— Yang Akan Amerta dalam Aksara —
Senja yang hangat menjingga, ditemani senyumannya yang membuat segalanya terasa nirmala. Desiran ombak menenangkan hati, dan mataku menatap jauh ke cakrawala, ke arah langit yang perlahan berubah menjadi malam.
“Antaya
Nayanika, jika boleh, aku ingin terus bersamamu, merajut masa depan yang
indah,” ucapnya padaku.
“Sama
sepertiku. Aku ingin hidup berdampingan denganmu selamanya,” jawabku sambil
terus memandangi langit.
“Aya,
tolong... bertahanlah hidup lebih lama. Kalau tidak ada alasan lagi untuk
bertahan, jadikan aku alasannya. Jadikan aku rumahmu, tempatmu pulang yang
selalu nyaman,” katanya. Aku tak menjawab, hanya diam dalam pelukan hening.
Kupandangi
dirinya yang masih menatap langit dengan sorot mata teduh. Rahangnya kokoh,
alisnya tebal, dan bibirnya tipis. Begitu sempurna dia kekasihku. Aku
menyebutnya "Tuan Tanpa Nama." Dua tahun sudah kami merajut cinta.
Konflik pun tak jarang datang, tapi dengan kepala dinginnya, kami selalu bisa
bertahan.
“Besok
kamu bisa ke sekolah sendiri kan, Ay?” tanyanya tiba-tiba.
“Lho,
kenapa?”
“Aku
ada urusan penting yang tak bisa ditunda.”
Aku
hanya mengangguk.
“Sayang,
kamu enggak marah, kan?”
“Tenang
aja, aku enggak marah. Selesaikan urusanmu dulu,” jawabku tenang.
“Makasih,
Ay. Tolong, tetap di sini, ya,” katanya sambil memelukku erat.
Pagi
itu aku duduk di depan cermin, merapikan seragam dan rambut panjangku. Denting
notifikasi dari ponsel mengganggu namanya muncul di layar, lagi-lagi minta maaf
karena membatalkan janji berangkat bersama. Pesannya kuabaikan. Sudah dua
minggu ini dia seperti itu. Aku mulai muak.
Setelah
rapi, aku turun untuk sarapan. Rumah sunyi. Hanya Bi Ina yang sedang menyiapkan
bekal.
“Eh,
Non Tata sudah siap? Sarapan dulu, ya. Bibi sudah buatkan,” katanya.
Aku
duduk dan menyantap sarapan dalam keheningan. Kesibukan Ayah dan Ibu membuatku
terbiasa sendiri. Selesai makan, aku pamit pada Bi Ina. Di depan, Pak Arya
sedang menikmati kopi.
“Selamat
pagi, Non. Mau ke sekolah, ya?”
“Pagi
juga, Pak. Anu, boleh saya diantar lagi sama Bapak?”
“Tentu
boleh dong. Ayo, kita langsung jalan,” katanya sambil masuk ke mobil.
Setelah
15 menit, kami tiba di gerbang bertuliskan “SMA 3 Wiratama.” Kulangkahkan kaki
masuk. Di tengah jalan, kulihat seseorang yang sangat kukenal sedang bersama
gadis lain. Aku berpaling. Aku tak mau membuat keributan pagi-pagi, tapi
wajahku sudah mencerminkan kecewa yang tak bisa kusembunyikan.
“Ayaa,
lo kenapa? Baru pagi udah bete begitu,” tanya Lora teman sebangkuku.
“Gue
gapapa, kok.”
“Bohong.
Makan tuh ‘gapapa’.”
“Ikut
dong, ada apa nih? Baru juga duduk udah ribut,” kata Aca teman kami yang lain.
“Temen
lo tuh, Ca. Ada aja yang disembunyiin.”
“Cowok
lo bareng cewek lain, kan?” ucap Aca.
“Kok
lo tahu?”
“Tadi
ketemu di parkiran.”
“Oh,
jadi gara-gara si kepala adudu itu?” kata Lora kesal. “Gue enggak rela liat lo
bete begini.”
“Tenang,
gue biasa aja kok.”
“Gue
malu. Ngapain sih semua orang ngelihatin,” kata Lora yang langsung menunduk.
“Si
Acel mana sih? Biasanya kalau ada dia, rasa malu gue enggak ngaruh. Soalnya dia lebih gila”
“Siapa
yang bilang gue gila? Sini lo!” teriak seseorang dari pintu, Acel.
“Gue.
Lo kenapa, enggak seneng?”
“Udah,
kalian berdua emang sama aja,” kataku.
“Biarin.
Nanti juga capek sendiri,” kata Aca.
Lima
menit kemudian, keduanya sudah duduk kelelahan.
“Minta
maaf, atau besok enggak gue ijinin ikut ke pantai,” ancam Aca.
Tanpa
pikir panjang, keduanya langsung saling minta maaf.
“Nah,
gitu dong. Adem, kan?” ucap Aca sambil tersenyum. Aku hanya memijat pelipis.
Pukul
tiga sore. Saatnya pulang. Saat hendak keluar kelas, kulihat seseorang berdiri
di ambang pintu. Ya, dia "Tuan Tanpa Nama".
Aku
mengabaikannya dan melangkah pergi. Tapi ia sigap meraih lenganku. Kutepis
tangannya.
“Kenapa?”
tanyanya seakan tak bersalah.
“Pikir
aja sendiri. Kalau tahu salah, pasti sadar,” ucapku sambil pergi.
Saat
menyeberang jalan, tiba-tiba
Sebuah
truk melaju cepat...
Perlahan
kurasakan sentuhan tangan yang sangat kurindukan. Kubuka mata. Ayah dan Ibu
menatapku dengan mata sembab meski senyum tersungging. Di mana aku? Apa yang
terjadi?
Kepalaku
berdenyut. Mereka panik, lalu seorang pria berseragam putih masuk membawa alat.
Semua orang keluar, meninggalkanku berdua dengannya.
Setelah
selesai, mereka masuk lagi. Kini, masuklah dia "Tuan Tanpa Nama."
Tubuhnya lebih kurus, mata cokelat indahnya tampak redup.
“Antaya,
maaf.”
“Untuk
apa?”
“Kalau
kemarin aku enggak biarkan kamu pulang sendiri, kamu mungkin enggak akan di
sini. Aya, aku selalu mencintaimu, selamanya. Tolong, bertahanlah hidup. Aku
pulang dulu ya. Tenang, orang tuamu sudah pulang. Jangan merasa sendiri lagi.”
Ia
memelukku, lalu pergi begitu saja.
Kukejapkan mata. Serasa terbangun dari mimpi panjang. Ruangan putih ini masih sama.
Seseorang masuk.
“Maaf,
Anda siapa?”
“Kamu
enggak perlu tahu siapa aku. Yang perlu kamu tahu, mereka...”
Ia
menunjuk ke arah pintu. Ada Ayah, Ibu, Lora, Acel, Aca, dan dua orang yang
wajahnya kukenal orang tua ‘Tuan Tanpa Nama’.
“Semestaku
ke mana, Bun? Semua ada di sini, kecuali dia,” tanyaku.
“Sayang,
maaf... semestamu sudah tiada. Ia mengidap kanker otak sejak lama. Tapi dia
akan hidup di dalam dirimu. Ginjal dan kedua matanya kini ada padamu. Itu
ucapan maaf dan terima kasih darinya,” ujar Ibu sambil memelukku.
Aku
menangis.
“Enggak
mungkin! Dia janji hidup bersamaku...” kataku sambil tergugu.
Genap
setahun sejak kepergiannya. Aku kembali ke tempat favorit kami pantai senja
yang hangat, tempat pelukannya dulu bersemayam.
Kubuka
buku harianku.
Kisah
kita memang sesaat, tapi dalam aksaraku, kamu akan abadi.
—
Tentang Tuan Tanpa Nama, Sang Pemilik Nayanika —
Layaknya
swastamita di cakrawala
yang
selalu menunggu rembulan,
Aku
pun menunggumu.
Namun
nyatanya, menunggumu untuk kembali
hanyalah
fatamorgana
yang
selalu kuyakini akan menjadi nyata.
Kutitipkan
renjana pada sang angin,
walau
hanya lara yang tersisa.
Meski
tak berakhir bersama,
aku
senang pernah bertemu denganmu.
Kamu
akan amerta dalam aksaraku.
Istirahatlah
dengan tenang,
Tuan
Tanpa Nama.
Penulis: Amalia Kurnia Sari
Editor: Siti Qummariyah
0 Komentar