Sumber Dokumentasi: Pribadi 

Pagi itu, langit Solo tampak cerah, secerah tawa empat sahabat yang baru saja turun dari kereta di Stasiun Balapan.

Winda merentangkan tangan sambil menarik napas panjang. “Akhirnya! Solo, kami datang!” “Udah, Win. Kayak anak kecil aja,” sahut Arfa sambil membenarkan kacamata hitamnya.

Ana hanya tertawa kecil, sedangkan Salma sibuk membuka aplikasi catatan berisi itinerary yang sudah ia susun tiga minggu sebelumnya.

“Pertama kita ke mana, Ma?” tanya Ana.

Salma menunjukkan layar ponsel. “Ke Pasar Gede. Sarapan, jajan jajanan jadul, dan ngintip batik di sekitar alun-alun. Ayo sebelum ramai!”

Pasar Gede pagi itu ramai tapi tidak sesak. Bau rempah, gorengan hangat, dan kue tradisional bercampur jadi satu. Mereka menyusuri lorong pasar sambil membeli gethuk, jenang, dan wedang uwuh. 

“Ini enak banget!” ujar Arfa sambil mengunyah klepon. Gula merahnya muncrat sampai ke hidung.

Winda tertawa sambil menepuk bahunya. “Udah keren pake kacamata, tapi klepon aja kalah!”

Mereka duduk di bangku kecil di pinggir pasar sambil melihat aktivitas para pedagang. Ana diam-diam memotret ibu penjual tempe mendoan. Tangannya cekatan, senyumnya tulus.

“Kalau semua pagi kayak gini, kayaknya hidup damai banget,” kata Ana lirih. 

Destinasi kedua mereka adalah Kampung Batik Kauman. Gang sempit dengan dinding berhiaskan mural batik menyambut mereka. Mereka menyusuri toko-toko kecil yang menjual kain batik tulis dan cap. Salma tak bisa menahan diri membeli satu kain warna biru gelap motif lereng.

“Ini buat ibuku. Dia suka batik klasik,” katanya.

Arfa sibuk menawar. Ana memotret detail pola batik, dan Winda mencoba blus batik sambil bercermin di kaca kecil. 

“Kalau kita semua pake batik, terus foto bareng di depan mural itu, bagus gak?” usul Winda. “Bagus sih… asal jangan pose lebay ya,” jawab Arfa.

Mereka berganti baju menggunakan batik lalu berfoto-foto di depan mural seperti usulan winda. Dan tentu saja, mereka tetap pose lebay.

Setelah makan siang, mereka lanjut ke Pasar Triwindu (pasar barang antik). “Tempat ini kayak mesin waktu,” kata Ana pelan.

Mereka menemukan banyak benda aneh dan menarik seperti radio tua, cermin berbingkai ukir, topeng kayu, bahkan mesin ketik yang bunyinya masih klik-klik.


Winda menemukan satu buku harian bekas, isinya tulisan tangan dari tahun 1980. “Aku pengin beli ini,” katanya pelan.

“Ngapain beli curhatan orang?” tanya Salma.

“Kadang isi hati orang asing bisa bikin kita sadar, kita gak sendirian.”

Sore menjelang, mereka naik ojek online menuju Studio Lokananta (studio musik legendaris Indonesia). Mereka disambut ruangan besar penuh alat musik lawas, piringan hitam, dan arsip kaset dari masa ke masa. Salma, yang diam-diam suka musik klasik Jawa, terlihat bahagia.

“Ini... surga,” katanya pelan.

Petugas Lokananta mengajak mereka melihat studio rekaman yang pernah dipakai seniman- seniman besar.

“Suatu hari, kalau kita punya dokumenter tentang hidup kita, harusnya direkam di sini,” kata Winda bercanda.

Arfa nyeletuk, “Judulnya: Empat Cewek Bingung Cari Es Krim di Kota Lama.” Mereka tertawa keras.

Menjelang malam, mereka menghabiskan waktu di Rasamadu Heritage. Tempatnya tenang, berarsitektur kolonial dengan suasana modern. Mereka duduk di kafe yang menghadap taman kecil, dengan meminum es kopi susu dan teh jahe sambil berbagi cerita. 

“Aku bahagia hari ini,” kata Ana pelan.

“Aku juga,” sahut Salma. “Gak nyangka Solo bisa sehangat ini.”

Winda tersenyum, menatap mereka satu-satu. “Solo tuh kayak kita. Sederhana, tapi penuh cerita.” Dan saat malam tiba, mereka berjalan kembali ke penginapan sambil bergandengan tangan. Hari itu mungkin hanya sehari biasa dalam hidup mereka. Tetapi bagi keempatnya, itu adalah hari di mana hidup terasa penuh, tanpa perlu jadi luar biasa.


Karya: Eka Nurwinda (Kru Magang LPM 24)

Editor: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM 23)