Sumber Dokumentasi: iStock

Semarang, KABARFREKUENSI.COM-Beberapa tahun terakhir, dunia Pendidikan mengalami perubahan signifikan akibat kemajuan teknologi, terutama dalam bidang kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). AI kini hadir dalam berbagai bentuk, termasuk chatbot, sistem pembelajaran adaptif, hingga asisten virtual yang dirancang untuk membantu proses belajar mengajar. Kemunculan teknologi ini memunculkan pertanyaan besar di kalangan pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan: apakah AI benar-benar bisa menggantikan peran guru di kelas? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat bagaimana teknologi mulai mengambil alih beberapa peran yang dulunya eksklusif milik manusia.

AI dalam dunia pendidikan tidak hanya sebatas alat bantu administrasi tetapi berperan dalam proses pembelajaran itu sendiri. Zawacki-Richter et al. (2019) menyatakan bahwa AI memungkinkan personalisasi materi ajar yang sesuai dengan kecepatan dan gaya belajar siswa. Seperti chatbot yang dapat merespons pertanyaan siswa selama 24 jam tanpa lelah. Teknologi ini sangat membantu dalam menjawab kebutuhan belajar yang fleksibel dan cepat.

Luckin et al. (2016) menjelaskan bahwa sistem pembelajaran berbasis AI dapat memetakan kemampuan kognitif siswa melalui analisis data, sehingga materi dapat disesuaikan secara otomatis. Ini tentu berbeda dengan metode konvensional yang cenderung seragam. Sebuah studi oleh Dwianto dan Santoso (2020) menunjukkan bahwa penggunaan chatbot dalam pembelajaran dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa, terutama mereka yang cenderung pendiam dan enggan bertanya di kelas.

Negara-negara maju seperti di Korea Selatan dan Finlandia, chatbot telah digunakan sebagai asisten belajar yang efektif. Mereka mampu menjelaskan materi, memberikan kuis, bahkan merekomendasikan topik lanjutan. Namun, keberhasilan penerapan AI ini tentu membutuhkan infrastruktur yang memadai serta kesiapan dari tenaga pendidik dan siswa sendiri.

Tantangan Etis dan Sosial dalam Penggunaan AI

Kecanggihan AI bukan tanpa masalah, namun ada salah satu isu utama yaitu hilangnya interaksi emosional antara guru dan siswa.  Selwyn (2019) menegaskan bahwa AI tidak memiliki empati, intuisi, atau pemahaman konteks yang kompleks. Hal ini membuat AI tidak mampu menangani dinamika kelas yang penuh dengan nuansa emosional dan sosial. Pendidikan bukan hanya soal angka dan logika, tetapi juga membangun karakter dan nilai kemanusiaan.

Adapun masalah lain seperti privasi data. Beetham dan Sharpe (2013) mengingatkan bahwa AI bekerja dengan mengumpulkan dan menganalisis data pribadi siswa. Tanpa regulasi yang ketat, data ini bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu. Selain itu, ada juga tantangan aksesibilitas Simanullang (2021) menyatakan bahwa banyak daerah di Indonesia, fasilitas untuk menerapkan teknologi AI masih sangat terbatas. Hal ini berpotensi memperbesar kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Meskipun demikian, di tengah keterbatasan teknologi AI seperti privasi data dan aksesibilitas, peran guru tetap tak tergantikan sebagai elemen inti dalam pendidikan. Holmes et al. (2019) menekankan bahwa guru tidak hanya mengajar, tetapi juga membimbing, memotivasi, dan menjadi teladan bagi siswanya. Fungsi-fungsi ini tidak bisa digantikan oleh mesin secerdas apa pun teknologinya. Banyak kasus guru juga berperan sebagai konselor dan pengamat sosial yang memahami kondisi psikologis siswanya, terutama di daerah terpencil di mana teknologi belum merata.

Rahardjo (2018) dalam salah satu artikelnya mengemukakan bahwa AI dapat menjadi alat bantu yang hebat, namun tidak akan pernah bisa menggantikan nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh seorang guru. Guru memiliki kepekaan, empati, dan pengalaman hidup yang dapat menginspirasi siswa. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan semangat kebersamaan lebih banyak dipelajari oleh siswa lewat interaksi langsung dengan guru daripada buku teks atau video pembelajaran.

Selain itu, guru juga berperan penting dalam membentuk karakter siswa. Misalnya, mereka tidak hanya sekadar mengajarkan penjumlahan atau hukum Newton, tetapi juga menunjukkan bagaimana bekerja sama dalam kelompok, menghargai perbedaan, serta menyelesaikan konflik secara adil. Hal-hal seperti ini belum bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa diotomatisasi oleh teknologi. Guru membawa nilai-nilai budaya lokal, bahasa ibu, dan kearifan tradisional yang memperkaya pemahaman siswa tentang siapa diri mereka dan dari mana mereka berasal. Tanpa peran guru, pendidikan berisiko menjadi homogen dan tercerabut dari konteks sosial-budaya yang seharusnya menjadi fondasinya.

Kabar: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)

Editor: Dian Nur Hanifah (Kru LPM Frekuensi 23)