Sumber Dokumentasi: Pinterest.id

Aku nggak pernah nyangka, sebuah warung makan sederhana bisa jadi tempat awal persahabatan yang nggak terduga. Malam itu, aku cuma pengen makan setelah rapat organisasi internal kampus yang bikin kepala penuh. Warungnya ramai, kursi hampir penuh, dan akhirnya aku harus berbagi meja sama seseorang yang lagi asik main HP.

Awalnya hening, cuma ada suara sendok ngetok piring. Sampai akhirnya dia nyeletuk,
“Capek juga ya rapat organisasi?”
Aku langsung nengok. “Kok tau?”
Dia nyengir. “Kelihatan dari muka kamu. Lemas banget. Organisasi apa?”
“Internal kampus. Kamu juga organisasi?”
“Iya, tapi eksternal. Beda medan, sama-sama ribet.”

Aku ketawa kecil. “Bedanya, aku ribet di ruangan, kamu ribet di jalan.”
“Ya, sama aja. Sama-sama bikin nggak sempet mikirin makan,” balasnya sambil ngaduk es teh.

Beberapa minggu setelah itu, kami ketemu lagi di warung yang sama. Sama-sama nggak janjian. Aku sibuk buka laptop, dia masuk dengan wajah lelah.
“Woy, ngerjain laporan ya?” tanyanya sambil duduk.
Aku ngangguk. “Deadline, bro. Besok harus kelar. Kamu sendiri?”
“Baru pulang rapat. Rasanya pengen rebahan seharian.”
Aku nyengir. “Rebahan? Bisa? Kayaknya hidupmu udah kontrak sama rapat.”
“Lah, kamu juga. Bedanya, kamu kontrak sama kampus.”

Obrolan ngalor-ngidul gitu bikin malam jadi nggak seberat biasanya. Kadang kami saling lempar pesan singkat di sela kesibukan,
“Eh, jangan lupa makan, ntar sakit.”
“Semangat rapat malem ini, jangan ketiduran.”

Tapi pernah juga aku ngambek karena dia lama banget nggak bales chat. Pas akhirnya ketemu, aku langsung nyerocos,
“Kamu sibuk banget sih? Sampai lupa kalo punya temen.”
Dia ngakak, terus bilang, “Sibuk iya, lupa nggak. Nggak mungkin aku lupa sama kamu.”
Aku pura-pura manyun. “Yakin? Jangan PHP lho.”
Dia cepet-cepet nyaut, “Kalau baper itu urusan kamu, bukan salahku.”
Kami berdua langsung ketawa ngakak, sampai orang di meja sebelah melirik.

Sejak kejadian itu, kami kadang sengaja nyempetin waktu buat jalan-jalan random, meski sama-sama sibuk. Nggak perlu tempat mewah, cukup muter kampus sambil beli jajanan kaki lima, atau sekadar duduk di taman kota.

“Eh, kamu pernah kepikiran nggak sih, kalo hidup tanpa organisasi bakal kayak apa?” tanyaku sambil ngunyah cilok.
Dia ketawa. “Kayaknya bakal lebih sehat, lebih sering tidur, tapi… hidupnya hambar.”
Aku mengangguk. “Iya juga sih. Kayak makan mie instan tanpa bumbu.”
“Pas banget perumpamaannya, laper bener kamu,” candanya.

Kadang obrolan kami absurd, kadang serius. Dari hal-hal receh kayak siapa yang paling boros kuota, sampai mimpi besar tentang masa depan. Dan di antara semua cerita itu, aku sadar meski jalan kami sibuk dan berbeda arah, persahabatan ini selalu nemuin cara buat bertahan.

Kadang aku mikir, pertemuan kami kayak puisi yang sederhana:
Di antara nasi goreng dan kopi hitam,
kita nemuin arti singgah.
Dunia kita beda jalan,
tapi persahabatan selalu punya cara buat nemuin celah.

Karya: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)

Editorial: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)