Semarang,
KABARFREKUENSI.COM - Pulau Sumatera merupakan
salah satu wilayah dengan bentang alam yang kompleks di Indonesia, terdiri dari
pegunungan Bukit Barisan yang membentang dari utara hingga selatan,
lembah-lembah curam, serta kawasan hutan tropis yang menjadi penyangga
ekosistem. Kondisi geografis ini membuat Sumatera memiliki banyak daerah rawan
bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan longsor, terutama saat
curah hujan tinggi terjadi.
Dalam
beberapa tahun terakhir, tekanan terhadap lingkungan akibat perubahan iklim dan
alih fungsi lahan semakin memperbesar risiko bencana di berbagai provinsi di pulau
ini. Tingkat kerawanan tersebut terlihat jelas pada peristiwa terbaru yang
terjadi di akhir November 2025, ketika banjir bandang dan longsor melanda
wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.
Bencana
ini menimbulkan kerusakan luas, menelan korban jiwa, serta memutus akses
berbagai daerah. Menurut laporan Kompas.com, curah hujan ekstrem yang mencapai
300 mm per hari dan dipicu oleh Siklon Tropis Senyar menjadi salah satu
penyebab utamanya.
Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Pelaksana Tugas Kepala Badan
Geologi, Lana Saria, menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor dominan yang memicu
bencana ini. Pertama, curah hujan yang sangat tinggi. Kedua, kondisi
geomorfologi wilayah yang didominasi lereng curam hingga sangat curam. Ketiga,
jenis litologi tanah lapuk yang mudah tererosi, terutama di daerah rentan
seperti Humbang Hasundutan, Agam, Mandailing Natal, Gayo Lues, dan Aceh
Tenggara.
Selain
faktor alam, para ahli juga menyoroti peran aktivitas manusia. Pakar dari
Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Muhammad Rais Abdillah, menyatakan bahwa
sistem siklonik di utara Sumatera mempertebal awan hujan, sementara Dr. Heri
Andreas menambahkan bahwa alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan
permukiman telah mengurangi kemampuan tanah menyerap air, akibatnya, aliran
permukaan meningkat drastis dan memperbesar risiko banjir bandang.
Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara turut menyoroti dugaan
kontribusi tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources. Koordinator
WALHI, Rianda, menuding deforestasi ribuan hektare di hulu Sungai Batang Toru
sebagai faktor yang memperparah banjir di wilayah Tapanuli Tengah. Sejumlah
tokoh, termasuk Wakil Menteri Pekerjaan Umum serta Ephorus Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP), juga menilai bahwa penurunan tutupan vegetasi dan buruknya
sistem penyaluran air berkontribusi besar terhadap tingkat keparahan bencana, sebagaimana
dilaporkan detikEdu.
Hingga
29 November 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat
sedikitnya 174 orang meninggal, dengan rincian 16 orang di Sumatera Utara, 26
di Sumatera Barat, dan 25 di Aceh. Selain itu, 79 orang masih dinyatakan
hilang, dan lebih dari 12.546 keluarga terpaksa mengungsi. BNPB memperkirakan
angka ini masih dapat bertambah karena sejumlah wilayah masih terisolasi.
Di
Sumatera Utara, bencana ini menghantam 17 kabupaten/kota, termasuk Sibolga,
Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Ratusan rumah rusak, dan
sejumlah infrastruktur seperti Jembatan Pandan serta jalur penghubung Sibolga
mengalami kerusakan berat. Sumatera Barat pun mengalami dampak luas di 13
hingga 14 kabupaten/kota, seperti Padang Pariaman, Kota Padang, Agam, Pesisir
Selatan, Solok, dan Bukittinggi.
Banjir
merendam permukiman warga dan longsor memutus akses jalan nasional, menyulitkan
proses evakuasi dan distribusi bantuan. Sementara itu, di Aceh banjir dan
longsor melanda 17 kabupaten/kota, termasuk Aceh Utara, Aceh Timur, Gayo Lues,
Aceh Besar, Singkil, Langsa, Bireuen, Pidie, dan Aceh Tenggara. Wilayah-wilayah
ini mengalami luapan sungai besar-besaran, pemadaman listrik, hingga
terisolasinya sejumlah desa. Hingga 28 November, 35 orang dilaporkan meninggal
dan 25 hilang.
Serangkaian
bencana di Sumatera ini kembali menunjukkan pentingnya memperbaiki cara
pengelolaan lingkungan dan penguatan upaya pencegahan bencana. Hujan ekstrem
memang tidak bisa dihentikan, tetapi dampaknya dapat dikurangi dengan menjaga
hutan, membatasi perluasan perkebunan di daerah rawan, dan menata daerah aliran
sungai (DAS) dengan lebih baik. Para ahli juga menekankan perlunya sistem
peringatan dini serta penataan ruang yang menyesuaikan perubahan iklim, karena
kondisi cuaca ekstrem kini semakin sering dan semakin kuat.
Editor: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)

0 Komentar