Diskusi lintas kampus yang diselenggarakan oleh civitas akademika UIN Walisongo Semarang dan UKSW Salatiga. (Foto/ Budi)
SEMARANG, KABARFREKUENSI.COM – Jatuhnya marwah lingkungan yang ditandai dengan krisis ekologis yang semakin parah dan berkelanjutan, serta merosotnya marwah sosial yang terlihat dari tindakan amoral dan menguatnya sentimen primordial, membuat para civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga menginisiasi untuk menyelenggarakan diskusi lintas kampus. Diskusi yang bertajuk “Embedding Eco-Spirituality” ini diselenggarakan pada Selasa (6/6) di Fakultas Teologi UKSW Salatiga. Kegiatan ini diikuti oleh mahasiswa Fakultas Teologi UKSW dan beberapa mahasiswa UIN Walisongo yang terdiri dari Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Studi Agama-Agama Fakutas Ushuluddin dan Humaniora, dan beberapa dari jurusan di Fakultas Sains dan Teknologi.

Kegiatan yang dibuka pukul 14.00 ini dimulai dengan pengantar diskusi yang disampaikan oleh keynote speaker, Ebenheizer Nuban Timo dari UKSW dan A. Fauzan Hidayatullah dari UIN Walisongo yang dipandu oleh Adelvia Tamu Ina Pay Djera, selaku moderator. Eben mengawali pengantar diskusi ini dengan pemaparan “Mencari Titik Temu Agama-Agama Melaksanakan Mandat Merawat Bumi” dilanjutkan dengan pembahasan “Embedding Eco Spirituality; Sebuah Konsekuensi” oleh Fauzan.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan buka bersama dan salat magrib. Di sini tercermin sikap saling menghargai antaragama. Hal itu terlihat, di mana saat akan melakukan ibadah salat magrib, mahasiswa UKSW yang notabennya non muslim, membantu melakukan sterilisasi pada ruangan yang digunakan untuk ibadah.

Setelah itu, agenda dilanjutkan dengan Forum Group Discussion yang dimulai sekitar pukul 19.30. Para peserta dibagi menjadi sembilan kelompok dan masing-masing terdapat pendamping, baik dari dosen UIN Walisongo maupun UKSW. Adapun diskursus yang dijadikan topik diskusi antara lain teologi dan kebebasan, golden rule, etika religius, etika lingkungan, ekoteologi, spiritualitas lingkungan, teologi & keindonesiaan, dan keberagamaan dalam Ramadan. Setelah diberi waktu sekitar 30 menit untuk berdiskusi seseuai dengan kelompoknya, masing-masing perwakilan kelompok tersebut dipersilakan untuk mempresentasikan hasil diskusinya.

Selain sebagai forum untuk mengembangkan potensi akademik lintas kampus, kegiatan ini juga sebagai momentum bersilaturahmi lintas agama –Islam dan Kristen- dan menjadi titik temu agama-agama terkait lingkungan hidup dan kemanusiaan. “Berbeda agama bukanlah penghalang untuk bersama-sama membangun kepedulian terhadap lingkungan,” ujar Iin Masniyah, koordinator pelaksana dari UIN Walisongo.

Hal senada juga diungkapkan Adelvia Tamu Ina Pay Djera, koordinator dari UKSW. Adel, sapaan akrabnya mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu stimulus kesadaran mahasiswa untuk melihat dan jeli terhadap persoalan-persoalan lingkungan hidup dan komponen tentang sosial kemanusiaan itu sendiri. “Kita harus sadar bahwa lingkungan hidup atau bumi ini merupakan tanggung jawab kita bersama,” tegas Adel.


Mahasiswi Magister Sosiologi Agama UKSW itu pun berharap, selepas diskusi Embedding Eco-Spirituality ini, civitas akademika baik UIN Walisongo maupun UKSW bisa bersama-sama meningkatkan eco-spirituality dan menilik kembali apa yang perlu diwacanakan. “Semoga kedepannya kita bisa selangkah lebih maju yaitu melanjutkan dalam bentuk aksi nyata secara kooperatif dan kolaboratif untuk mengatasi problem ekologis dan kemanusiaan,” pungkas Adel. (Kabar/ Zakiya)