Sumber Dokumentasi: Unsplash

Semarang, KABARFREKUENSI.COM-Malam itu, kota basah oleh rintik yang tak kunjung reda. Di bawah lampu jalan yang remang, langkah Aira berhenti di depan sebuah warung kopi kecil di sudut gang. Bau tanah yang tersiram hujan berpadu dengan aroma arabika yang keluar dari pintu kayu yang setengah terbuka. Ia berdiri cukup lama, menatap hujan yang jatuh seperti kenangan yang tak mau selesai.

“Masih suka datang ke tempat ini rupanya,” suara itu muncul dari belakangnya tenang, namun getir.
Aira menoleh pelan. Wajah itu… sama seperti dulu. Bima.

Ia mengenakan jaket abu-abu, sedikit basah oleh hujan. Senyumnya tidak selebar dulu, tapi matanya masih memantulkan kehangatan yang sama.

“Aku cuma… lewat,” kata Aira pelan.
“Lewat ke masa lalu, maksudmu?” Bima tertawa kecil. “Masuklah. Hujan masih lama.”

Aira tidak menjawab, tapi langkahnya akhirnya menuruti. Begitu pintu warung tertutup, hujan di luar seperti berubah menjadi musik latar. Mereka duduk di meja pojok, tempat yang dulu selalu mereka pilih.

“Dua tahun, ya?” Bima membuka percakapan.
Aira menatap meja. “Dua tahun sejak hujan terakhir yang kita lewati bersama.”
“Dan kau masih ingat.”
“Beberapa hal tidak bisa dilupakan begitu saja, Bim.”

Ia berkata begitu sambil menggenggam cangkir kopi yang baru disajikan. Uapnya mengembun di matanya, seolah ada yang disembunyikan di balik senyum yang dipaksakan.

“Waktu itu kamu pergi tanpa pamit,” kata Bima.
“Karena kalau aku pamit, aku pasti nggak akan pergi.”
Bima menghela napas. “Aku tunggu kamu di halte waktu itu, sampai hujan berhenti.”
“Aku tahu.”
“Dari siapa?”
“Dari doa yang nggak pernah selesai aku ucapkan.”

Keheningan jatuh di antara mereka, lebih berat daripada suara hujan di luar. Aira menatap jendela, melihat tetes air yang meluncur perlahan. Ia ingat hari itu hari saat ia memilih pergi dari kota ini, meninggalkan Bima dengan hati yang belum sembuh dari kehilangan ibunya.

“Aku nggak sanggup, Bim. Waktu itu aku juga kehilangan ibu, kehilangan arah. Dan kamu juga sedang berjuang dengan hidupmu. Aku takut menjadi beban.”
Bima menatapnya lama. “Padahal aku cuma ingin kamu tetap di sini. Tidak harus kuat, cukup ada.”

Aira tersenyum getir. “Kau terlalu baik. Dan aku terlalu takut untuk disayangi.”

Hujan semakin deras. Lampu jalan meneteskan cahaya di jendela, membuat bayangan wajah mereka terlihat kabur di permukaan kaca.

“Sekarang kamu sudah bahagia?” tanya Bima.
Aira tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap uap kopi yang menipis. “Kebahagiaan itu relatif, ya. Kadang cuma bentuk lain dari penerimaan.”
“Penerimaan?”
“Ya. Menerima bahwa beberapa doa memang tidak dikabulkan agar kita belajar ikhlas.”

Bima mengangguk pelan. “Aku juga belajar itu, setelah kamu pergi.”
“Aku dengar kamu jadi guru?”
“Iya. Di sekolah kecil dekat pinggiran kota. Hidup sederhana, tapi cukup.”
Aira menatapnya, senyumnya kecil. “Kamu selalu punya cara untuk tetap berguna buat orang lain.”
“Dan kamu?”
“Aku menulis,” jawabnya. “Tentang kehilangan, tentang doa yang tidak selesai.”

Bima tersenyum samar. “Kau masih menulis dengan tangan kiri?”
“Ya. Karena kanan sudah terlalu sibuk menahan rindu.”

Bima tertawa kecil, tapi matanya mulai basah. “Kau masih sama saja, Aira. Kata-katamu selalu bisa melukai dengan indah.”

Waktu berjalan pelan seperti hujan yang enggan berhenti. Aira menatap jam dinding hampir pukul sembilan malam. Ia tahu waktu mereka tidak panjang.

“Bima,” katanya lirih. “Kau masih berdoa untukku?”
“Setiap kali hujan turun,” jawabnya cepat.
Aira menunduk. “Aku juga.”
“Mendoakan apa?”
“Supaya kita baik-baik saja, meski tidak bersama.”

Bima menatapnya, lama sekali. Ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan di kerongkongan. “Kau tahu?” katanya akhirnya. “Waktu itu aku sempat marah sama Tuhan. Karena Dia mengambil semuanya ibuku, lalu kamu.”
Aira menatapnya lekat. “Lalu kenapa kamu berhenti marah?”
“Karena aku sadar… mungkin Tuhan tidak mengambil, hanya meminjamkan.”
Aira menarik napas panjang. “Aku juga berpikir begitu. Kita cuma dipertemukan untuk saling menguatkan, bukan untuk saling memiliki.”

Keheningan kembali jatuh, tapi kali ini lebih lembut. Mereka menatap hujan yang kini mulai reda, seperti hati yang mulai menerima luka-lukanya sendiri.

“Bim,” kata Aira perlahan. “Boleh aku tanya sesuatu?”
“Tanya saja.”
“Kalau waktu bisa diulang, kau akan tetap memilih aku?”

Bima tersenyum samar. “Aku akan tetap memilihmu. Tapi mungkin kali ini aku akan lebih banyak memeluk, lebih sedikit diam.”
“Dan aku akan lebih banyak tinggal, lebih sedikit takut,” balas Aira.

Keduanya terdiam. Tidak ada kata lagi yang perlu diucapkan. Hujan perlahan berhenti, menyisakan suara tetesan dari atap seng. Malam mulai dingin.

“Sebentar lagi aku harus pergi,” kata Aira.
“Ke mana?”
“Besok aku pindah ke Bandung. Ada tawaran kerja di penerbit.”
Bima menatapnya lekat, menahan sesuatu di dadanya. “Dan aku akan tetap di sini.”
“Ya.”
“Seperti hujan yang tetap jatuh di kota ini, meski doanya sudah berpindah arah.”

Beberapa menit kemudian mereka keluar dari warung. Jalan masih basah, lampu kota berkilau di genangan air. Aira membuka payung kecil berwarna abu-abu.
“Kau ingat payung ini?” tanyanya.
Bima tersenyum. “Payung yang kita beli di pinggir jalan waktu banjir dulu. Masih kamu simpan?”
“Aku nggak tahu kenapa. Mungkin karena di bawah payung inilah aku terakhir kali merasa pulang.”

Mereka berjalan pelan menyusuri trotoar. Tidak banyak kata. Kadang diam justru menjadi bentuk cinta paling dalam.

Setelah beberapa langkah, Aira berhenti.
“Bima…”
“Hm?”
“Aku ingin berterima kasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk menjadi hujan paling indah di hidupku.”

Bima menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Dan aku ingin berterima kasih, karena kamu pernah menjadi ujung dari semua doaku.”

Malam itu, sebelum berpisah di simpang jalan, Aira menatap langit yang masih menetes pelan.
“Kau tahu, Bim, setiap hujan turun, aku selalu merasa Tuhan sedang mengembalikan sesuatu entah kenangan, entah keberanian untuk melupakan.”
“Dan kamu sudah siap melupakan?”
Aira tersenyum. “Aku sudah siap mengingat tanpa sakit.”

Mereka saling menatap satu kali lagi lama, penuh arti.
Lalu Aira berjalan menjauh. Hujan mulai turun lagi, pelan tapi pasti.

Bima berdiri di sana, menatap punggung perempuan itu sampai bayangnya hilang di antara cahaya lampu jalan. Dalam hatinya ia tahu, beberapa pertemuan memang tidak untuk selamanya — tapi cukup untuk membuat hidup terasa berarti.

Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar, “Selamat jalan, Aira.”

Dan di kejauhan, di antara suara hujan yang jatuh ke tanah, Aira tersenyum sambil berbisik sendiri,
“Selamat tinggal, Bima. Semoga doamu tetap menemukan hujan.”

Tiga bulan kemudian, Bima duduk di bangku gereja tua yang sudah lama tak ia kunjungi. Ia membawa buku kecil kumpulan puisi dan catatan Aira yang dikirim lewat pos. Di halaman terakhir tertulis:

“Hujan adalah caraku kembali padamu tanpa perlu pulang.
Karena di ujung doa, namamu masih kusebut bukan untuk dimiliki,
tapi untuk diikhlaskan.”

Bima menutup buku itu, menatap keluar jendela. Di luar, langit mulai gelap, lalu butiran hujan jatuh satu per satu  seperti jawaban dari doa yang lama tertunda.

Ia tersenyum.
Mungkin begitulah cinta yang sejati: tidak harus bersama, tapi tetap hidup di antara doa dan hujan.

Di tempat lain, di kamar kecil di Bandung, Aira menulis puisi baru.
Tetes hujan memantul di kaca jendela, menggambar pola-pola tak beraturan seperti kenangan.

“Kepada seseorang yang pernah kutemui di bawah langit yang sama,
terima kasih karena telah menjadi hujan yang tak lelah menumbuhkan doa.
Kini aku sudah bisa mencintai dunia, tanpa harus kehilangan diriku sendiri.”

Ia menutup buku catatannya, tersenyum lembut. Di luar sana, suara hujan semakin deras.
Dan entah di kota mana pun Bima berada malam itu, ia tahu  doa mereka masih bertemu di udara, seperti hujan yang turun di dua tempat berbeda, namun berasal dari awan yang sama.

Karya: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi)

Editor: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi)