Semarang, KABARFREKUENSI.COM-Angin sore berembus pelan di atas hamparan lumpur yang mengeras lumpur
yang dahulu menelan sawah-sawah hijau dan rumah-rumah warga. Kini, semuanya
tenggelam diam, terkubur di bawah semburan amarah bumi yang belum sepenuhnya
reda. Bhavin berdiri mematung di atas padatan lumpur itu, menatap kosong ke
arah yang dulu merupakan kampung halamannya. Sebuah kampung yang menyimpan
begitu banyak kenangan masa kecil kenangan sederhana yang hingga kini masih
melekat kuat dalam ingatannya.
“Di sana dulu rumahku…,” gumamnya lirih sambil menunjuk genangan lumpur
yang menghitam.
Sudah sembilan belas tahun berlalu sejak bencana itu terjadi bencana
yang lahir dari kesalahan manusia. Namun hingga kini, semburan lumpur masih
tampak aktif, asap tipis masih mengepul dari pusatnya. Lumpur Lapindo, akibat
keserakahan manusia yang ingin meraup keuntungan dari alam tanpa memikirkan
dampaknya. Sebuah bencana yang telah mengubur tanah kelahiran Bhavin. Bagi Bhavin,
waktu seolah tak pernah benar-benar bergerak. Setiap detiknya terasa seperti
kemarin, saat ia berlari bersama orang tua dan warga lain yang terdampak,
meninggalkan rumah, meninggalkan hidup, dan meninggalkan kenangan yang tak akan
pernah kembali.
Air matanya menggenang. Bukan karena amarah, melainkan karena ingatan
tentang rumah yang penuh cerita kini telah tenggelam. Uang ganti rugi bernilai
ratusan juta rupiah dari perusahaan penyebab bencana itu tak pernah mampu
mengganti kenangan masa kecilnya yang hilang bersama lumpur.
“Aku masih ingat bau lumpurnya,” ujar Wira, tetangga sekaligus sahabat
masa kecil Bhavin yang dulu tinggal tepat di sebelah rumahnya. “Panas, anyir,
dan jeritan orang-orang. Kami kira itu kiamat.”
Dulu, mereka selalu bertemu setiap pagi dan sore untuk bermain
kelereng. Namun sejak bencana itu terjadi, mereka harus tumbuh terpisah.
Rumah-rumah yang dulu berdempetan kini hanya tinggal jarak kenangan. Anak-anak
yang dahulu berlarian di kampung itu kini telah dewasa, membawa luka warisan yang
tak kasatmata.
Bhavin menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, tanah itu tak akan pernah
benar-benar kering. Begitu pula ingatan. Namun setiap tahun, ia dan teman-teman
masa kecilnya tetap datang ke tanggul ini, menatap hamparan lumpur luas yang
telah menelan kisah hidup mereka. Tanah yang seharusnya dapat dimanfaatkan
untuk membangun masa depan negeri justru tenggelam akibat keserakahan,
menghancurkan alam yang asri, merusak ekosistem, dan menimbulkan kerugian yang
tak terhitung.
Kini, Bhavin dan Wira berdiri di depan sebuah papan bertuliskan “Pulau
Lusi.”
Pulau yang lahir dari bencana. Pulau yang tumbuh dari luka.
“Aneh, ya,” ucap Bhavin lirih kepada Wira. “Dari sebuah bencana, justru
tumbuh kehidupan baru.”
Pulau Lusi terbentuk dari timbunan lumpur Lapindo yang telah mengering,
kemudian direklamasi oleh manusia sebuah upaya kecil untuk menebus kesalahan
besar. Pulau itu ditanami mangrove, mulai didatangi burung-burung kembali,
bahkan ikan-ikan kecil tampak berani berenang di sekitarnya. Pulau Lusi menjadi
simbol penyembuhan luka bumi, bumi yang telah menua dan rusak, namun masih
berusaha memulihkan dirinya.
Ketika bumi harus menjadi korban kerakusan manusia yang menggali
terlalu dalam demi keuntungan, lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan luka
menganga, alam memilih cara sendiri untuk bertahan.
Bhavin tak pernah membayangkan bahwa dari tempat penuh penderitaan itu,
alam justru memilih untuk tumbuh. Seolah bumi memberi satu kesempatan terakhir meski
hanya setitik agar manusia belajar menebus dosanya. Pulau Lusi bukan sekadar
daratan baru. Ia adalah penanda luka sekaligus harapan, bahwa suatu hari
manusia akan belajar bukan hanya membangun, tetapi juga memulihkan.
“Bumi hanya mencoba menyembuhkan lukanya,” ucap Wira pelan. “Lewat
akar, lewat air. Ia sedang menyembuhkan dirinya sendiri.”
Bhavin membayangkan bumi seperti seorang ibu tua yang dilukai oleh
anak-anaknya sendiri. Tubuhnya dicabik, dihisap, dan ditusuk demi emas hitam di
perutnya. Namun ia tak membalas dengan kebencian. Ia menangismelalui lumpur yang
dimuntahkannya sebagai isyarat bahwa ia sedang sakit. Dan kini, bumi mencoba
memulihkan diri. Pulau Lusi menjadi saksi bahwa alam tak pernah benar-benar
marah. Ia hanya ingin dihargai, dicintai, dan dirawat kembali.
Karya: Dini Najwa Salsabila (Kru LPM Frekuensi 24)
Editor: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)

0 Komentar