Oleh: Anton Tubagus*)

Saat kita kecil, segala pilihan di hidup kita lebih banyak diambil alih oleh orang tua. Mulai dari membeli pakaian, tempat pendidikan dan hal-hal sederhana lainnya.

Kebiasaan dipilihkan pada umumnya mulai berkurang seiring bertambahnya umur apalagi jika sudah menginjak kuliah. Mahasiswa dituntut untuk menjadi mandiri.

Ketika menginjak dunia perkuliahan, banyak sekali berbagai macam pilihan hidup dibanding saat masa SMA. Misal ketika lulus dari SMA kita yang memilih kuliah harus disibukan dengan  menentukan kampus, menentukan jurusan, di mana pilihan-pilihan penting tersebut begitu menguras energi dan perlu pertimbangan yang benar-benar matang, sampai review banyak kampus dan jurusan untuk mendapat pilihan yang tepat untuk diri. Jika sudah masuk kampus pun masih banyak pilihan yang harus dipilih, mulai dari mau kost dimana, organisasi yang ingin di ikuti apa saja, memilih mata kuliah pilihan dan hal lainnya. Kadang kita merasa lelah saat memilih karena terlalu banyak pilihan yang perlu dipertimbangkan. Tentu kita semua mengharapkan pilihan terbaik. Rasa takut sering hinggap saat memilih. Takut tidak mendapatkan pilihan yang lebih baik. Ragu dan bingung mengepung pikiran dan hati saat hendak memilih.

Saat sudah memilih pun, hantu yang bernama "cemas" terus menggentayangi. Peristiwa tersebut dinamakan FOBO (Fear Of Better Options; Takut akan pilihan yang lebih baik).

FOBO adalah perasaan yang membuat banyak pengidapnya terdiam bahkan serasa lumpuh karena kewalahan dalam menentukan suatu pilihan.

Istilah FOBO pertama kali dicetuskan oleh Mc Ginnis. Sebelumnya Mc Ginnis menciptakan istilah FOMO atau Fear Of Missing Out  dalam artikel Harvard Bussiness Scholl yang  menggambarkan suatu perasaan tidak nyaman karena  berpikir bahwa orang lain lebih banyak memiliki pengalaman, lebih baik dari pada kita, lebih pintar, lebih kaya, lebih trendy. Singkatnya FOMO adalah perasaan takut tertinggal.

Jika FOMO adalah perasaan takut tertinggal dari orang lain, FOBO adalah perasaan takut tidak mendapatkan pilihan yang lebih baik. FOBO membuat ragu, membuat menyesal atas pilihan yang telah dibuat, merenggut ketenangan. FOBO juga membuat lamban dalam  berkembang karena terlalu banyak waktu yang digunakan hanya untuk memilih.

Gambaran apabila kita terjangkit FOBO;  ketika memilih, fokus utama pikiran langsung ke pertanyaan “Mana pilihan yang terbaik? mana yang lebih baik?”. Kita akan terus mencari, memilih pilihan terus-menerus tanpa henti. Kegiatan mencari pilihan terasa  lebih menarik dan asyik ketimbang segera memutuskan dan bertindak.

Perilaku terus-menerus mengumpulkan pilihan inilah yang membuat jebakan dalam pikiran yang akhirnya membuat ambiguitas sehingga sangat sulit mengatakan "ya" dan sangat sulit untuk mengatakan "tidak" dengan pasti. Pada  kondisi ini lah kita merasakan kelumpuhan analitis (ketidakmampuan dalam memilih) atau FOBO.

FOBO juga menjadi alasan mengapa terjadi prokrastinasi atau prilaku menunda-nunda pekerjaan. Hidup sangat sulit dijalani dan dinikmati tat kala FOBO menjangkit. Tiap waktu dan tenaga banyak dihabiskan hanya untuk memikirkan setiap pilihan tapi selalu menunda-nunda dalam mengambil keputusan. 

FOBO tidak hanya berbahaya untuk diri kita sendiri, namun bisa merugikan orang di sekitar kita  juga. Misalnya dalam dunia akademik kampus, jika seorang pengidap FOBO masuk dalam organisasi dan dihadapkan pada sebuah pilihan kepanitiaan, pengidap FOBO akan cenderung tak berani mengambil peran dan berkomitmen atau ia berani namun nanti tiba-tiba membatalkannya. Akhirnya pengidap FOBO sulit dipercaya untuk berkomitmen karena ketika ada hal yang lebih baik, pengidap FOBO akan berubah pikiran, meminta maaf lalu menarik diri atau tetap menjalankan amanah namun dengan setengah hati. Para pelaku  ghosting yang menghilang begitu saja adalah termasuk yang mengidap FOBO. Komitmennya berubah saat melihat ada yang lebih baik (bagi dirinya). Mudah mengingkari janji. Pengidap FOBO adalah orang yang menyebalkan.

Jika dilihat dari sisi emosional, FOBO ini di dasari oleh sikap narsisme. Karena saat mengalami FOBO, pengidap menempatkan kepentingan dirinya di atas kepentingan banyak orang. Pengidap FOBO  selalu berpikir mana yang terbaik bagi dirinya, tanpa memperdulikan apakah  efek dari  pilihannya akan berdampak baik juga bagi orang lain.

Jika dipikir-pikir, FOBO itu hanya menghampiri orang yang kaya. Kaya dalam artian banyak memiliki pilihan. Jika hanya ada 1 pilihan, tidak akan ada kebingungan memilih mana yang lebih baik.

Dalam studi Lepper (1999, 2000) bahwa mereka yang diberikan lebih sedikit pilihan dalam tugas pengambilan keputusan memperoleh kepuasan yang lebih besar dari hasil keputusan mereka.

McGinnis selaku pencetus istilah FOMO dan FOBO memberikan saran melalui bukunya untuk selalu belajar dalam membuat pilihan dan menjalani komitmen. Sebaik apapun kita membuat rencana. Hidup selalu membawa kita kepada hal-hal yang tak terduga. Kita mungkin menginginkan yang terbaik, tapi siapapun yang hidup cukup lama akan paham bahwa kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Buatlah keputusan sebaik mungkin dan sadari masa depan akan terjadi dengan sendirinya. Dari pada kita mencari terus menerus pilihan yang "lebih baik", memuaskan adalah strategi  pengambilan keputusan yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

Dari pada memilih pilihan berdasarkan mana yang terbaik atau yang lebih baik yang membutuhkan waktu lama dan itu pun tidak pasti, McGinnis memberi saran untuk mencari pilihan yang memuaskan.  Mengambil keputusan berdasarkan kepuasan bukan berdasarkan mana yang terbaik. Hal tersebut menghindari diri dari rasa tidak puas akibat FOBO dan merasa puas akan pilihan walau pilihan tersebut bukan yang terbaik.

Diperkuat lagi oleh teori Herbert Simon (1955,1956) menyatakan bahwa dari pada memaksimalkan, kita harus "memuaskan" saat mengambil keputusan. Saat orang merasa puas, kecil kemungkinannya untuk mengalami penyesalan karena tidak memilih pilihan "yang terbaik". Walaupun pilihan terbaik itu datang ketika keputusan sudah dibuat.

Becky Bearupre Gillespie mengatakan "Buatlah hidup lebih mudah dengan menerima yang "cukup baik", cukup baik adalah kesempurnaan baru.

FOBO adalah sesuatu yang harus diperangi. Karena ia akan terus merenggut ketenangan, kedamaian, keproduktivitasan di dalam hidup.

*) Kru Magang LPM Frekuensi, mahasiswa Biologi