Sumber Dokumentasi: portal brebes. com

Semarang, KABARFREKUENSI.COM - Tradisi atau adat istiadat adalah suatu warisan budaya berupa kebiasaan dalam masyarakat yang dilakukan secara konsisten. Indonesia sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, memiliki banyak tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Kekayaan tradisi tidak hanya tercermin dalam kebudayaan, tetapi juga dalam ekspresi keagamaan yang beragam dan unik di berbagai daerah. Salah satu tradisi yang berbasis nilai-nilai keagamaan ialah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau lebih dikenal dengan Muludan.

Maulid Nabi Muhammad SAW yang diperingati pada tanggal 12 Robiul Awal menjadi momentum penting bagi umat islam. Peringatan ini menjadi momentum istimewa bagi umat Islam untuk mengenang  perjuangan Nabi Muhammad SAW, dan ajaran mulianya, serta jejak langkah sejarahnya. Tradisi muludan telah dilakukan sejak zaman sahabat Nabi kemudian terus berkembang dan masih dilakukan hingga menjadi tradisi di kalangan umat islam pada masa berikutnya. Tujuan utamanya sebagai bentuk penghormatan, meningkatkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW serta untuk refleksi mendalam atas perilaku dan akhlak teladan yang diberikan Rasulullah SAW dalam menjalani kehidupan.

Tradisi menyambut Maulid Nabi memiliki ciri khas yang berbeda-beda di setiap daerah, salah satunya adalah di daerah Brebes, Jawa Tengah. Menjelang penghujung perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, masyarakat Brebes memiliki tradisi yang kaya dan unik. Salah satunya adalah tradisi tekwinan yang dilaksanakan pada malam ke-8 bulan Rabiul Awal. 

Secara etimologis, istilah Tekwinan berasal dari serapan Bahasa Arab yang berakar pada kata taqwa. Kata taqwa terbentuk dari susunan waqa-yaqi-waqiyatan kemudian mengalami penyesuaian fonetik hingga berkembang menjadi Tekwinan seperti yang dikenal saat ini. Selain itu, terdapat seorang ulama yang mengaitkan kata tersebut dengan frasa ittaqullah fii kulli zaman wa makan artinya bertakwalah kepada Allah di manapun dan kapanpun. Tradisi tekwinan memiliki beragam nama lain seperti Takwinan, Layahan, atau Bada Layah. Akar tradisi ini diyakini sejak masa walisongo pada abad ke-14 Masehi dan hingga saat ini masih aktif dilakukan oleh masyarakat muslim di Brebes. 

Proses pelaksanaan tekwinan, melibatkan sajian beragam makanan yang memiliki makna simbolis diantaranya nasi ketan, buah-buahan dan aneka jajanan pasar tradisional. Ketan melambangkan keharmonisan dan persatuan hubungan antar sesama manusia. Dalam bahasa jawa, ketan berkaitan dengan kata kraketan yang berarti saling merekatkan. Tradisi Tekwinan mencermikan tiga makna cinta yang terjalin dalam perayaan maulid yaitu cinta kepada sesama manusia, cinta kepada Allah SWT, serta cinta kepada Rasulullah SAW. Ketiga makna tersebut menjadi aspirasi moral yang meresap dalam jiwa dan tindakan dalam setiap individu. Keberadaan buah-buahan seperti jeruk, pisang, salak, dan apel dalam tradisi tekwinan juga memiliki makna simbolis. Hidangan ini melambangkan kebahagiaan dalam menyambut kelahiran seorang bayi. Pada acara perayaan Maulid Nabi, kehadirannya mencerminkan rasa syukur dan suka cita atas kelahiran Nabi Muhamad SAW. 

Tradisi tekwinan pada awalnya, dimaksudkan untuk menarik perhatian anak-anak mau datang ke masjid dan mengikuti rangkaian acara muludan yang berlangsung dalam waktu cukup lama. Dengan adanya hidangan makanan yang menarik, diharapkan anak-anak merasa bersemangat untuk ikut berpatisipasi. Sehingga dapat disimpulkan tradisi tekwinan memiliki makna ganda yaitu sebagai wujud rasa syukur dan media yang efektif untuk mengenalkan kepada generasi muda tentang pentingnya memperingati bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini juga mencerminkan perpaduan harmonis antara nilai-nilai keagamaan dan ekspresi budaya lokal yang mengedepankan persaudaraan dan kepedulian sosial.

Penulis: Zahra Nafisah Nurmadiyyah
Editor: Dian Nur Hanifah