Angin sore itu datang bersama aroma tanah
basah. Di antara sunyi yang menggantung di langit, Aira berdiri di depan rumah
lamanya. Catnya mengelupas, jendelanya berdebu, dan daun pintu itu masih retak,
di bagian bawah retakan yang sama waktu dulu dibuat oleh tendangan ayahnya
ketika marah karena nilai rapornya turun.
Aira menatapnya lama. Jemarinya gemetar,
seperti enggan menyentuh masa lalu yang masih berdenyut di balik kayu lapuk
itu.
“Rumah ini nggak pernah berubah,” gumamnya
lirih, “cuma aku yang berubah… atau mungkin rusak.”
Ia tertawa kecil tertawa yang lebih mirip
helaan napas yang menyerah. Dari kantung jaketnya, ia mengeluarkan kunci
karatan. Bunyi “klik” dari pintu itu terdengar seperti suara masa lalu yang
menyalak.
Begitu pintu terbuka, aroma debu bercampur
kenangan menyeruak.
Kursi rotan tempat ibunya dulu duduk masih ada di sudut ruang tamu. Di atas
meja, foto keluarga dalam bingkai kaca retak separuh. Aira menyentuhnya pelan
foto itu menampilkan tiga orang: ayah, ibu, dan Aira kecil yang menggenggam
boneka.
“Aku nggak tahu kenapa aku balik,” bisiknya.
“Mungkin karena aku capek… atau karena di luar sana, nggak ada tempat yang
benar-benar mau menerimaku.”
Ia duduk di lantai dingin itu, menatap bayangan
sendiri di kaca kusam. Sekilas ia melihat sosok Aira kecil berlari sambil
membawa buku gambar, wajahnya penuh senyum.
“Lihat, Bu! Aku gambar pelangi!” suara kecil
itu bergema dari ingatan.
Lalu berganti suara bentakan ayah:
“Gambar pelangi terus! Nilai matematikamu
jatuh, Aira!”
Bayangan itu lenyap. Yang tersisa hanya Aira
dewasa yang menunduk, menggenggam rambutnya sendiri. Napasnya pendek. Dadanya
berdebar seperti dikejar sesuatu yang tak terlihat.
“Aku benci rasa ini,” katanya lirih.
“Aku benci karena aku masih takut sama suara yang sudah lama berhenti
terdengar.”
Ia menutup matanya. Suara detik jam di ruang
tamu memantul di dinding. Setiap detik terasa seperti hantaman kecil di
kepalanya.
Sore itu, Aira memutuskan untuk bermalam. Ia
membersihkan sedikit ruangan, menyalakan lilin di meja karena listrik sudah
diputus lama. Di tengah redupnya cahaya, bayangan di dinding tampak hidup.
Ia berbicara kepada lilin itu seperti sedang
bicara pada seseorang.
“Aku anak bungsu. Katanya, anak bungsu itu
manja, disayang, dijaga.”
“Tapi mereka nggak tahu, aku cuma disisakan…”
Suara gemetar itu menggantung di udara. Ia
terdiam lama, menatap api lilin yang bergoyang pelan, seolah sedang
mendengarkan.
“Kakakku menikah. Kak Fina, Kak Ardi... mereka
punya dunia sendiri. Aku? Aku cuma jadi penunggu rumah yang kosong, yang isinya
gema pertengkaran dan bau obat dari kamar Ibu.”
Suara tangisnya pelan tapi panjang, seperti
ranting yang patah perlahan.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama yang muncul
di layar: Kak
Fina.
“Aira, kamu di mana? Kamu nggak datang ke acara
ulang tahun Arka ya?”
“Nggak, Kak. Lagi capek.”
“Capek mulu, kamu tuh. Hidup itu dijalani, bukan ditangisi terus.”
“Iya, Kak.”
“Udahlah, besok datang ke rumahku, ya? Biar aku kenalin temen kantor, siapa
tahu cocok.”
Klik. Telepon terputus.
Aira menatap layar yang kembali gelap. “Cocok,”
katanya pelan, “aku bahkan nggak cocok dengan diriku sendiri.”
Malam semakin dalam. Dari luar, terdengar suara
jangkrik. Di dalam, hanya lilin yang terus berjuang menyalakan dirinya sendiri.
Aira berjalan ke kamar lamanya. Di dinding
masih ada tempelan kertas tugas TK dengan gambar bunga dan matahari. Ia
tersenyum getir.
“Aku dulu suka menggambar,” katanya.
“Tapi ayah bilang itu nggak akan bikin aku hidup.”
Ia duduk di pinggir ranjang. Udara dingin
menelusup ke sela-sela pikirannya. Dadanya mulai sesak lagi. Nafasnya pendek.
“Tenang… tenang…” katanya pada diri sendiri.
“Kamu cuma cemas. Nggak apa-apa. Ini cuma serangan kecil. Nanti juga reda.”
Ia menepuk dadanya pelan, menghitung napas
seperti yang diajarkan psikiater dulu. Tapi air matanya tetap jatuh.
“Aku udah berobat, minum obat, terapi, tapi
rasa takut itu selalu datang. Kayak bayangan yang nggak pernah mau pergi.”
Dalam kepalanya, terdengar suara lain, suara
masa lalu yang selalu ikut dalam diam:
“Kamu lemah, Aira. Nggak bisa diandalkan.”
“Kamu bikin Ibu stres.”
“Harusnya kamu nggak lahir kalau cuma nyusahin.”
Suara itu membuat seluruh tubuhnya gemetar. Ia
berlari ke dapur, mengambil segelas air, lalu duduk di lantai sambil menatap ke
langit-langit.
“Aku cuma ingin diam. Cuma ingin hilang
sebentar. Nggak apa-apa kalau dunia lupa aku, asalkan kepalaku berhenti ramai
begini.”
Pagi datang dengan sinar lembut. Burung-burung
bernyanyi di luar jendela. Aira terbangun dengan mata bengkak. Tapi hari itu,
entah kenapa, ia merasa ingin keluar rumah.
Ia berjalan ke kebun kecil di belakang.
Tanahnya lembab, rerumputan tinggi menutupi sebagian batu bata tua. Di sana,
masih ada ayunan tali yang dulu dibuatkan oleh ibunya.
Aira menyentuh tali itu. Seratnya kasar, tapi
hangat di tangan.
“Dulu aku sering nangis di sini,” gumamnya.
“Dan Ibu selalu datang, duduk di sebelahku, tanpa ngomong apa-apa.”
Seolah menjawab, angin berhembus lembut.
“Aira…”
Ia menoleh cepat. Tapi tak ada siapa pun.
Mungkin hanya ingatan yang memanggil. Tapi bagi
Aira, suara itu terasa nyata. Ia menutup matanya.
“Bu, aku capek,” bisiknya lirih.
“Aku terus berusaha hidup, tapi rasanya nggak pernah benar. Semua orang jalan,
aku tertinggal. Aku takut, Bu. Aku takut banget.”
Air mata jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena
ingin menyerah. Rasanya lebih seperti... mengakui.
“Tapi kalau Ibu di sini, aku tahu… aku nggak
sendirian, ya?”
Dalam diam, Aira merasa sesuatu yang tenang
mengisi dadanya. Bukan kebahagiaan, tapi kelegaan kecill, 4seperti napas
pertama setelah tenggelam lama.
Sore hari, Aira menulis surat. Bukan surat
perpisahan, tapi surat untuk dirinya sendiri. Ia menulis di buku catatan
bergaris yang ditemukan di laci tua.
Untuk Aira yang selalu berusaha meski takut,
Kalau suatu hari kamu merasa tidak layak hidup,
ingat: kamu pernah tertawa waktu kecil hanya karena melihat kupu-kupu hinggap
di bunga. Ingat, kamu pernah membuat Ibu tersenyum walau cuma dengan gambar
pelangi di kertas lusuh. Dunia tidak meminta kamu sempurna. Ia hanya minta kamu
bertahan sampai bunga berikutnya mekar.
Kamu tidak gagal. Kamu hanya manusia yang
pernah terlalu mencinta, dan lupa mencintai diri sendiri.
Aira menutup bukunya. Ia memeluknya seperti
memeluk diri kecil yang dulu sering menangis sendirian.
“Maaf, ya,” katanya pelan.
“Maaf udah terlalu lama nggak percaya sama kamu.”
Malam kembali turun. Lilin terakhir sudah
hampir habis. Aira menatap cahaya kecil itu.
Ia tersenyum.
“Ternyata, rumah ini nggak sepenuhnya buruk,”
ujarnya pada dinding.
“Rumah ini cuma menyimpan kenangan baik dan buruk. Tapi kenangan juga yang
bikin aku masih ada di sini.”
Dari luar, terdengar suara langkah kaki. Kak
Fina datang, membawa senter dan wajah panik.
“Aira! Kamu di mana aja? Aku khawatir!”
“Aku cuma… pulang, Kak.”
“Pulang? Ke rumah ini? Rumah yang bikin kamu nangis tiap malam dulu?”
“Iya,” jawab Aira sambil tersenyum samar. “Karena ternyata cuma di rumah ini
aku bisa berdamai sama semua yang aku hindari.”
Kak Fina menatap adiknya lama. Lalu mendekat,
memeluknya erat.
“Kamu nggak sendiri, Aira. Aku minta maaf kalau
selama ini aku terlalu sibuk buat ngerti kamu.”
“Aku juga minta maaf udah sering menjauh, Kak. Aku cuma takut... bikin kecewa
lagi.”
Pelukan itu lama. Di antara kesunyian, mereka
berdua menangis tanpa kata. Hujan turun pelan di luar jendela, seperti ikut
menghapus debu yang menempel di kaca rumah itu.
Keesokan paginya, matahari menembus tirai
tipis. Rumah itu tampak lebih terang. Di meja, masih ada buku catatan terbuka
dengan tulisan Aira semalam. Kak Fina membaca beberapa barisnya dan tersenyum,
lalu menatap Aira yang sedang menyiapkan teh.
“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Kak Fina.
“Iya. Aku mau pelan-pelan memperbaikinya. Mungkin juga… memperbaiki diriku.”
“Kamu yakin kuat?”
“Aku nggak yakin,” jawab Aira jujur. “Tapi kali ini, aku nggak mau lari lagi.”
Kak Fina menatap wajah adiknya yang tampak
lebih tenang. Lalu ia tersenyum.
“Rumah ini memang harusnya jadi tempat pulang,
bukan tempat sembunyi.”
“Iya, Kak,” jawab Aira sambil menatap langit-langit yang dulu ia benci.
“Dan aku baru sadar… rumah ini bukan dari tembok dan atap, tapi dari kenangan
yang terus memanggil kita untuk pulang.”
Hari-hari berikutnya, Aira mulai menata ulang
rumah itu. Ia mengecat dinding, membersihkan halaman, dan menanam bunga kecil
di depan jendela.
Setiap sore, ia duduk di ayunan tali, menatap langit jingga.
Suara burung, aroma teh melati, dan halaman
yang perlahan hidup Kembali semuanya membuat rumah itu terasa bernafas lagi.
“Ternyata aku nggak butuh dunia mencintaiku,”
katanya suatu sore.
“Aku cuma butuh belajar mencintai dunia yang kecil ini dulu dunia yang pernah
hancur, tapi masih mau aku rawat.”
Dalam diam, ia merasa lebih tenang. Serangan
cemasnya masih datang sesekali, tapi kini ia tahu: tidak semua gelap berarti
akhir. Terkadang, itu cuma awal dari cahaya yang lebih lembut.
Beberapa bulan kemudian, Aira menulis lagi.
Kini ia menulis kisahnya sendiri, memberi judul pada lembar pertama:
“Rumah
yang Didirikan dari Kenangan.”
Di halaman terakhir ia menulis:
Aku tidak sepenuhnya sembuh. Tapi aku sudah
berhenti menyakiti diriku sendiri karena dunia tidak memahami. Kini aku hanya
ingin hidup, pelan-pelan, di rumah yang dulu kutinggalkan. Karena ternyata,
rumah ini tidak membenciku. Ia hanya menungguku pulang.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aira
tersenyum tanpa takut.
Karya: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)
Editorial: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)

0 Komentar