Ilustrasi: google.com

Dokter, aku pikir hidup seperti ini baik, sebagai ibu orang lain, sebagai istri orang lain. Terkadang aku merasa bahagia tetapi di sisi lain aku merasa seperti terkunci di suatu tempat. Aku selalu berakhir di dinding. Aku menemukan pintu keluar, namun masih saja kembali ke tempat yang sama. Bahkan jika aku menemukan cara lain, aku masih menabrak dinding. Terkadang aku ingin mengatakan apakah tidak ada jalan keluar sejak awal? Aku merasa kesal. Tapi kemudian aku mengerti, sebenarnya semua ini salahku. Orang lain juga harus menemukan jalan keluar sendiri. … Aku hanya merasa tidak mampu pada diri sendiri.

Begitulah yang dikatakanKim Ji-Young (Jung Yu Mi) kala berkonsultasi dengan psikiater.  Ji-Young mengalami depresi yang tanpa Ia sadari membuatnya menjadi orang lain ketika dirinya berada dalam titik lelahnya. Layaknya kerasukan, Ia sering berbicara layak nya pribadi lain. Istri Jung Dae-Hyun (Gong Yo) ini terjebak dalam hiruk pikuk rutinitas rumah tangga dan budaya patriarki yang begitu kental.
Kim Ji-Young menjadi sebuah cermin bagi kita semua khususnya kaum perempuan. Bagaimana kehidupan setelah menikah bisa jadi akan merenggut semua kebebasan sekaligus mimpi perempuan. Ji-Young lulusan jurusan bahasa mandarin dan aktif bekerja di suatu perusahaan. Pekerjaannya itu harus Ia hentikan pasca menikah dan lahir anak perempuannya.
Kini Ji-Young memilih bekerja sebagai istri dan ibu yang baik. Pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga tidak semulus bayangan orang-orang yang berpikir menyenangkan menjadi istri yang pekerjannya bisa bersantai dan menghabiskan gaji suami. Lebih dari itu pekerjaan Ji-Young sebagai ibu adalah sebuah perjuangan. Ia harus merelakan kebebasan waktu dan juga pilihan hidupnya.
Istri Jung Dae-Hyun ini berhadapan dengan budaya patriarki yang begitu kental. Mindset lelaki jauh lebih baik dari pada perempuan, perempuan tidak akan mampu konsisten memajukan perusahaan dan sebagainya menghantui kehidupan Ji-Young. Tidak hanya dari lingkungan pekerjaan, Bahkan sejak kecil  perlakuan itu muncul pula dari ayahnya. Suatu ketika Ji-Young malah disalahkan atas kejadian pelecehan yang akan dialaminya, bukan pelaku. Ayahnya menyalahkan roknya yang terlalu pendek dan kebiasaan menebar senyum ke orang lain. Trauma semacam ini barangkali menjadi salah satu hal yang turut serta membuat depresi Ji-Young.
***
Film dengan durasi hampir dua jam ini di tampilkan dengan apik. Tampilan sosok ibu rumah tangga tanpa make-up, tumpukan piring kotor, memasak dan tangisan anak begitu erat dengan kita. Kim Ji-Young: Born 1982 mampu membuat penonton larut dalam emosi merasakan apa yang dialami Ji-Young. Setengah film berjalan, saya membayangkan bagaimana Ibu saya ketika pertama kali menjadi seorang Istri dan melahirkan saya. Setengah film sisanya, saya membayangkan bagaimana esok ketika saya menikah, mampukah saya dan Istri saling mendukung menyelesaikan masalah yang bermunculan. Beruntung Ji-Young memiliki Jung Dae-Hyun yang selalu mendukung Ji-Young dalam keadaan depresinya itu. Ji-Young yang mau merelakan kariernya dan bertukar peran dengan istrinya.
Kim Ji-Young: Born 1982 merupakan bentuk perlawanan terhadap budaya patriarki yang memamah biak. Film ini begitu terasa dekat dengan kita, barangkali memang fenomena yang ditampilkan masih terjadi saatini,

Nama Film
: Kim Ji-Young: Born 1982
Sutradara
: Kim Do Young
Penulis
: Jo Nam Joo
Negara
: Korea Selatan
Rilis
: Oktober 2019
Durasi
: 120 Menit
Peresensi
: Syifa’ul Furqon