Sumber Dokumentasi: Pinterest 

Semarang, KABARFREKUENSI.COM - “Siapa pun bisa menjadi seorang ayah, tetapi dibutuhkan sosok istimewa untuk benar-benar menjadi seorang ‘ayah'" oleh Wade Boggs. Kutipan ini menegaskan bahwa menjadi ayah bukan hanya sekadar peran biologis, melainkan tanggung jawab moral dan emosional yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak. Figur ayah memiliki peran yang sangat penting bagi anak-anaknya. Namun, sering kali peran ayah masih dianggap sebatas pencari nafkah. Padahal, kehadiran ayah memiliki pengaruh yang luar biasa besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak, khususnya anak perempuan.

Hubungan antara anak perempuan dan ayahnya mempunyai arti yang sangat penting. Dari ayah, anak perempuan belajar tentang arti kasih sayang, penghargaan, dan rasa aman. Menurut Lamb (2010), kedekatan emosional antara ayah dan anak perempuan berperan penting dalam membangun kepercayaan diri dan stabilitas emosi anak di masa depan. Ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan, baik dalam hal kecil maupun besar seperti mendengarkan cerita anak hingga dalam mengambil keputusan penting.

Anak perempuan yang merasa dicintai dan dihargai oleh ayahnya biasanya memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa dirinya layak diperlakukan dengan hormat sehingga cenderung lebih selektif dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Popenoe (1996) bahkan menyebutkan bahwa kehadiran ayah yang penuh kasih membentuk anak perempuan menjadi individu yang memiliki batas emosional yang sehat dan kemampuan untuk mencintai tanpa kehilangan jati diri.

Sebaliknya, saat ini banyak anak yang mengalami ketiadaan figur ayah atau dikenal dengan istilah fatherless. Fatherless di Indonesia sangat banyak ditemukan. Menurut data UNICEF (United Nations Children's Fundtahun 2021, sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Dari 30,83 juta anak usia dini di Indonesia, sekitar 2.999.577 anak kehilangan sosok ayah. Survei BPS tahun 2021 menyebutkan bahwa hanya 37,17% anak usia 0–5 tahun yang dirawat oleh ayah dan ibu kandungnya secara bersamaan.

Permasalahan ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ayah yang harus jauh dari anak karena tuntutan pekerjaan sehingga peran pengasuhan menjadi terbatas. Selain itu, budaya patriarki di Indonesia yang beranggapan bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab ibu turut memperburuk kondisi. Perceraian, kematian, dan ketidakmampuan ayah untuk berperan langsung dalam kehidupan anak karena kurangnya edukasi pengasuhan juga termasuk faktor yang memicu fenomena fatherless di Indonesia. Tercatat dalam data BPS tahun 2023 terdapat 408.347 kasus perceraian di Indonesia. Tingginya kasus ini berdampak pada tumbuh kembang anak. Ktiadaan figur ayah secara fisik atau emosional sering meninggalkan ruang kosong dalam perkembangan anak. 

Menurut beberapa penelitian, anak perempuan yang tumbuh tanpa kehadiran ayah berisiko mengalami kesulitan membangun kepercayaan dalam hubungan romantis dan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi (Rohner & Veneziano, 2001). Bukan karena anak tersebut lemah, tetapi karena kebutuhan dasarnya akan rasa aman dan validasi dari figur ayah tidak terpenuhi dengan cukup.

Dalam membentuk karakter anak, terutama anak perempuan, tidak perlu menggunakan kekerasan, melainkan perlakuan yang tegas dan lembut. Dengan demikian, anak mampu menjadi pribadi yang kuat namun, lembut, tegas juga bijaksana. Megawangi (2015) menegaskan bahwa pendidikan karakter yang efektif berawal dari keteladanan orang tua, karena anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar. Peran ayah dalam mendidik anak sama pentingnya dengan peran ibu karena keduanya saling melengkapi dalam perkembangan anak.

Psikolog Phebe Illenia mengatakan bahwa ayah hendaknya turut serta dalam pengasuhan dan diharapkan mampu mengelola waktu dengan baik serta memaksimalkan kualitas interaksi dengan anak. Kedudukan ayah sebagai financial provider sama pentingnya dengan peran sebagai pelindung dan teladan.

Kehadiran ayah yang nyata bukan hanya soal waktu, tetapi juga kualitas interaksi dan peran emosional. Banyak ayah hadir secara fisik. Namun, secara emosional anak perempuan yang tidak merasa didengarkan cenderung menutup diri dan mencari perhatian di luar rumah. Di sinilah pentingnya komunikasi dua arah yang terbuka dan penuh empati.

Penelitian Amato dan Gilbreth (1999) menemukan bahwa anak-anak dengan ayah yang aktif terlibat secara emosional cenderung memiliki prestasi akademik lebih baik, tingkat stres lebih rendah, serta kemampuan sosial yang lebih kuat. Hal ini membuktikan bahwa hubungan ayah-anak tidak hanya memengaruhi ranah psikologis, tetapi juga kognitif dan sosial.

Contoh sederhana adalah ketika ayah rutin meluangkan waktu untuk berbincang ringan dengan anak perempuannya tentang kegiatan hari itu, menanyakan kabar, atau sekadar bercanda. Hal ini membuat anak merasa dihargai. Ia merasa suaranya layak didengar, dan hal sederhana semacam ini menumbuhkan rasa percaya diri tanpa rasa takut dihakimi.

Kehilangan figur ayah dapat berdampak jangka panjang terhadap pembentukan identitas diri. Santrock (2018) menjelaskan bahwa anak perempuan yang tumbuh tanpa dukungan emosional ayah lebih rentan mengalami krisis identitas dan kesulitan membangun konsep diri yang positif. Namun, bukan berarti situasi ini tidak dapat diperbaiki. Kehadiran figur laki-laki lain yang positif seperti kakek, paman, atau guru dapat membantu mengisi kekosongan tersebut. Lingkungan yang mendukung  dan komunikasi yang sehat antara ibu dan anak juga dapat membantu anak perempuan membangun kembali rasa aman dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Kasih sayang ayah bukan hanya tentang memberikan uang, hadiah, atau pelukan, melainkan tentang kehadiran yang konsisten, komunikasi terbuka, dan dukungan tanpa syarat. Rohner & Veneziano (2001) menegaskan bahwa cinta seorang ayah memiliki dampak yang sama besarnya dengan cinta seorang ibu terhadap perkembangan psikologis anak.

Figur ayah merupakan fondasi penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak perempuan. Dari ayah, anak belajar tentang cinta, rasa aman, tanggung jawab, serta penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Ayah bukan hanya pelindung, tetapi juga sumber inspirasi dan pembimbing moral. Anak yang tidak memiliki fondasi ini cenderung mudah menyerah dan kurang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan.

Peran ayah yang hangat, terbuka, dan penuh kasih akan membentuk anak perempuan menjadi sosok yang berani, percaya diri, dan bijaksana dalam menjalani hidup. Sebaliknya, absennya figur ayah meninggalkan kekosongan emosional yang sulit tergantikan. Oleh karena itu, menjadi ayah bukan sekadar status, melainkan tanggung jawab untuk hadir, mencintai, dan menjadi teladan. Dari sanalah karakter seorang perempuan sejati mulai tumbuh.

Kabar: farah cahyani Putri

Editor: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)