Ilustrasi/ Furqon |
Judul
Buku : 24 Jam Bersama Gaspar
Pengarang
: Sabda Armandio
ISBN
: 978-979-2229-80-6
Penerbit
: Mojok
Tahun
terbit : 2017
Tebal : xiv + 228 halaman
Peresensi : Syifa'ul Furqon
“Ingat sahabat, tiada yang
lebih berbahaya selain cerita yang memaksamu percaya bahwa kebaikan selalu
mengalahkan kejahatan, sebab ia akan membuatmu tumpul dan zalim.”
Begitulah potongan
kalimat pengantar novel 24 Jam Bersama
Gaspar karya Sabda Armandio. Sebuah novel yang berkisah tentang petualangan detektif yang mengungkap
suatu perkara kebejatan.
Berkisah mengenai tiga
lelaki, tiga perempuan dan satu motor yang berencana merampok sebuah toko
perhiasan di pinggir jalan. Ialah Gaspar, salah seorang di antara kelompok tersebut yang berambisi
merampok toko perhiasan kepunyaan seorang keturunan Arab bernama Wan Ali. Ia
merampok karena hal sepele yakni penasaran dengan isi sebuah kotak hitam milik
Wan Ali. Terdapat mitos yang menyertai kotak tersebut yakni dapat membuat
pemiliknya kaya raya.
Dikarenakan motif
obsesi tersebut, Gaspar merencanakan sebuah perampokan yang akan dilakukannya
24 jam kemudian. Bersama dengan motornya Cortazar, sebuah Binter Merzy keluaran
1976 yang dipercaya dirasuki jin Citah dan dapat menentukan pilihannya sendiri,
Gaspar melintasi jalanan kota hari itu. Sering kali ketika sampai di persimpangan,
Cortazar memiliki kehendak sendiri untuk memilih arah mana yang ingin
dilaluinya.
Dalam perjalanannya
ini, Gaspar dibawa Cortazar menyusuri jalan hingga akhirnya bertemu perempuan
yang belum pernah dikenalnya bernama Afif -yang kemudian lebih sering dipanggilnya
Agnes. Ia pun mengajak Agnes untuk ikut dalam rencananya merampok toko milik
Wan Ali. Singkat cerita, Gaspar kemudian mengajak empat orang lainnya yakni Yadi,
Bu Yati, Njet dan Kik. Mereka berenam bersama satu motor berencana merampok
sebuah toko perhiasan.
Beberapa jam sebelum
perampokan, Gaspar mengajak mereka mendatangi toko tersebut terlebih dahulu
untuk memastikan benda yang diinginkan ada di tempatnya sekaligus “menyapa” Wan
Ali dengan berkata nanti akan merampok tokonya. Tak disangka, kebenaran-kebenaran
yang disembunyikan malah terungkap. Misi Gaspar sebagai detektif pun juga
terungkap. Dikarenakan hal tersebut suasana menjadi kacau, kawan-kawannya malah kalap, bertindak di luar
rencananya.
Singkat cerita,
Gaspar keluar dari toko tersebut meninggalkan kawannya di dalam toko, disusul
Agnes membawa benda incaran Gaspar dan memberikan kepadanya. Di akhir cerita
Gaspar kembali ke rumahnya dalam keadaan sangat lelah dan memutuskan untuk
beristirahat. Bahkan Ia sampai meminta maaf kepada Cortazar karena harus
memarkirkannya di tempat yang dibenci, di tempat itu Cortazar sering jatuh.
Beberapa hari kemudian, kawan-kawan Gaspar datang ke rumah, lalu menemukan
Cortazar dalam keadaan jatuh dan Gaspar yang sudah tak bernyawa.
Ketika membincang
soal novel detektif, langsung terbayang sebuah tragedi pembunuhan dan kemudian
muncul sosok detektif dengan analisis-analisisnya yang membuat takjub dalam
menyelesaikan suatu kasus. Kisah heroik dengan alur muncul kasus, detektif
menganalisis, timbul problem baru dan kemudian kasus selesai boleh jadi menjadi
alur yang sudah terlalu mainstream. Dengan
24 Jam Bersama Gaspar, Dio memberikan
angin segar dalam kisah detektif. Meskipun dengan kisah yang terkesan absurd,
Dio menunaikan janjinya pada cover
buku yang mengatakan “Sebuah Kisah Detektif”.
Dikemas dengan alur
campuran, 24 jam Bersama Gaspar
menampilkan cerita yang terkesan sepele namun mengandung informasi penting. Misalnya
dalam setiap bab, Dio menampilkan sebuah dialog antara polisi dengan seorang wanita
paruh baya, yang ternyata adalah Bu Yati. Pembaca mungkin akan bingung apa
maksud dari dialog tersebut. ternyata
dialog ini mengandung informasi penting pendukung kisah Gaspar. Tak hanya itu tokoh-tokoh pendukung lainnya
juga mempunyai kisah-kisah sendiri yang cukup kompleks.
Novel yang menjadi
pemenang unggulan dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2016 ini dikemas dengan
bahasa sederhana dan jenaka. Meski demikian, novel ini mengandung sisi intelek
dan gaya bahasa yang cenderung sarkastis. Satu
kritik yang bisa jadi merupakan inti dari novel ini yakni perihal kejahatan
dengan label untuk kebaikan bersama. Misal sebut saja Hitler dan para pemimpin otoriter
yang berkuasa dengan tangan besinya membunuh orang-orang yang tidak sejalan
dengan kemauannya.
Di balik itu semua,
bingung rasanya mengatakan novel ini sebagai novel detektif. Sangat minim,
bahkan hampir tidak ada bagian khusus pengungkapan tragedi kelam yang terjadi. Tiba-tiba saja kasus yang
terjadi terselesaikan. Penikmat kisah detektif macam Sherlock Holmes mungkin
akan dibuat bingung dengan buku ini. Walau demikian, tentu novel ini masih bisa
disebut novel detektif.
Dio memang merupakan
penulis yang genius. Dengan ide kreatif dan inovatifnya dalam novel yang
terkesan jenaka namun cerdas ini ia memberikan angin segar dalam kisah heroik
detektif. Tentu novel ini memang layak menjadi pemenang unggulan dalam
sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
tahun
2016 lalu.
Lebih Dekat