(Sumber: Radar Pati)

Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu momen penting yang dirayakan umat Islam untuk mengenang kelahiran Rasulullah SAW. Perayaan maulid Nabi di Indonesia sangat beragam, termasuk tradisi Meron di Pati, Jawa Tengah. Tradisi Meron memadukan unsur keagamaan dan budaya Jawa yang telah diwariskan secara turun-temurun. Selain memiliki nilai religius dan budaya, tradisi Meron juga mencerminkan nilai-nilai Pancasila serta sikap warga negara yang aktif dan bertanggung jawab.

Meron berasal dari kata “meron-meron” yang berarti arak-arakan. Menurut Purwanto, dkk (2019), tradisi meron ini mirip dengan Grebeg Maulid (Sekatenan) di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Tradisi Meron diselenggarakn setiap tanggal 12 Robiul Awal di Desa Sukolilo Kabupaten Pati bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masyarakat umumnya menggelar pengajian serta pembacaan Al-Barjanji di masjid maupun di kediaman warga sebagai wujud kecintaan dan penghormatan kepada Rasulullah SAW.

Menurut Pramudyani (2011), bentuk Meron dibagi menjadi dua bentuk, yaitu secara fisik dan prosesi. Bentuk fisik mencakup Uborampe yang terdiri dari makanan, berbagai jenis bunga, kertas, janur, juwadah (Once, Ampyang/Krecek, Cucur), karangan bunga, Ancak, hiasan Meron, dan Mustoko. Prosesi upacara Meron meliputi pembukaan oleh pembawa acara dengan membaca Surah Al-Fatihah atau Basmalah, pembacaan ayat suci Al-Qur’an, pembacaan selayang pandang Riwayat Meron, sambutan-sambutan, doa penutup, dan pembagian berkat selamatan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Meron ada dua, yaitu nilai religius dan nilai sosial. Menurut Setyaningsih dan Muthohar (2023), setiap masjid dan mushala bahkan rumah masyarakat dibacakan al-Barjanji (Risalah Nabi) setiap tanggal 1 sampai 12 Rabiul Awal. Masyarakat juga melakukan malam tirakatan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT dengan berbagi makanan agar mempererat tali silaturahmi antar warga Desa Sukolilo Kabupaten Pati. Nilai sosial pada perayaan Meron yaitu sikap saling mengasihi dan menghormati semua yang diciptakan Allah baik makhluk hidup atau benda mati. Masyarakat hidup rukun dan tidak membeda-bedakan kedudukan sosial. Hal ini terwujud saat pembentukan panitia dan pelaksanaan upacara Meron yang berjalan dengan baik tanpa adanya perselisihan. Kebersamaan tersebut tercermin saat masyarakat melakukan tirakatan sebelum upacara Meron dengan menyiapkan Uborampe, menata gunungan Meron.

Nilai religius dan nilai sosial yang terkandung dalam tradisi Meron sesuai dengan Pancasila khususnya sila pertama dan ke tiga. Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”, tercermin dalam kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW melalui pembacaan shalawat, dzikir, dan pengajian. Sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia”, tampak dari partisipasi aktif masyarakat tanpa membedakan kelas sosial, serta semangat gotong-royong dalam melestarikan tradisi bersama.

Tradisi Meron penting sebagai identitas lokal yang tetap mengakar kuat pada nilai-nilai Islam dan kebangsaan. Generasi muda diharapkan dapat lebih mengenal, menghargai, dan turut serta melestarikan budaya Islam Nusantara sebagai bagian dari kekayaan Bangsa Indonesia. Melalui pelestarian tradisi ini, nilai-nilai toleransi, gotong-royong, dan cinta tanah air dapat terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Penulis: Nida Izzatus Safa'ah 

Editor: Dian Nur Hanifah