Aku pertama kali melihatnya di sebuah latihan
gabungan antarperguruan. Namanya Arsa. Dia mengenakan seragam hitam dan sabuk hijau,
wajahnya dingin tapi penuh kharisma. Saat itu, dia memimpin sesi pemanasan, dan
aku… ya, bisa dibilang langsung terpesona. Tapi semua hanya kupendam dalam
diam.
“Namamu siapa?” Arsa menghampiriku saat istirahat.
“Nayla,” jawabku cepat, sedikit gugup.
“Bagus juga gerakanmu tadi. Kelihatan udah lama
latihan.”
Aku cuma tersenyum. Rasanya jantungku nyaris
lompat.
Tapi beberapa minggu setelah latihan itu, aku
jadian bukan dengan Arsa, melainkan Reza seseorang dari organisasi yang sama
yang lebih dulu menyatakan perasaannya padaku. Arsa hanya jadi bagian kenangan
singkat, itu yang kupikirkan.
Tiga minggu setelah aku dan Reza resmi jadian, ada
kegiatan kemah latihan bela diri di lereng Gunung Ungaran. Semua anggota
diwajibkan ikut, termasuk Arsa. Aku sempat berharap dia tidak hadir, karena…
entah kenapa, kehadirannya membuat hatiku campur aduk.
Tapi dia datang. Dengan jaket loreng organisasi,
senyum tenang, dan langkah yang selalu kelihatan yakin.
Saat malam pertama, kami berkumpul melingkar di
sekitar api unggun. Kak Eko menyuruh tiap peserta memperkenalkan diri ulang
dengan gaya bebas, supaya lebih akrab. Beberapa bercanda, ada yang nyanyi, ada
yang pantun.
Arsa berdiri. Suaranya tenang, tapi terdengar
jelas.
“Nama saya Arsa. Saya suka silat, kopi pahit, dan
hal-hal yang tidak bisa ditebak.”
Tawa kecil terdengar dari peserta. Aku ikut
tersenyum, meski tidak tahu pasti, kenapa jantungku berdebar lagi malam itu.
Di sela kegiatan, aku sempat menyendiri di dekat
tenda sambil merapikan ikat pinggang latihan. Tiba-tiba suara itu muncul di
belakangku.
“Masih sama Reza?”
Aku menoleh cepat. Arsa berdiri, kedua tangannya
masuk ke saku celana.
“Iya… masih,” jawabku pelan.
Dia hanya mengangguk, lalu duduk di atas batu besar
tak jauh dariku.
“Bagus. Dia orang yang sabar.”
Aku tidak tahu maksud kalimatnya. Tapi malam itu,
percakapan kami tak berlanjut dan aku mulai sadar... rasa itu belum pergi. Tidak
sepenuhnya.
Setelah kegiatan kemah itu, hari-hariku bersama
Reza semakin padat. Kami sering pergi bareng, bukan hanya untuk latihan silat, tetapi
juga untuk hal-hal sederhana seperti beli makan malam bareng atau duduk berdua
di pojok kantin sambil bahas tugas kampus.
Reza orang yang sederhana, nggak banyak omong, tapi
selalu hadir. Pernah suatu malam, aku stres berat karena tugas paper mata
kuliah Teori Pendidikan belum selesai, padahal tenggat tinggal beberapa jam.
“Aku nggak ngerti bagian ini, Rez. Diagramnya harus
pakai analisis, terus dikaitin sama bab teori, tapi otakku udah nge-freeze,”
keluhku sambil membanting bolpoin ke atas meja.
Dia duduk di sampingku, membawa dua gelas kopi dari
warung sebelah.
“Minum ini dulu, Terus bagi dua tugasnya. Kamu kerjain
teorinya, aku bantu nyusun tabel dan struktur analisisnya.”
Aku meliriknya. “Kamu yakin ngerti?”
“Enggak. Tapi kita bisa cari tahu bareng.”
Malam itu kami kerja sampai hampir subuh. Dia tak
banyak mengeluh, hanya sesekali menguap lalu melanjutkan ngetik. Di sela-sela
jeda, dia cerita hal-hal lucu yang bikin aku tertawa sebentar, lalu kembali
fokus.
Saat tugas akhirnya terkirim, aku bersorak pelan
dan langsung menjatuhkan kepala ke mejaku. Reza hanya menatapku sambil
tersenyum.
“Kalau kamu udah jadi guru nanti, jangan lupa
bilang ke murid-murid kamu bahwa kamu
dulu dibantu pacarmu ngerjain tugas,” katanya bercanda.
“Kalau kamu masih pacarku waktu itu.”
Dia terdiam sebentar, lalu menoleh ke arahku.
“Aku bakal tetap jadi pacarmu. Kalau kamu masih
mau.”
Dan malam itu, aku percaya.
Aku percaya bahwa Reza adalah tempat yang tepat.
Tapi ternyata, percaya saja tidak pernah cukup.
Hubunganku dengan Reza tak berjalan lama. Terlalu
banyak cemburu yang tak berdasar dan kecocokan yang dipaksakan. Kami putus
tanpa banyak drama. Aku fokus lagi pada kegiatan organisasi. Hingga takdir,
dengan isengnya, mempertemukanku lagi dengan Arsa.
Kami bertugas bareng jadi panitia seminar bela
diri. Aku gugup waktu itu, tapi mencoba terlihat biasa saja. Di sela kegiatan,
aku mendekatinya.
“Arsa… eh, boleh pinjem charger gak? Hpku lowbat
banget.”
Dia mengangguk sambil mengeluarkan charger dari
tasnya. “Besok balikin ya.”
Tapi charger itu baru kukembalikan seminggu
kemudian, di markas organisasi. Saat aku mengulurkannya, dia hanya nyengir.
“Baru inget?”
“Maaf... ke bawah tas terus, gak sengaja.”
Dia tertawa kecil. “Gak papa, yang penting kamu
inget.”
Hari-hari berikutnya, kami jadi lebih sering
ngobrol. Awalnya cuma soal tugas organisasi, lalu merembet ke hal-hal pribadi.
Obrolan itu seringkali berawal dari hal sepele.
Arsa: “Nay, rapat jam 3 atau jam 4
sih? Aku takut salah dateng, ntar malu.”
Nayla: “Jam 3, tapi tenang aja. Malu mah udah langganan kamu kayaknya 😆”
Arsa: “Wah, mulai berani nge-roasting ketua harian, ya?”
Nayla: “Biar kamu inget terus, bosku yang gampang panik.”
Kadang, saat bertemu langsung di markas, dia duduk
di depanku sambil ngemil roti, sok serius memandang layar laptop padahal cuma
buka YouTube.
“Lihat nih Nay, ini video silat Thailand. Gerakannya
cepet banget, kayak Naruto,” katanya sambil nunjuk layar.
Aku tertawa. “Tapi kamu belum pernah secepet itu
geraknya di latihan.”
“Makanya biar bisa kayak gitu, aku butuh dukungan
moral dari kamu.”
“Apaan coba...” ucapku sambil melempar tatapan pura-pura
kesal.
Pernah suatu malam, dia tiba-tiba ngechat panjang.
Setelah itu, dia mulai lebih terbuka. Cerita soal
keluarganya, soal ayahnya yang jarang di rumah, soal kenapa dia sering terlihat
cuek tapi sebenernya gampang mikir.
Aku mulai terbiasa dengar notifikasi dari namanya.
Mulai terbiasa menanti jawabannya meski cuma satu kata. Mulai terbiasa
menyimpulkan perasaan sendiri walau kami belum benar-benar punya ikatan.
Pagi-pagi kadang dia chat:
Arsa: “Jangan lupa sarapan. Biar semangat marahin
panitia yang telat ✌️”
Dan aku balas:
Nayla: “Siap, bos Arsa. Tapi kalau aku pingsan, kamu
yang tanggung jawab.”
Lalu dia jawab dengan stiker kocak atau voice note
setengah ngantuk yang bikin aku senyum sendiri.
Semua terasa hangat. Tapi… belum pernah benar-benar
jelas.
Suatu malam, dia mengajakku keluar setelah rapat.
Kami duduk di bangku taman kampus, hanya diterangi lampu taman dan langit yang
hampir gelap sempurna.
“Nayla,” katanya, memandang lurus ke depan. “Dulu,
waktu pertama kali lihat kamu… aku suka.”
Aku menoleh kaget. “Hah? Serius?”
Dia mengangguk pelan. “Tapi ya gitu. Reza duluan jadi
aku mundur.”
Hatiku rasanya campur aduk. “Kenapa gak bilang?”
“Gak tahu, mungkin aku terlalu banyak mikir.”
Kami tak jadian malam itu. Tapi sejak hari itu,
kami makin dekat. Saling menyapa tiap pagi lewat chat, kerja bareng di
kegiatan, kadang telepon larut malam hanya untuk bahas hal random.
Dan entah sejak kapan, aku mulai menantikan semua
itu.
Pagi itu, aku baru saja membuka mata ketika
notifikasi dari Arsa muncul:
Arsa: “Pagi, Nay. Udah sarapan belum?”
Nayla: “Baru bangun. Mager ke dapur 😩”
Arsa: “Jangan kelamaan mager, ntar sakit. Aku
kirimin roti ke pos satpam ya, ambil aja nanti.”
Aku terdiam cukup lama menatap pesannya, lalu
mengetik dengan hati yang hangat.
Nayla: “Serius? Arsa baik banget sih.”
Arsa: “Jangan baper ya, nanti aku bingung tanggung
jawabnya gimana 😆”
Nayla: “Yah, padahal udah niat ngatur undangan lamaran.”
Arsa: “Nayla 😳”
Aku tertawa kecil, membayangkan ekspresinya saat
membaca itu. Candaan kami mulai terasa berbeda, kadang terlalu dekat, kadang
terlalu ambigu. Tapi aku menyukainya. Bahkan sangat menyukainya.
Beberapa malam kemudian, kami teleponan setelah
rapat organisasi.
“Capek?” tanyanya dari seberang suara.
“Lumayan. Tapi seneng, akhirnya progress kegiatan
jalan juga,” jawabku sambil memeluk bantal.
“Kalau kamu capek banget, boleh kok rehat dari
semua ini,” katanya pelan. “Kamu terlalu sering mikirin semuanya sendirian.”
“Aku nggak sendirian. Ada kamu, kan?” kataku
spontan.
Hening. Beberapa detik tak ada suara.
“Iya,” ujarnya akhirnya, pelan. “Ada aku.”
Percakapan kami berlanjut, tentang hal-hal kecil.
Tentang dia yang ketiduran pas nonton anime, tentang aku yang gagal bikin telur
dadar. Tapi semua terasa begitu nyaman. Aku merasa seperti… kembali jatuh
cinta. Tapi kali ini, dengan versi Arsa yang lebih dekat, lebih nyata.
Namun, di balik semua itu, aku tahu satu hal, kami
belum jadian. Dan tidak pernah benar-benar bicara ke mana arah hubungan ini
akan melaju.
Tapi aku terlalu menikmati kebersamaan ini, hingga
rasanya... terlalu berisiko jika harus bertanya lebih dulu.
Beberapa minggu setelah kedekatan kami menghangat,
Arsa mulai berubah.
Notifikasi dari namanya mulai jarang muncul. Kalau
dulu dia hampir selalu jadi orang pertama yang menyapaku pagi-pagi, kini hanya
ada pesan-pesan kosong yang muncul dua atau tiga hari sekali dan itu pun, hanya
saat ia butuh sesuatu.
Arsa: “Nay, kamu masih punya file laporan yang
kemarin gak?”
Nayla: “Ada. Mau aku kirim sekarang?”
Arsa: “Iya, makasih banget. Kamu emang andalan.”
Setelah kukirim, tidak ada balasan. Tidak ada emot,
tidak ada “udah diterima”, tidak ada “makasih” lagi seperti biasanya.
Awalnya aku mencoba maklum. Mungkin dia sibuk, tapi
ketika kami bertemu langsung di markas untuk rapat, dia pun bersikap biasa terlalu
biasa. Tak ada lagi obrolan kecil setelah rapat, tak ada candaan sarkas yang
dulu sering membuatku geli sendiri.
Keesokan malamnya, aku memberanikan diri
menghubunginya duluan:
Nayla: “Arsa, kamu sibuk banget akhir-akhir ini ya?”
Dibaca. Tapi tak kunjung dibalas. Dua jam, tiga
jam, semalam penuh sunyi.
Keesokan harinya, dia baru membalas.
Arsa: “Maaf, ketiduran. Banyak kerjaan juga. Bentar
lagi lomba, aku latihan terus.”
Aku percaya. Aku mencoba mengerti tetapi semakin
hari, pola itu terus berulang.
Arsa tak pernah benar-benar hadir kecuali saat dia
butuh bantuanku.
Suatu siang dia datang terburu-buru ke mejaku di sekretariat.
“Nay, pinjem kertas HVS dua lembar Sama map plastik
kalau ada. Aku lupa bawa,” ucapnya.
Aku mengangguk, menyerahkan barang-barang itu
sambil tersenyum kecil. “Ini, Good luck ya presentasinya.”
“Makasi banget, kamu penyelamat.” Lalu dia pergi tanpa
sempat bertanya kabarku.
Malamnya aku mencoba menertawakan diriku sendiri.
Bagaimana bisa, aku yang dulu pernah merasa
dicintai, kini hanya jadi tempat singgah, tempat meminjam, tempat meminta
tolong.
Beberapa hari kemudian, aku duduk sendiri di pojok
ruang latihan, menatap layar HP kosong. Aku membuka ulang semua percakapan kami
dari yang hangat, sampai yang kini hanya satu-dua kata. Hati ini perih, tapi
diam.
Lalu aku kirim satu pesan lagi, hanya satu kalimat:
Nayla: “Sebenarnya, aku ini siapa buat kamu, Arsa?”
Dan seperti biasa, pesan itu hanya dibaca dan tak
dibalas.
Aku masih mencoba bersikap biasa, masih menahan
harap, meski mulai tahu: arah perasaan ini tak searah.
Suatu malam, setelah rapat online selesai, aku
mengirim pesan ringan. Candaan kecil, mencoba menghidupkan kembali kehangatan
yang dulu pernah ada.
Nayla: “Kalau dulu aku gak jadian sama Reza,
kira-kira kamu bakal tembak aku gak sih?”
Lama tak dibalas.
Satu jam.
Dua jam.
Akhirnya, jawabannya datang:
Arsa: “Hehe… gak tahu ya. Tapi kayaknya kamu emang
cocoknya jadi temen cerita.”
Dadaku nyeri seketika. Candaan yang kubuat untuk
mencairkan suasana malah menjadi palu godam yang menghancurkan sisa-sisa
harapan.
Aku hanya tertawa hambar, menatap layar sambil
bergumam, “Temen cerita? Tapi cuma dicari pas butuh aja?”
Malam itu aku membuka semua percakapan kami, lagi.
Menyadari polanya:
Arsa hadir hanya saat dia butuh bantuan.
Saat ada dokumen yang harus diketik cepat.
Saat motor kehabisan bensin dan dia lupa bawa
dompet.
Saat dia butuh tempat curhat karena temannya di
kampus bertingkah menyebalkan.
Tapi saat aku butuh dia?
Hanya centang dua dan tanpa balasan.
Beberapa hari kemudian, dia datang ke sekretariat.
Wajahnya seperti biasa: tenang, ramah seolah tak pernah ada yang berubah.
“Nay, pinjem laptopmu bentar dong. Punya aku lagi
error, mau ngedit poster acara,” katanya ringan.
Aku menatapnya lama. Dulu aku akan langsung
mengangguk dan bilang, “Silakan.” Tapi hari itu… ada jeda.
“Kenapa gak pinjem yang lain aja?” tanyaku datar.
Dia terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Kamu
kan biasanya paling cepet bantu.”
Aku tertawa pelan, getir.
“Lucu ya. Aku paling cepet bantu, tapi kamu paling
lambat balas waktu aku tanya sesua atau bahkan gak balas sama sekali.”
Arsa mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
“Maksudku… aku capek, Arsa. Capek jadi tempat
singgah, capek pura-pura kuat.”
Dia terdiam, dan seperti biasa tidak menjelaskan
dan tidak juga meminta maaf.
Hanya hening.
Dan hening itulah yang akhirnya menyadarkanku.
Aku mulai membenci caranya menggantung harapan.
Membenci caranya selalu hadir dengan senyum dan pujian ketika butuh sesuatu,
lalu menghilang seperti angin ketika semuanya selesai.
Dan yang paling menyakitkan?
Aku membenci diriku sendiri karena terlalu lama
mengira itu cinta.
Setelah percakapan dingin itu di sekretariat, aku
pulang dengan langkah berat. Hujan gerimis menyambut di luar, dan entah kenapa semua
terasa pas: udara yang dingin, jalanan sepi, dan isi kepalaku yang kacau.
Di kamarku, aku duduk lama menatap layar ponsel.
Membuka pesan terakhir dari Arsa, pesan-pesan lama, kenangan yang seolah manis
tapi ternyata hanya jebakan semu. Aku scroll ke atas, ke bagian-bagian obrolan
yang dulu membuatku senyum sendiri. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, semua
kalimat itu terasa… kosong. Kosong dan basi.
“Aku yang bodoh,” gumamku pelan. “Bukan karena
jatuh cinta... tapi karena berharap terlalu banyak dari orang yang bahkan tak
pernah berusaha menetap.”
Aku menangis, tetapi bukan karena patah hati aku
menangis karena sadar... aku telah menyia-nyiakan rasa, waktu, dan kesetiaan
pada orang yang hanya datang saat butuh. Arsa bukan tempat pulang, dia hanya
persinggahan yang pandai berkata manis, dan aku... aku yang terlalu mudah percaya.
Untuk pertama kalinya sejak pertemuan kami di
latihan silat waktu itu, aku benar-benar marah bukan hanya kecewa, tetapi marah,
Kesal, dan Muak.
“Aku membencimu, Arsa,” bisikku, seperti mantra
yang harus kulafalkan agar hatiku bisa tenang.
Bukan benci karena dia jahat, tetapi karena dia
pengecut tidak pernah berani jujur dan tidak pernah berani memilih, hanya
datang untuk mengambil, lalu pergi ketika sudah mendapat.
Dan malam itu, aku tahu satu hal dengan pasti.
Aku sudah salah memilih orang.
Karya: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)
Editorial: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)
0 Komentar