(Ilustrasi: Google.com)

Kondisi lingkungan hidup di Indonesia semakin memprihatinkan. Itu artinya, kehidupan manusia juga semakin terancam oleh bencana alam di mana pun dan kapan pun. Apakah kerusakan lingkungan yang terjadi ini hanya disebabkan oleh faktor alamiah atau ada campur tangan manusia sebagai penghuninya? Sebagai penghuni, manusialah yang paling pantas menerima tuduhan akibat kerusakan lingkungan. Karena kerusakan yang disebabkan oleh manusia justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam. Aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, seperti penebangan liar, alih fungsi hutan, pertambangan, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan pemanfaatan hasil bumi secara berlebihan tanpa diimbangi dengan pelestarian, sehingga memperburuk ekosistem.

Berdasarkan hasil pemantauan hutan menggunakan Sistem Monitoring Kehutanan Nasional (SIMONTANA) laju deforestasi tahun 2015 mencapai 1,09 juta ha. Kemudian menurun pada tahun 2016 menjadi 630 ribu ha, dan pada 2017 seluas 480 ha.  Meski terus mengalami penurunan, namun lajunya masih termasuk skala besar. Deforestasi terbesar disumbang oleh kegiatan industri kayu yang mengarah ke pembalakan liar. Deforestasi terbesar kedua adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Sedangkan deforestasi terbesar ketiga adalah pembukaan lahan untuk wilayah pertambangan. Kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup yang berdampak meningkatkan bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, dan pemanasan global. Berkurangnya wilayah hutan juga mengancam berbagai satwa langka, antara lain orangutan, bekantan, beruang madu, dan masih banyak lagi. Sehingga, Guiness Book of The Record memberi gelar Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. Padahal Indonesia adalah negara kedua dengan hutan terbesar setelah Brazil. Bahkan bisa dikatakan Brazil sebagai paru-paru kanan, dan Indonesia sebagai paru-paru kiri bagi bumi.

Pembalakan hutan dan bencana yang diakibatkan banyak terjadi di Pulau Kalimantan. Di Kalimantan Barat, sasaran penebangan liar adalah Taman Nasional Gunung Palung. Sekitar 80% dari 90.000 ha tanah rusak berat, sehingga berdampak bagi lingkungan. Banyak lahan gundul dan kering tidak digarap, sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan yang cukup serius. Terjadi juga di Kalimantan Selatan, banjir yang disebabkan oleh penebangan pohon secara liar di daerah hulu sungai. Penebangan pohon ini tidak saja mengakibatkan rusaknya lingkungan, namun juga mengakibatkan hewan-hewan terusik dan turun ke pemukiman. Di Kalimantan Tengah, tepatnya Taman Nasional Sebangau terjadi kebakaran hutan di lahan terdegradasi yang belum diketahui ada unsur kesengajaan atau tidak.

Tidak salah jika manusia dituduh sebagai kambing hitam atas kekacauan lingkungan yang terjadi, karena memang itu kebenarannya. Banyak oknum membiarkan lingkungan dalam kondisi mengenaskan, beberapa justru menjadi tersangka. Aktivitas tidak ramah lingkungan terus dipertahankan, bahkan semakin ditingkatkan. Tanpa adanya kesadaran memperbaiki apa yang telah dirusak. Keserakahan akan hasil bumi seolah adalah tindakan mulia tanpa dosa. Selain masyarakat, peran pemerintah juga sangat penting, jangan sampai mengutamakan para pemilik modal besar dibandingkan lingkungan hidup dan masyarakat. Banyak pejabat menyelewengkan kekuasaan untuk memberi izin kepada para penguasa hutan yang mengeruk keuntungan dengan eksploitasi hutan secara membabi buta.

Pemerintah dan penegak hukum harus memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku pembalakan liar tanpa pandang bulu. Sikap tegas oleh pemerintah kepada para perusak lingkungan akan menjadi gerbang utama dalam program pelestarian lingkungan hidup. Sebelum nantinya akan ditetapkan kebijakan-kebijakan terkait pelanggaran tersebut. Karena, pemberlakuan Undang-Undang akan lebih optimal jika diiringi dengan ketegasan terhadap pelaku.