Malam itu, aku masih mengingat jelas bagaimana hatiku
berdebar saat menatap layar ponsel. Nama Aal muncul di notifikasi, pesan
singkatnya sederhana:
“Besok jangan lupa sarapan, ya. Jangan suka telat
makan.”
Kata-kata itu membuatku tersenyum sendiri.
Perhatian-perhatian kecil yang ia berikan selama ini membuatku yakin bahwa
hubungan kami lebih dari sekadar teman. Setiap kali aku membaca pesannya,
rasanya dunia menjadi lebih hangat. Aku percaya, hanya aku yang menerima
perhatian sebesar itu darinya. Sejak hari itu, aku semakin yakin bahwa aku dan Aal
sedang berjalan menuju hubungan yang lebih dari sekadar persahabatan.
Hari-hari bersamanya terasa istimewa. Ia selalu
menemaniku pulang setelah kuliah, mengingatkan saat aku lupa mengerjakan tugas,
bahkan menghiburku ketika sedang bad mood. Dalam pikiranku, apa lagi kalau
bukan cinta yang ia tunjukkan? Aku mulai percaya diri bahwa kami saling
memiliki, meski tanpa ada kata “pacaran” yang terucap. Aku menunggu momen
ketika Aal akan mengungkapkan perasaannya, sama seperti yang aku pendam selama
ini. Aku bahkan sempat menceritakan kepada sahabatku bahwa aku yakin Aal dan
aku hanya menunggu waktu untuk benar-benar bersama. Sahabatku sempat mengingatkan
agar aku tidak terlalu berharap, tetapi aku menolak mendengarkan, karena
perhatiannya terasa begitu nyata.
Kenangan demi kenangan bersamanya membuatku semakin
tenggelam dalam perasaan. Aku masih ingat suatu ketika aku jatuh sakit
menjelang ujian. Aal datang ke kosku membawa bubur hangat dan vitamin. Ia
menemaniku belajar hingga larut malam meski aku berkali-kali menyuruhnya
pulang. Saat itu aku merasa, hanya ia orang yang benar-benar peduli yang mau
melakukan hal seperti itu. Aku semakin yakin bahwa aku adalah orang yang
spesial baginya. Dalam hatiku, aku menunggu pengakuan, kalimat sederhana yang
akan mengubah status kami dari teman menjadi sepasang kekasih.
Ada pula momen saat hujan deras mengguyur kota selepas
kuliah sore. Aku tidak membawa payung, dan Aal tanpa ragu melepas jaketnya
untuk melindungiku dari derasnya hujan. Kami berjalan berdua, basah kuyup namun
penuh tawa. Dalam hati aku semakin yakin, hanya aku yang ada di pikirannya.
Hujan sore itu meninggalkan jejak manis yang terus kuingat, seolah menjadi
bukti bahwa hubungan kami lebih dari sekadar teman biasa. Bahkan, aku sempat
menuliskan kisah itu dalam buku harianku dengan berjudul 'Hujan yang Menyimpan
Janji'.
Namun, keyakinanku mulai goyah ketika suatu hari aku
melihatnya sibuk dengan ponselnya. Ia tersenyum kecil, bahkan tertawa lirih.
Aku penasaran, tetapi menahan diri untuk tidak bertanya terlalu jauh.
“Ada yang lucu?” tanyaku sambil mencoba menyelipkan
senyum.
Aal hanya menjawab singkat, “Iya, ada teman lama yang
tiba-tiba hubungi.”
Saat itu aku percaya begitu saja, meski ada rasa
ganjil yang muncul di dadaku. Sejak hari itu, aku sering mendapati ia tersenyum
sendiri saat membalas pesan, dan setiap kali kutanya, jawabannya selalu samar.
Beberapa minggu kemudian, semuanya terjawab. Suatu sore,
aku melihatnya berjalan bersama seorang gadis di depan gerbang kampus. Tatapan
matanya penuh kehangatan, sama seperti tatapan yang sering ia berikan padaku.
Mereka tampak dekat, bahkan lebih dekat daripada aku dengannya.
Aku berjalan mendekati mereka,
“Hai Aal” sapaku setelah mendekatinya.
“Ehhh iyaa haii…”
“Siapa dia, Al?” tanyaku dengan gugup,
Aal tersenyum santai lalu menjawab, “Oh, ini Dinda,
pacarku. Aku belum pernah kenalin ke kamu, ya?”.
Dunia seakan runtuh dalam sekejap. Kata-kata itu
menusuk, membuat semua rasa yang kupupuk selama ini hancur begitu saja. Aku
terdiam, hanya mampu tersenyum kaku di hadapan mereka, padahal dadaku
bergemuruh penuh kekecewaan.
Sepanjang perjalanan pulang, aku menahan air mata
sekuat tenaga. Namun, begitu sampai di kamar tangis itu pecah. Aku merasa bodoh
karena terlalu cepat menyimpulkan, terlalu larut dalam perhatian yang ternyata
hanya bentuk kepedulian seorang teman. Aku merasa seperti orang yang sedang
bermimpi indah lalu tiba-tiba dibangunkan. Semua bayangan tentang masa depan
yang kubangun bersama Aal runtuh seketika. Malam itu aku tidak bisa tidur, aku hanya
membuka kembali semua pesan kami, membaca ulang kata-katanya, mencoba menemukan
celah yang menunjukkan bahwa ia benar-benar menyukaiku. Namun semakin kubaca,
semakin jelas bahwa tidak ada satu pun yang benar-benar mengarah pada cinta.
Semua hanyalah interpretasiku sendiri.
Hari-hari berikutnya terasa berat. Aku berusaha
menjaga jarak, meski Aal tetap memperlakukanku sama seperti dulu. Ia masih
menanyakan kabarku, masih menawarkan bantuan, bahkan masih menemaniku di
beberapa kesempatan. Tapi kini aku tahu, semua itu bukan tanda cinta, melainkan
bentuk persahabatan yang tulus. Sakit memang, tapi aku mulai belajar menerima
kenyataan. Kadang, orang yang kita kira akan menjadi pasangan justru
ditakdirkan hanya sebagai sahabat.
Aku mulai menulis diary untuk meluapkan semua rasa
yang mengganjal di dada. Di sana, aku menulis tentang bagaimana rasanya
mencintai seseorang dalam diam, tentang bagaimana sakitnya menyadari bahwa
orang yang kita cintai ternyata sudah memiliki orang lain. Tulisan-tulisan itu
menjadi penyelamatku, karena setiap huruf yang kutulis membuat hatiku sedikit
lebih lega. Aku juga mulai membuka diri pada teman-teman lain, mencoba
menemukan kebahagiaan di luar bayangan Aal. Perlahan aku menyadari bahwa
hidupku tidak boleh berhenti hanya karena seseorang yang tak bisa kumiliki.
Mungkin suatu saat nanti aku akan benar-benar bisa
tertawa ketika mengingat semua ini. Aku akan tersenyum, karena pernah percaya
pada sesuatu yang begitu indah, meski ternyata hanya semu. Dan pada akhirnya,
aku menyadari satu hal ‘tidak semua orang yang datang dengan penuh perhatian
akan tinggal sebagai kekasih’. Ada yang hanya singgah untuk menjadi teman, dan
itu pun adalah anugerah yang patut kusyukuri. Dengan kisah ini, aku belajar
bahwa cinta sejati tidak pernah memaksa, ia akan datang pada waktunya dengan
cara yang tepat.
Karya: Melina Novita Sari
Editorial: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)
0 Komentar