Semarang, KABARFREKUENSI.COM-Arus
pembangunan kian mengagungkan digitalisasi sehingga desa sering dipandang
sebagai wilayah yang “tertinggal” hanya karena tidak memiliki gedung tinggi,
koneksi internet cepat, atau fasilitas modern. Namun, pengalaman di Desa
Cukilan, Kecamatan Suruh, justru memperlihatkan bahwa kemajuan sejati tidak
selalu berwujud teknologi mutakhir. Desa mengajarkan bahwa kemajuan bisa hadir
dalam bentuk kebersamaan, ketenangan, dan akar budaya yang kokoh.
Berdasarkan
penelitian “Pengembangan Sistem Informasi Desa Cukilan Menggunakan
Pendekatan Design Science Research” (Aldo Prawiro dkk., JATI, Vol. 7, No.
1, 2023) mencatat bahwa Desa Cukilan memiliki luas 621,18 hektar dengan
komposisi 43,21% berupa lahan garapan bukan sawah, 25,42% sawah, dan sisanya
tanah tidak ditanami. Populasi pada tahun 2025 diperkirakan mencapai sekitar
6.500 jiwa yang tersebar dalam 7 dusun, 7 RW, dan 41 RT. Mayoritas penduduk
bekerja sebagai petani dan buruh tani, sehingga denyut kehidupan masyarakat
sangat erat dengan pertanian dan ritme alam.
Konteks
nasional memberikan gambaran lain. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui
Susenas 2023 menunjukkan adanya kesenjangan digital. Persentase rumah tangga
yang menggunakan internet di perkotaan mencapai 91,01%, sedangkan di perdesaan
hanya 81,60%. Angka ini memperlihatkan bahwa meskipun penetrasi internet secara
nasional cukup tinggi, desa masih tertinggal dalam akses digital.
Namun,
apakah angka ini cukup untuk menilai sebuah desa dikatakan “kurang maju”? Tidak
selalu. Justru, di balik keterbatasan infrastruktur, desa memiliki daya tahan
sosial yang khas. Kehidupan masyarakat tidak terjebak dalam kecepatan informasi
yang melelahkan, tetapi menemukan ketenangan dalam kebersamaan.
Kondisi kota besar memberikan perbandingan yang
kontras. Modern, penuh fasilitas, dan serba cepat, tetapi banyak warganya
terjebak dalam kesibukan tanpa henti: jalanan macet, pekerjaan menuntut, dan
ruang sosial semakin menyempit. Tetangga jarang saling mengenal, bahkan
interaksi lebih banyak digantikan oleh layar ponsel. Desa menunjukkan wajah
berbeda. Warga masih saling menyapa, bergotong royong saat panen atau hajatan,
serta berbagi makanan tanpa pamrih.
Konsep
kemajuan dititik ini masih perlu didefinisikan ulang. Selama ini, kemajuan
kerap diartikan pada pembangunan fisik: jalan raya, gedung tinggi, pusat
perbelanjaan, atau jaringan internet. Padahal, pembangunan yang hakiki
seharusnya berpihak pada manusia. Ada tiga hal penting yang perlu ditegaskan
kembali: Pertama, kemajuan bukan konsumsi tanpa batas, melainkan kemampuan
untuk merasa cukup. Desa mengajarkan bahwa kesederhanaan tidak mengurangi
kebahagiaan, justru memperkuatnya; Kedua, kemajuan tidak hanya percepatan
layanan atau teknologi, tetapi juga kesabaran, ketekunan, dan rasa kebersamaan.
Desa menunjukkan ritme hidup yang lebih selaras dengan alam dan sesama manusia;
dan Ketiga, pembangunan bukan sekadar infrastruktur, melainkan juga penguatan
karakter, pelestarian budaya, dan pemeliharaan relasi sosial.
Ukuran kemajuan yang hanya bertumpu pada angka
pertumbuhan ekonomi atau jumlah pengguna internet berisiko mengaburkan esensi
kemanusiaan. Desa Cukilan menunjukkan bahwa spiritualitas, ketenangan, dan
solidaritas merupakan indikator kemajuan yang jauh lebih mendalam. Kehidupan
perdesaan mengingatkan manusia untuk kembali pada hal-hal mendasar: menghargai
alam, menjaga hubungan sosial, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Cukilan bukan
sekadar “tertinggal,” melainkan menyimpan kearifan yang layak dijadikan rujukan
dalam merumuskan arah pembangunan bangsa.
Kemajuan sejati bukan soal seberapa cepat berlari,
melainkan seberapa dalam mengakar. Desa Cukilan memberi pelajaran berharga
bahwa pembangunan yang berpihak pada manusia harus memelihara kebersamaan,
spiritualitas, dan kearifan lokal. Kota besar semakin terjebak dalam hiruk
pikuk modernitas, sementara desa justru menyodorkan keseimbangan yang
menenangkan.
Pembicaraan tentang pembangunan sebaiknya tidak lagi terbatas pada pertanyaan “seberapa cepat kita maju,” melainkan juga “seberapa kokoh ikatan sosial kita” dan “seberapa kaya nilai spiritual kita.” Desa bukan hanya sekadar pelengkap pembangunan nasional, melainkan penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang membuat bangsa ini tetap utuh.
Kabar: Posko 126 KKN UIN Walisongo Semarang
Editor: Dian Nur Hanifah (Kru LPM Frekuensi 23)
0 Komentar