Masih ingatkah kalian dengan Ponari, dukun cilik yang diyakini sakti dalam menyebuhkan berbagai
penyakit? Kemunculannya di
tahun 2009 menggegerkan
publik karena hanya dengan mencelupkan
batu ke dalam
air minum pasiennya, niscaya
pasien tersebut akan sembuh dari penyakit yang diderita. Menurut cerita yang
beredar, batu yang digunakan Ponari
sebagai media penyembuhan,
ia temukan saat bermain
bersama teman-teman di bawah guyuran hujan lebat. Kala itu, Ponari yang asyik
bermain tiba-tiba merasakan hantaman
benda tumpul
tepat di kepala bersamaan
dengan sambaran petir. Tak lama
kemudian, Ponari merasakan hawa panas menjalar ke
seluruh tubuhnya. Selain
itu, Ponari juga
merasa ada
batu yang mengganjal
di bawah kakinya. Menurutnya,
batu tersebut mengeluarkan sinar merah. Karena
penasaran,
batu itu pun dibawa pulang dan disimpan olehnya.
Kisah Ponari
sebagai dukun cilik bermula saat ia
mengunjungi tetangga yang sedang sakit dengan berbekal batu temuannya. Dicelupkannya batu tersebut ke dalam air untuk kemudian diminum oleh pasiennya. Tak butuh waktu lama,
pasien tersebut merasa tubuhnya jauh lebih baik dari
sebelumnya. Kabar ini pun
langsung menjalar ke seluruh daerah
dan disambut dengan banyaknya warga yang
berbondong-bondong ingin
berobat kepadanya.
Bahkan tak sedikit
yang rela antre berhari-hari demi mendapatkan seteguk air ajaib Ponari. Tanpa memperhatikan kehigenisan,
bagi pasiennya yang terpenting
mereka yakin
bahwa air tersebut
berkhasiat menyembuhkan segala
macam penyakit. Hingga kini,
diketahui batu tersebut masih digunakan
sebagai media pengobatan.
Ponari mengaku bahwa setidaknya
terdapat 3-5 orang datang untuk berobat dalam seminggu.
Adanya fenomena ini, sudah tercermin kondisi
ironis masyarakat Indonesia yang lebih percaya pengobatan konvensional dibanding pengobatan profesional
medis. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan dari penulis, “Apakah masyarakat
seputus asa itu dalam mencari obat hingga rela mengantri demi seteguk ‘air keruh’ Ponari?”
Dikutip
melalui website UGM pada tahun 2007,
dinyatakan bahwa Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia merupakan yang terburuk
di ASEAN. Alasannya, pelaku pelayanan primer secara profesi tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang memadai, sehingga penanganan penyakit tidak
sesuai standar. Selain itu, sering terjadi pemakaian berbagai obat secara
tidak tepat yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakefektifan biaya, dan juga
masalah-masalah lain seperti resistensi obat akibat pemakaian obat antibiotik. Penulis
berpendapat bahwa fenomena tersebut sempat terjadi akibat pelayanan kesehatan
di Indonesia prosesnya lama dan mekanismenya sulit. Sedangkan masyarakat lebih
menyukai sesuatu yang prosesnya cepat dengan mekanisme yang sederhana, sehingga lebih mudah dipahami.
Sebab lain yaitu biaya pengobatan alternatif lebih
terjangkau dibanding pengobatan dokter yang harus membayar jasa konsultasi dan
menebus resep obat. Di sisi lain, pemerintah
telah berupaya
memberi keringanan bagi masyarakat dalam berobat dengan rilisnya kartu jaminan
kesehatan pada tahun 2014 yang
diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Namun pada
pelaksanaannya dirasa kurang maksimal, terbukti dari munculnya
berbagai headline artikel yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan di
Indonesia masih buruk. Melansir
dari ombudsman.go.id/
menyatakan bahwa diterima banyak laporan
masyarakat yang mengeluhkan pelayanan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Beberapa keluhan tersebut meliputi panjangnya antrean dan penolakan pasien. Di lain media, aceh.tribunnews.com/
juga melaporkan tentang Warga Keluhkan Buruknya
Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Samar Kilang.
Hal ini membuktikan bahwa upaya pemerintah dalam mencetuskan program BPJS dinilai belum sukses. Masih banyak kontroversi yang kerap ditimbulkan, seperi isu pihak rumah sakit menomor duakan pasien BPJS, kenaikkan premi yang tidak berbanding lurus dengan fasilitas pengobatan yang didapatkan, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, dalam menangani segala lika-liku pelayanan pengobatan, Indonesia dapat belajar dari negara-negara dengan pelayanan pengobatan yang baik, contohnya seperti Malaysia. Negeri Jiran tersebut dinobatkan sebagai negara dengan layanan kesehatan terbaik di dunia oleh International Living Annual Global Retirement Index 2019. Dikutip melalui kompasiana.com salah seorang dokter Malaysia mengungkapkan bahwa dalam pelayanan kesehatan harus mementingkan kepuasan pasien yang meliputi pelayanan, fasilitas, dan harga.
Pelayanan kesehatan yang dimaksud berkaitan erat dengan tenaga professional. Jika dibandingkan dengan jumlah pasien setiap harinya, Indonesia masih dalam lingkup kekurangan tenaga medis. Sebagai gambaran, seorang dokter di puskesmas dalam sehari dapat menangani hingga 50-100 pasien, anggap saja waktu konsultasi dokter 15 menit per pasien, maka jam kerja dokter tersebut tidak cukup 24 jam. Guna menyiasatinya, tak jarang dokter mengecek keadaan pasien dengan terburu-buru, sehingga sangat mungkin jika hasil pemeriksaannya cenderung asal-asalan. Poin kedua mengenai fasilitas, masih menilik negara tetangga, Malaysia memiliki fasilitas diagnostik/terapi yang lengkap di tiap rumah sakit. Dengan begitu pasien tidak perlu dirujuk kesana kemari untuk pemeriksaan/terapi. Jelas berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia, fasilitas yang minim mengharuskan pasien sibuk mengurus surat rujukan ke rumah sakit lain. Terakhir, harga obat dan alat kesehatan di Indonesia tergolong mahal dikarenakan hampir semuanya merupakan barang import yang mana saat masuk Indonesia terkena bea masuk sebesar 30% dan pajak penjualan 10% di rumah sakit.
Sangat disayangkan mengetahui fakta bahwa Indonesia masih keteteran dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang baik. Jika terus berjalan seperti ini, tak heran dalam 1-2 tahun lagi masyarakat akan hilang kepercayaan dengan pelayanan kesehatan di Indonesia dan lebih memilih berobat ke Ponari-Ponari lain. Padahal belum ada penelitian ilmiah yang mengonfirmasi bahwa sebutir batu yang dicelupkan ke air minum dapat menyembuhkan penyakit. Jadi, pemerintah harus lebih berupaya meraih kepercayaan masyarakat untuk berobat secara medis agar tidak lagi terkecoh oleh tahayul-tahayul semacamnya.
*) Kru Magang LPM Frekuensi, jurusan Pendidikan Biologi
0 Komentar