mahasiswa atau peneliti
yang melakukan riset. Riset yang dilakukan tidak jauh dari kesuksesan kelompok
tani “Telogo Kaweruh” dalam mengembangkan penangkaran burung hantu spesies Tyto alba atau serak Jawa yang persebarannya dapat dengan mudah ditemui di seluruh pulau
Jawa. Burung hantu tersebut sangat
membantu
petani dalam kegiatan pertanian karena burung tersebut bisa sebagai pemangsa alami tikus sawah.
Catatan ini berawal dari
penelitian untuk tugas akhir saya
yang mengambil objek penelitian burung hantu di desa Tlogoweru pada Kamis (5/9/2019).
Selain mengambil data terkait tugas akhir, saya dan teman saya mulai menggali
informasi tentang pertanian dan kondisi masyarakat setempat. Saya yang masih
awam tentang pengetahuan dalam bidang
pertanian sungguh sangat terbantu dengan obrolan-obrolan bersama petani. Tentunya,
sekelumit permasalahan pertanian yang dialami cukup memberikan pemahaman baru
bagi saya tentang permasalahan “teknis” maupun “kebijakan” dari pemerintah
untuk petani.
Obrolan semakin hangat ketika Sukip, salah seorang petani di Desa Tlogoweru menceritakan
permasalahan “teknis” yaitu kegagalan
panen yang sering melanda petani. Hal tersebut terjadi karena hama tikus yang
kerap kali menyerang area persawahan. Penelitian Eriandra (2015) menyebutkan
presentase kerusakan akibat hama tikus terhadap padi siap panen mengakibatkan
gagal panen yang dialami masyarakat Tlogoweru mencapai lebih dari 50%. Sehingga
masyarakat berupaya keras untuk mengatasi permasalahan teknis tersebut.
Akhirnya, pada tahun 2011 masyarakat menginisiasi pengembangan burung hantu
sebagai predator alami pemakan tikus sawah melaui Peraturan Desa (Perdes)
Tlogoweru Nomor 4 tahun 2011
tentang Burung Predator Tikus.
Upaya pengembangan burung hantu itu berhasil
dan sukses. Kelompok tani dan masyarakat sangat terbantu dengan burung hantu
yang secara ekologis mempunyai manfaat penting dalam siklus rantai makanan
dalam ekosistem persawahan. Alhasil, masyarakat mampu mengatasi permasalahan
teknis tersebut. Namun, upaya tersebut ternyata mengalami permasalahan yang lain,
yaitu terkait “kebijakan”, mulai dari kurang support-nya pemerintah—dalam hal ini Dinas Pertanian setempat dalam mendukung program dan kegiatan yang diinisiasi masyarakat,
hingga ancaman dari perusahaan mercon tikus.
“Saya
kaget, Mas,
tiba-tiba telepon genggam saya berdering lebih dari tiga kali. Saya nggak menyangka telepon itu dari salah
satu perusahaan (mercon tikus) yang mencoba meneror dan membujuk kelompok tani kami supaya tidak
meneruskan inisiatif penangkaran burung hantu di desa ini. Tapi kami tak
menggubris itu, dan kami tetap jalan saja,” ungkap Sukip.
Dari sini saya tahu permasalahan yang sifanya “kebijakan” itu muncul. Ternyata, usut punya usut, perusahaan yang menelepon Sukip adalah perusahaan obat pembasmi tikus yang sudah bekerjasama dengan Dinas Pertanian untuk dijual kepada petani, lanjutnya dengan nada agak tinggi. Dalam percakapan via melalui telepon antara Sukip dan perusahaan, ternyata pihak perusahaan mengungkapkan kekhawatiran apabila masyarakat membudidayakan burung hantu. Sukip juga menceritakan upaya intervensi yang dilakukan oleh perusahaan. Pasalnya, perusahaan menyatakan bahwa ia bisa rugi bahkan bangkrut apabila inisiatif masyarakat itu dilanjutkan dan dikembangkan di semua desa.
Dari sini saya tahu permasalahan yang sifanya “kebijakan” itu muncul. Ternyata, usut punya usut, perusahaan yang menelepon Sukip adalah perusahaan obat pembasmi tikus yang sudah bekerjasama dengan Dinas Pertanian untuk dijual kepada petani, lanjutnya dengan nada agak tinggi. Dalam percakapan via melalui telepon antara Sukip dan perusahaan, ternyata pihak perusahaan mengungkapkan kekhawatiran apabila masyarakat membudidayakan burung hantu. Sukip juga menceritakan upaya intervensi yang dilakukan oleh perusahaan. Pasalnya, perusahaan menyatakan bahwa ia bisa rugi bahkan bangkrut apabila inisiatif masyarakat itu dilanjutkan dan dikembangkan di semua desa.
Obrolan semakin hangat ketika
menceritakan kondisi pertanian pada masa Orde Baru. Permasalahan “kebijakan”
saat itu dapat dikatakan menumpas kedaulatan petani. Diceritakannya, dulu masyarakat desa Tlogoweru telah mengembangkan benih
padi lokal secara berkelanjutan. Namun, tiba-tiba ada petugas penyuluh pertanian
datang dan merampas bibit yang sudah dikembangkan. Skema yang dilakukan adalah
merampas semua benih padi lokal.
Padahal, benih yang dikembangkan masyarakat adalah benih jenis super.
“Diambil semua, Mas, sak-karung-karunge, ada juga yang dibeli. Selain itu, saat petani sudah
mulai musim panen, tiba-tiba tanaman siap panen itu rusak, bekasnya seperti
dibabat orang,”
jelas Sukip.
Percakapan itu mengingatkan
saya pada buku yang ditulis Hira Jhamtani (2008) berjudul Lumbung
Pangan; Menata Ulang Kebijakan Pangan. Buku tersebut secara eksplisit
menjelaskan tentang kebijakan yang mengabaikan sosial-ekonomi petani, salah satunya hak atas benih.
Jhamtani menuliskan kasus yang dialami Tukirin, petani di
Nganjuk, Jawa Timur yang dikriminalisasi atas gugatan PT Benih Inti Subur
Intani (BISI) dengan dakwaan melakukan pembenihan ilegal. Kasus itu benar-benar
menggambarkan bagaimana monopoli telah menunjukkan kekuasaannya atas lembaga
peradilan dan menghilangkan hak petani atas penangkaran benih (Jhamtani, 2008:
53). Dengan mencuatnya kasus Tukirin di Nganjuk, dan upaya-upaya intimidasi
petugas penyuluh pertanian seperti yang terjadi di Tlogoweru, menyebabkan
petani akhirnya dibuat takut apabila melakukan kegiatan pengembangan benih
secara mandiri.
Kondisi semacam itu nampaknya masih terus terjadi sampai sekarang. Pun, hal semacam itu menunjukkan bahwa
kebijakan-kebijakan
menyoal
pertanian sungguh
masih jauh dari harapan petani. Saat ini kita masih menunggu dan berharap
kebijakan yang memihak kepada petani untuk mewujudkan kedaulatan petani.[]
0 Komentar