Sumber Dokumentasi: Pinterest

Hujan sore itu turun perlahan, menitik di kaca jendela yang berembun. Di setiap tetesnya, aku mendengar denting rindu yang tak bisa lagi kuterjemahkan dengan kata. Aku berdiri di teras rumah, menatap jalanan yang basah, dan seketika wajah Bu Dhe terbayang sosok yang pernah menjadi rumah keduaku, tempat aku pulang ketika dunia terlalu berat untuk kupikul sendiri.

Sejak kecil, aku sering menghabiskan waktu di rumah Bu Dhe. Rumah tua dengan dinding kayu dan aroma khas kayu jati yang selalu menenangkan. Lantainya dingin, namun hangat oleh tawa yang tak pernah absen. Ada suara panci beradu di dapur, aroma sayur asem yang mengepul, dan suara Bu Dhe yang renyah ketika memanggilku, "Nduk, makan dulu. Jangan hanya melamun di pojokan."

Bu Dhe bukan sekadar saudara ibu. Ia seperti ibu kedua yang selalu hadir, menambal retakan yang tak terlihat di hatiku. Ketika rumahku sendiri terasa seperti ruang asing penuh bentakan, dingin, dan keheningan yang mencekik aku selalu berlari ke rumah Bu Dhe. Di sana aku merasa bebas bernapas, seolah udara yang masuk ke paru-paruku lebih jernih.

Aku masih ingat betul, setiap kali aku tiba di rumahnya, Bu Dhe akan menyambut dengan senyum teduh. Tangannya kasar, penuh keriput, namun hangat ketika mengelus kepalaku. "Nduk, tak apa kalau kau lelah. Sini, cerita sama Bu Dhe. Jangan dipendam sendiri, air mata itu bukan kelemahan terkadang, ia justru jalan pulang menuju ketenangan."

Dan aku menangis di pangkuannya berkali-kali hingga mataku membengkak, tubuhku bergetar. Tapi Bu Dhe tak pernah bosan, ia hanya menepuk-nepuk punggungku, seperti menenangkan anak kecil yang baru saja jatuh. Dalam pelukannya, dunia seolah berhenti berisik hanya ada detak jantungnya, pelan namun pasti, menjadi lagu pengantar yang menenangkan.

Waktu berjalan, dan aku tumbuh. Namun, rasa ingin pulang ke rumah Bu Dhe tak pernah sirna. Di sela kesibukan kuliah, aku selalu menyempatkan diri untuk mampir kadang hanya duduk berdua, menyeruput teh panas, sambil mendengarkan ceritanya tentang masa lalu.

"Orang itu, Nduk," katanya suatu sore, "seringkali lupa bahwa rumah bukan hanya dinding dan atap. Rumah adalah hati yang mau menerima kita, meski kita datang dengan luka. Kau harus ingat itu. Jangan pernah merasa sendirian, karena selalu ada satu hati yang akan jadi rumahmu."

Aku mendengarkan, menyimpan setiap katanya seperti permata. Aku tahu, rumah yang ia maksud adalah dirinya sendiri. Dan benar saja, tiap kali aku merasa goyah, aku selalu teringat kalimat itu.

Namun, tak ada rumah yang abadi.

Hari itu datang tanpa peringatan. Sebuah kabar menyentak dari telepon genggamku, saat aku baru saja keluar dari kelas. "Bu Dhe sakit parah. Harus segera ke rumah sakit."

Aku berlari secepat mungkin. Nafasku tersengal, tanganku gemetar, dan hatiku seakan ditarik paksa ke jurang. Sesampainya di ruang putih itu, aku melihat Bu Dhe terbaring dengan selang oksigen. Wajahnya pucat, namun tetap ada senyum samar ketika ia melihatku.

"Nduk... kau datang," bisiknya.

Air mataku pecah seketika. Aku menggenggam tangannya, tangan yang dulu sering mengelus rambutku. Kini dingin, rapuh, seakan angin saja bisa merobohkannya.

"Bu Dhe jangan tinggalkan aku," suaraku parau, "aku masih butuh rumah itu. Aku masih butuh pelukan Bu Dhe."

Ia tersenyum, meski sulit. "Nduk, rumah itu tidak akan hilang. Rumah itu kau simpan di hati. Jangan takut kehilangan, karena cinta yang tulus... tak pernah mati."

Kalimat itu menjadi bisikan terakhir yang kudengar sebelum detak jantungnya perlahan berhenti. Suara mesin medis berubah menjadi garis lurus yang panjang. Dan aku, sekali lagi, menangis di pangkuannya kali ini pangkuan yang sudah kaku, dingin, tanpa kehidupan.

Hari pemakaman Bu Dhe menjadi hari paling berat dalam hidupku. Langit mendung, tanah basah oleh hujan yang seakan ikut berduka. Aku berdiri di pinggir liang lahat, melihat tubuhnya diturunkan ke dalam perut bumi. Rasanya, separuh jiwaku ikut dikubur bersamanya.

Orang-orang di sekitarku membaca doa dengan suara lirih, tetapi aku hanya bisa diam, menatap tanah yang pelan-pelan menutup tubuh yang dulu selalu menjadi rumah keduaku. Hatiku berteriak, namun suaraku tak keluar.

Setelah semua selesai, aku tetap berdiri. Orang-orang pulang satu per satu, meninggalkan aku sendirian. Hanya batu nisan sederhana dengan nama Bu Dhe yang menatapku hening. Aku duduk di sampingnya, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhku.

"Bu Dhe," bisikku lirih, "bagaimana aku bisa pulang sekarang? Rumah itu sudah hilang. Aku seperti orang asing di dunia ini."

Hujan menjawab dengan derasnya, seakan menyembunyikan tangisku yang pecah kembali.

Sejak hari itu, hidupku berubah. Rumahku sendiri tetap dingin, tak ada kehangatan yang bisa menggantikan Bu Dhe. Aku mencoba sibuk, mencoba melupakan, namun rindu selalu menemukan jalan.

Setiap kali melewati rumahnya yang kini sepi, dadaku sesak. Pintu kayu itu tertutup rapat, jendela berdebu, halaman dipenuhi daun gugur. Aku menatapnya lama, berharap Bu Dhe akan tiba-tiba keluar sambil berkata, "Nduk, kok berdiri di luar? Masuklah, makan dulu." Tapi tentu saja, itu hanya ilusi.

Aku masuk sekali, saat keluarga mengizinkan. Rumah itu benar-benar terasa kosong. Tak ada aroma masakan, tak ada suara panci, tak ada tawa renyah. Hanya keheningan yang menggema di setiap sudut. Aku duduk di kursi kayu ruang tamu, menutup mata, dan membiarkan bayangan masa lalu menari. Aku hampir bisa mendengar suara Bu Dhe lagi, nyaris bisa merasakan usap tangannya di kepalaku.

Tapi ketika kubuka mata, yang ada hanya ruang kosong.

Aku sadar, rumah itu memang telah hilang.

Namun, waktu punya cara mengajariku sesuatu.

Suatu malam, aku bermimpi. Bu Dhe datang, mengenakan kebaya sederhana yang biasa ia pakai. Senyumnya teduh, matanya penuh kasih. Ia tidak bicara, hanya memelukku erat. Dalam mimpi itu, aku menangis lagi, tapi kali ini berbeda, ada hangat yang menenangkan, ada pesan yang tak terucap namun bisa kurasakan: Aku selalu ada, meski kau tak bisa melihatku.

Aku terbangun dengan air mata di pipi. Dan sejak saat itu, aku mulai mengerti.

Rumah yang hilang bukan berarti tak ada. Ia tetap hidup di dalamku, dalam ingatan, dalam setiap pelajaran, dalam setiap tawa dan air mata yang pernah kubagi dengannya. Rumah itu kini menyatu dengan nafasku, menuntunku setiap kali aku tersesat.

Aku belajar menerima kehilangan. Meskipun perihnya tak pernah benar-benar hilang, aku tahu, Bu Dhe tidak pernah pergi. Ia hanya berpindah tempat dari rumah kayu yang sederhana, ke ruang sunyi di hatiku yang paling dalam.

Hari ini, aku kembali ke makamnya. Membawa bunga melati yang ia suka. Aku duduk di samping nisan, seperti dulu aku duduk di samping kursi kayunya.

"Bu Dhe," bisikku, "aku rindu. Tapi aku juga bahagia, karena aku tahu, rumah itu tidak benar-benar hilang. Ia ada di sini," kuletakkan tangan di dada, "bersamaku, selamanya."

Angin sore berhembus, membawa aroma tanah dan bunga. Aku menutup mata, membiarkan ketenangan menyelimuti.

Untuk pertama kalinya sejak kepergian Bu Dhe, aku merasa pulang.

Rumah tidak selalu berupa bangunan terkadang, rumah adalah seseorang yang membuatmu merasa diterima, dicintai, dan dipahami. Bu Dhe telah menjadi rumah bagiku, dan meski raganya telah tiada, rumah itu tak pernah benar-benar hilang. Ia tetap hidup, dalam ingatan, dalam doa, dalam setiap langkah yang kutempuh.

Dan aku, akan selalu kembali.

Karya: Siti Qummariyah (Kru LPM 23)

Editorial: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM 23)