Semarang, KABARFREKUENSI.COM-Tradisi Passiliran merupakan praktik pemakaman bayi
yang belum tumbuh gigi pada masyarakat Toraja, prosesnya yaitu jenazah bayi
ditempatkan ke dalam lubang pada batang pohon Tarra. Praktik ini lahir dari
keyakinan bahwa bayi yang meninggal pada usia sangat dini masih dianggap suci
sehingga harus “dikembalikan” ke rahim alam. Tradisi kematian pada masyarakat
Toraja memang sarat simbol, sebagaimana dijelaskan oleh Adams (1997) bahwa
sistem mortuary tradition Toraja memuat simbolisme kehidupan, kematian,
dan status sosial. Pohon Tarra dipilih karena getah putihnya dianggap
melambangkan air susu ibu, sebuah bentuk metafora kasih sayang alam terhadap jiwa
bayi yang belum sempat menjalani kehidupan panjang. Passiliran dalam perspektif
budaya menjadi bagian dari sistem nilai yang telah diwariskan secara
turun-temurun dan mencerminkan hubungan manusia dengan alam yang sangat kuat
(Baan et al., 2022).
Masyarakat Toraja memiliki struktur sosial yang
berlapis, dan hal ini turut tercermin dalam penempatan lubang kubur bayi di
batang pohon. Penelitian Barumbun, Ridha, & Patahuddin (2018) menunjukkan
bahwa status sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dalam ritual
pemakaman Toraja. Bayi yang berasal dari keluarga bangsawan pada tradisi ini biasanya diletakkan lebih tinggi di batang
pohon, menunjukkan penghormatan terhadap garis keturunan leluhur. Selain itu,
sebagaimana dijelaskan oleh Baharuddin (2016), setiap bentuk ritual pemakaman
Toraja selalu memiliki dimensi sakral yang dijaga ketat melalui norma adat dan
pengawasan pemuka adat. Oleh sebab itu, pohon Tarra yang menjadi lokasi
Passiliran tidak boleh ditebang, dipindahkan, atau dirusak, karena dianggap
menjadi “rumah spiritual” bagi bayi yang disemayamkan di dalamnya.
Tradisi Passiliran tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari sistem pemakaman masyarakat Toraja yang sangat kompleks seperti Rambu Solo’, tau-tau, serta pemakaman tebing atau gua. Seperti dalam kajian Baan et al. (2022) dijelaskan bahwa ritual kematian Toraja merupakan representasi nilai budaya dan keyakinan leluhur yang mengatur hubungan antara manusia, alam, dan roh. Passiliran menempati posisi unik dalam sistem ini karena tidak melibatkan upacara besar, melainkan ritual sederhana namun sangat simbolis. Hal ini sejalan dengan pandangan Simbolon, Nasution, & Lubis (2019) bahwa setiap masyarakat adat memiliki bentuk-bentuk kearifan lokal yang melekat kuat pada siklus hidup manusia. Sifatnya yang sunyi dan tidak melibatkan keramaian mencerminkan posisi bayi sebagai sosok yang dianggap belum terikat pada norma kehidupan sosial.
Masuknya modernisasi, agama-agama besar, serta
perubahan struktur sosial menyebabkan tradisi Passiliran mulai ditinggalkan.
Hal serupa juga terjadi pada banyak praktik adat Toraja lainnya ketika
pariwisata masuk dan budaya lokal menghadapi reformulasi nilai (Kondongan,
2019). Sejak tahun 1970-an, praktik Passiliran berhenti dilakukan karena
dianggap tidak sesuai dengan sistem kepercayaan baru yang diikuti masyarakat. Berdasarkan
kajian Musthofa & Setiajid (2021), perubahan budaya terjadi ketika
nilai-nilai baru tidak lagi selaras dengan struktur budaya lama. Tradisi ini
kini tidak lagi dipraktikkan, namun pohon-pohon Tarra yang menyimpan makam bayi
tetap dibiarkan sebagai warisan budaya yang dihormati. Tradisi Passiliran,
meskipun tidak lagi berlangsung, tetap merupakan situs budaya yang sangat
sakral sehingga memerlukan pengaturan ketat agar tidak terjadi pelanggaran
etis. Upaya pelestarian budaya harus dilakukan tanpa menghilangkan nilai
spiritual dan privasi masyarakat adat (Putri, 2020).
Kabar: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)
Edito: Dian Nur Hanifah (Kru LPM Frekuensi 23)
0 Komentar