Raya
adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Danu, adalah
kebanggaan ayah: laki-laki yang cerdas dan aktif di organisasi sejak SMA,
disiapkan sejak awal sebagai penerus. Kakak keduanya, Ayla, perempuan
manis yang selalu menjadi tempat ibu menggantung harapan: lembut, cantik, dan
suka bicara di depan umum.
Sementara
Raya… ia tumbuh seperti bayang-bayang di antara dua cahaya.
Ia
bukan anak yang sulit, tapi juga bukan yang dicari. Ia tumbuh sebagai anak yang
terbiasa mendengar pujian ditujukan untuk orang lain. Ia, yang bajunya hanya warisan, keinginannya yang selalu tertunda, dan pertanyaannya seringkali tak dijawab.
“Bu,
aku ikut lomba puisi minggu depan ya,” ucap Raya saat SMP.
“Puisi?
Ayla dulu juga pernah lomba pidato. Kamu cocoknya belajar aja, jangan ngelamun
mulu,” jawab ibunya sambil menyisir rambut Ayla.
Ayahnya
hanya melirik sekilas, lalu kembali berbicara soal turnamen bola Danu minggu
depan.
Dan
Raya pun diam lagi.
Tahun-tahun
berjalan dengan pola yang sama. Raya belajar diam-diam, menangis diam-diam, dan
mencintai tulisan dalam senyap. Ia mencatat setiap luka kecil, setiap
ketidakadilan yang ia telan, dan merangkainya menjadi kalimat. Ia belum tahu
akan dibawa ke mana semua itu. Tapi satu hal yang pasti, jika tidak
bisa bicara di rumah, ia akan bicara lewat tulisan.
Saat
lulus SMA, Raya tidak banyak bicara. Ia diam-diam mendaftar beasiswa ke
Universitas di Semarang, jurusan Sastra Indonesia. Ia hanya memberitahu saat
pengumuman resmi diterima.
“Bu,
Pak… Raya keterima di Semarang, dapat beasiswa penuh,” ucapnya hati-hati saat
makan malam.
Ayahnya
mengangkat alis. “Sastra? Hah? Jurusan itu kerja apa nanti?”
Ibunya
menambahkan, “Yakin kamu kuat sendiri? Lain sama Ayla, dia kan banyak temannya
di kota. Kamu tuh pendiam, jangan nekat.”
Raya
mengangguk. “Kalau aku tetap di sini, aku akan terus jadi diam.”
Dan
hanya itu yang ia sampaikan.
Ia
pergi hanya dengan koper tua dan buku catatan. Tak ada peluk, tak ada tangis
haru. Tapi Raya tidak pergi untuk dikenang, ia pergi untuk membuktikan bahwa
diamnya menyimpan sesuatu.
Di
Semarang, Raya tumbuh seperti hujan pertama yang akhirnya jatuh ke tanah. Ia
menyelami sastra dengan penuh cinta. Ia ikut komunitas menulis, organisasi
mahasiswa, dan bekerja paruh waktu di toko buku. Ia menulis setiap malam terkadang
puisi, esai, ataupun cerpen.
Tahun pertama kuliah, ia menerbitkan
buku puisi perdananya: Yang Selalu Mengalah.
Isinya
tentang luka-luka kecil yang tak pernah dibahas dalam ruang makan. Tentang tawa
yang ditelan demi melihat orang lain bahagia. Tentang adik bungsu yang selalu
jadi bayangan.
Buku
itu viral di kalangan mahasiswa sastra. Salah satu puisinya bahkan dibacakan di
acara literasi nasional.
“Aku
yang tak pernah jadi pilihan pertama,
menjadi jalan sunyi yang tak pernah ditanyakan arahnya. Tapi bukankah
bintang tetap bersinar, meski tak dipanggil namanya?”
Ia
mulai mendapat undangan jadi pembicara. Dosen-dosen memintanya jadi mentor
literasi. Lalu buku keduanya terbit: Rumah yang Tak Pernah Bertanya Kabar.
Kali ini kumpulan cerpen tentang hubungan keluarga yang dingin dan kabar-kabar
yang tak sempat ditanyakan.
Ia
kirimkan bukunya ke rumah. Tanpa pesan, hanya ada nama penulis di sampul depan:
Raya Maheswari.
Di
rumah, ibunya membuka paket itu perlahan.
“Pak…
ini bukunya Raya,” bisiknya pada ayah. Mereka membaca perlahan dan terdiam.
“Ini
tentang kita, ya?” tanya ayah lirih.
“Dia…
menyimpan semua ini sendiri,” jawab ibu dengan mata yang mulai basah.
Beberapa
minggu kemudian, telepon Raya berdering.
“Halo?
Ini Ibu…”
“Iya,
Bu?”
“Ibu
baca bukumu, Nak. Maaf ya… Ibu dulu lebih banyak lihat Ayla. Ibu kira kamu
nggak butuh perhatian. Ternyata kamu cuma nggak tahu caranya meminta.”
Suara
Raya tercekat.
“Raya
nggak pernah marah, Bu. Tapi Raya nulis biar Raya nggak lupa bahwa aku pernah
ada meski tak disapa.”
Tahun
kedua kuliah, buku ketiganya terbit: Surat yang Tak Pernah Sampai.
Buku ini menggabungkan esai-esai pendek, surat fiksi, dan potongan dialog
dengan dirinya sendiri. Buku itu masuk nominasi penghargaan sastra muda dan
dicetak ulang sebanyak tiga kali.
Saat
ditanya apa yang mendorongnya menulis begitu konsisten, Raya menjawab:
“Saya
tumbuh dalam rumah yang diam. Jadi saya menulis agar saya bisa mendengar suara
saya sendiri.”
Ia
tak hanya menulis, bahkan ia juga memenangkan lomba kritik sastra nasional dan
magang di lembaga penerbitan besar. Tahun ketiga, ia menjadi koordinator kampus
untuk program literasi desa.
Semua
dilakukan pelan-pelan tanpa perlu membandingkan diri dengan siapa pun. Karena
ia tahu, ia tidak pernah lahir untuk disorot. Tapi ia bisa membuat sinarnya
sendiri.
Libur
semester keempat, Raya pulang. Tapi kali ini, bukan hanya sekadar pulang. Ia
pulang sebagai seseorang yang dicintai.
“Raya…”
ucap ibu di depan pintu, memeluknya erat. “Kita bangga, Nak. Ibu salah selama
ini. Ibu kira kamu anak yang paling mudah ternyata kamu yang paling kuat.”
Ayahnya
juga ikut menyambut.
“Bapak
dulu terlalu sibuk mendorong Danu, sampai lupa bahwa kamu juga sedang berjuang
sendiri.”
Ayla
memeluknya dan tersenyum kecil. “Maaf ya, Ra. Aku baru sadar diamnya kamu ternyata
berisi. Aku bangga jadi kakakmu.”
Raya
hanya tersenyum, mata berkaca-kaca.
“Aku
nggak menulis untuk disayang. Tapi sekarang aku tahu… luka yang diolah dengan
sabar bisa jadi rumah bagi banyak orang.”
Raya,
si bungsu yang selalu mengalah, kini tak perlu meminta ruang lagi. Ia telah
menciptakan ruangnya sendiri dari luka, sunyi, dan keberanian untuk
berdiri walau tak pernah dipanggil.
Aku yang Tak Pernah Dipanggil
Aku adalah bunga terakhir
yang tumbuh di ujung pekarangan,
tak disiram, tak dipuji,
tapi diam-diam mencintai matahari.
Aku adalah suara paling lirih
di meja makan yang riuh,
pertanyaanku menguap
sebelum sempat dijawab.
Kakakku cahaya
satu disanjung karena gagah,
satu dielus karena manis,
sementara aku,
mengemas luka dengan diam,
dan mengalah agar rumah tetap utuh.
Aku belajar mengeja harap
di antara baju yang dipinjam tanpa tanya,
aku belajar membungkus kecewa
di balik lembar buku yang tak dibaca siapa-siapa.
Tapi malam-malam panjang
menumbuhkan aku perlahan,
di kamar kos sempit,
aku menulis nama sendiri
dalam puisi, dalam buku, dalam cahaya.
Dan saat mereka mulai membaca,
mereka baru tahu:
anak bungsu yang dulu diam,
adalah matahari kecil
yang memilih tumbuh sendiri
tanpa perlu dijemput pagi.
Motivasi
dari Raya:
“Tak
semua suara butuh teriakan. Terkadang, yang tumbuh dalam diam justru paling
lantang ketika diberi ruang.”
Penulis: Siti Qummariyah (Kru LPM 23)
Editor: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM 23)
0 Komentar