Semarang, KABARFREKUENSI.COM - Setiap 1 Mei, masyarakat global memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, sebagai bentuk penghormatan terhadap peran vital buruh dalam pembangunan ekonomi. Perayaan ini memiliki akar sejarah yang kuat dari abad ke-19, ketika buruh di berbagai negara memperjuangkan jam kerja delapan jam serta kondisi kerja yang lebih manusiawi.
Di Indonesia, peringatan May Day masih menjadi panggung penting untuk menyuarakan aspirasi para pekerja. Di tahun 2025, ribuan buruh di Semarang yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJT) turun ke jalan menyampaikan tuntutan mereka. Massa aksi berasal dari berbagai federasi besar seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Serikat Buruh Seluruh Masyarakat Grobogan (S.B Semar), Aliansi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP), dan Konfederasi Barisan Buruh Indonesia (KBBI). Titik kumpul utama berada di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, yang menjadi saksi orasi-orasi lantang, spanduk protes, dan wajah-wajah lelah yang menuntut perlakuan manusiawi.
Beberapa isu utama yang disuarakan antara lain penghentian diskriminasi di tempat kerja serta desakan kepada pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Dalam pandangan para buruh, korupsi menjadi hambatan utama terhadap pemenuhan hak-hak dasar mereka, karena merampas alokasi anggaran bagi kesejahteraan pekerja.
Namun, aksi damai tersebut diwarnai insiden yang mengundang keprihatinan. Kericuhan yang dipicu oleh pihak tidak dikenal berujung pada tindakan represif aparat, seperti penggunaan gas air mata dan water cannon. Mahasiswa dan jurnalis kampus yang turut hadir dalam aksi turut mengalami dampaknya, termasuk penahanan dan penyitaan alat peliputan. Laporan juga menyebut adanya kendala dalam upaya pendampingan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.
Data dari Goodstats per Februari 2024 mencatat bahwa rata-rata upah buruh nasional berada di angka Rp3.040.719 per bulan, jauh di bawah estimasi kebutuhan hidup layak (KHL) di kota besar yang berkisar Rp5 juta. Buruh harian lepas bahkan hanya menerima sekitar Rp1.744.402 per bulan. Sementara itu, diskriminasi struktural masih terjadi, di mana buruh perempuan menerima upah 22% lebih rendah dari laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan pekerja sektor informal yang mencapai 59% dari total tenaga kerja nasional tidak memiliki jaminan sosial atau kontrak kerja yang memadai.
Selain itu, tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga meningkat, dengan lebih dari 127.000 buruh, mayoritas di sektor manufaktur, kehilangan pekerjaan pada awal 2024. Fenomena ini menjadi cerminan rapuhnya sistem ketenagakerjaan nasional dalam menghadapi tekanan global.
Peringatan May Day semestinya menjadi ruang refleksi nasional untuk meninjau kembali sistem ketenagakerjaan dan kebijakan ekonomi yang berlaku. Ketika tuntutan buruh tidak mendapatkan ruang dialog yang konstruktif, dan kebijakan masih belum berpihak secara nyata, maka upaya membangun keadilan sosial akan terus menemui jalan terjal.
Sudah saatnya negara menunjukkan keberpihakan nyata melalui kebijakan, menetapkan upah layak berbasis KHL, menjamin perlindungan sosial bagi seluruh pekerja, serta menciptakan ruang kerja yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan. Sebab buruh bukan sekadar pelengkap dalam pembangunan, mereka adalah fondasi utama yang menopang kemajuan bangsa.
Penulis: Riby Aminarti
Editor: Siti Qummariyah
0 Komentar