Gadis
Kecil Yang Tak Ingin Hidup
Malam ini gadis kecil berkulit aneh tampak menangis dikeheningan. Suasana hatinya seakan didukung oleh kilap petir yang sesekali bersuara. Duduk di balik pintu, meringkuhkan kedua kakinnya. Tiada hari yang ia lewatkan tanpa begitu. Bahkan siapa pun yang melihat pasti merasa iba dan mungkin ingin ia hidup di surga saja, tapi takdir malah terus menyandingkannya bersama penderitaan.
Menangis tanpa suara, namun jatuh airnya. Kiranya lebih baik dibanding bersuara tanpa didengar. Ingin langsung lelap tidur tanpa terpikir akan kejadian yang hampir setiap hari menguras emosinya. Rasa-rasanya ia ingin menyuarakan tangisnya, tetapi keadaan tak pernah memihaknya, selalu ada lalu lalang orang sekitar. Beralih ke kasurnya, memeluk guling yang kian bosan mendengar seduan tangisnya, gadis itu selalu bertanya ”Apakah Tuhan tidak pernah adil terhadapku? Sekali ini saja Tuhan, adillah kepadaku, hambamu ini tak kuat merasa sedih lebih lama lagi.” dengan suara lirih dan terisak. Kali ini pertanyaannya terjawab oleh guntur yang lebih besar dari sebelumnya, mungkinkah ini peringatan Tuhan untuk ia tidak banyak bertanya?
Pagi ini, embun nampak di dedaunan, langit sudah mulai kebiruan, membentuk banyaknya kumpulan awan yang menampakan keindahan, Semesta sudah tidak menunjukan keseraman seperti semalam. Gadis kecil sudah terbangun dengan mata pandannya yang membengkak. Beruntung saja ia seseorang yang mudah melupakan kisah sedihnya, dia pandai dalam hal mengendalikan perasaan.
Pagi ini, saat teman-temannya sudah siap memulai hari dengan mengendarai kuda besi, ia justru memilih kembali mengayuh sepeda lipat, juga menolak mendapatkan sarapannya. Bukannya tak ingin, tapi sedari kecil sarapan seperti tidak ada di dalam kamus hidupnya. Bahkan penyatuan antara jiwannya dengan benda kesayangannya ini berbeda. Baginya, mengayuh sepeda bisa sedikit meringankan beban di pundaknya untuk berpindah di kaki, sembari bercerita dengan angin dan sesekali menghujat kedaan. Ketika sampai, ia memakirkan sepedannya dan menuju kelas melewati lorong demi lorong. Meja depan pojok pilihannya. Seperti biasa, ia duduk sendiri, meskipun mempunyai teman, tetap ia tidak berkenan berbagi cerita.
Jika engkau bisa menerima kehidupanmu,
mungkin,
semesta akan menyatu di dalam
0 Komentar