Sumber: LINTASPRIANGAN.com

Semarang, KABARFREKUENSI.COM-Rencana pemangkasan anggaran daerah hingga 25% dari total APBD untuk 2026 kini menjadi sorotan publik. Pemerintah pusat mengklaim langkah ini sebagai upaya efisiensi anggaran untuk membiayai program nasional, mulai dari makan siang gratis di sekolah hingga pembangunan infrastruktur. Pengurangan anggaran mungkin terdengar logis, tetapi menimbulkan pertanyaan serius: apakah kebijakan ini untuk kepentingan rakyat atau justru sebuah eksperimen politik yang berpotensi merusak kedaulatan dan layanan daerah?

Pemangkasan anggaran secara signifikan dapat menurunkan kemampuan daerah untuk merespons kebutuhan warga. Sejumlah daerah sangat mengandalkan APBD untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan program sosial. Tanpa strategi pengurangan yang matang, alih-alih efisiensi, yang terjadi justru menurunnya kualitas layanan, seperti kekurangan dana operasional sekolah, alokasi rumah sakit yang berkurang, dan tertundanya proyek infrastruktur. 

Pemangkasan anggaran pusat juga memicu risiko kenaikan pajak lokal. Beberapa kepala daerah mungkin merasa terpaksa menaikkan retribusi atau pajak untuk menutupi kekurangan anggaran. Akibatnya langsung dirasakan masyarakat, mulai dari menurunnya daya beli, meningkatnya ketidakpuasan, hingga potensi protes di lapangan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pemangkasan anggaran bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga politik lokal yang berdampak sosial. Tidak semua daerah memiliki kapasitas ekonomi yang sama; daerah dengan basis ekonomi rapuh akan merasakan dampak lebih berat dibanding kota besar. Perbedaan daya tahan inilah yang menuntut adanya strategi bersama agar kebijakan pemangkasan tidak memperlebar kesenjangan antarwilayah.

Tantangan lainnya adalah bagaimana pemerintah pusat dan daerah dapat bekerja sama agar anggaran tetap efisien tanpa mengorbankan kualitas layanan dan otonomi lokal. Pemotongan anggaran seharusnya dilakukan secara kolaboratif, dengan komunikasi terbuka antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Strategi yang bisa dipertimbangkan termasuk pengurangan bertahap, kompensasi untuk proyek prioritas lokal, dan alokasi insentif untuk daerah yang kehilangan sumber daya signifikan.

Selain itu, transparansi dan komunikasi publik harus diperkuat. Warga berhak mengetahui alasan pengurangan anggaran, dampaknya, dan langkah pemerintah mengatasinya. Dengan begitu, kebijakan dipandang bukan sekadar tekanan politik, melainkan sebagai upaya efisiensi yang adil dan terkendali. Media, akademisi, dan masyarakat sipil juga perlu mengawasi implementasi kebijakan agar tidak merugikan warga.

Transparansi inilah yang membangun kepercayaan. Ketika anggaran dikelola secara terbuka, risiko protes dan ketidakpuasan publik dapat ditekan. Singkatnya, pemangkasan anggaran hanya bisa diterima jika dijalankan sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan.

Pemangkasan anggaran yang dilakukan melalui komunikasi terbuka, transparansi, dan strategi yang tepat dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Sebaliknya, kesalahan langkah justru bisa merusak efisiensi sekaligus menurunkan kepercayaan masyarakat dan kedaulatan daerah. Pemangkasan anggaran daerah juga dapat menjadi ujian bagi politik dan tata kelola publik Indonesia: apakah kita mampu menyeimbangkan efisiensi, akuntabilitas, dan kesejahteraan warga, atau hanya menjadikannya eksperimen politik semata?

Kabar: Devita Mutiara Putri (Kru Magang LPM 24)

Editor: Dian Nur Hanifah (Kru LPM 23)