(Foto/Google.com)


Oleh : Firman Hardianto*

Hak fundamental dan universal telah melekat pada diri manusia sejak lahir, salah satu bentuk hak itu adalah kebebasan berpendapat. Manusia bebas menyatakan pendapat, namun tetap harus memiliki landasan dasar tertentu sebagai pegangannya. Indonesia sebagai bangsa yang merdeka telah memberikan dasar konstitusional terkait kebebasan berpendapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 3 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 28 E ayat 3 itu menjadi konsekuensi bahwa setiap warga Negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat tanpa pengaruh dari pihak manapun.

Namun hal tersebut sering dimaknai bahwa kebebasan berpendapat bersifat absolut padahal tidak demikian. Jika meninjau kembali Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J menjelaskan bahwa pada prinsipnya Hak Asasi Manusia (HAM) setiap orang itu dibatasi oleh hak yang sama pada orang lain (ayat 1), dan dibatasi oleh undang-undang (ayat 2).

Maka bentuk pemahaman bahwa kebebasan berpendapat bersifat absolut merupakan suatu kekeliruan. Tentunya dalam berpendapat setiap orang perlu memperhatikan norma sosial dan azas kesopanan agar pendapat tersebut dapat tersampaikan dengan baik. Seperti yang diungkapan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo bahwa ekspresi kebebasan berpendapat harus dilakukan secara proporsional agar tidak mencederai hak asasi orang lain (news.detik.com, 2020). Jangan sampai kebebasan berpendapat yang ada justru menimbulkan kegaduhan sosial dan berimplikasi pada ketidaknyamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perlu diingat bahwa pluralitas terkait erat dengan kehidupan sosial manusia. Konsekuensi dari keadaan sosial itu setiap orang memiliki kebebasan berpendapat, namun juga memiliki kewajiban dalam menghargai setiap perbedaan yang ada. Tentu kewajiban itu perlu dilaksanakan demi kemaslahatan hidup agar tercipta kehidupan yang aman, damai, dan adil bagi setiap orang.

Tidak jarang penyampaian pendapat yang salah menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Ada berbagai contoh kasus konflik yang disebabkan karena pendapat yang menimbulkan kegaduhan sosial. Salah satu contoh terbarunya adalah insiden penerbitan karikatur Nabi Muhammad yang dibela oleh Presiden Prancis, Emanuel Macron (bbc.com, 2020). Pihak pembela menanggapi hal itu sebagai kebebasan berpendapat, namun imbasnya tentu menyakiti kaum beragama Islam yang merasa dilecehkan atas penerbitan karikatur tersebut. Imbasnya beberapa Negara mayoritas muslim memboikot produk Prancis sebagai bentuk kekecewaan yang ditunjukkan karena pendapat yang terlalu bebas tersebut.

Maka langkah terbaik dalam memahami kebebasan berpendapat adalah bebas namun berbatas. Setiap orang berhak berpendapat sesuai keinginannya, namun jangan sampai menyakiti orang lain atas apa yang telah diungkapkan. Kemaslahatan bersama tetap saja harus lebih dijunjung daripada kebebasan berpendapat.


*)Kru LPM Frekuensi Angkatan 2018