Sumber Dokumentasi: detikNew 

Semarang, KABARFREKUENSI.COM - Hujan turun tanpa jeda sejak sore. Langit gelap seperti tertutup tirai tebal. Di Desa Simarloting, Sumatera Utara, suara gemuruh dari arah bukit terdengar makin jelas. Sungai yang biasanya tenang berubah menjadi arus liar yang menggulung batang pohon.

“Mak, airnya naik!” teriak Dila, bocah sepuluh tahun, sambil menunjuk ke halaman rumah yang mulai tergenang.

Ibunya, Sari, menutup pintu dapur yang sudah bergetar setiap kali angin menerpa. “Ambil tas kecil, bawa baju satu-dua. Cepat!”

Lantai rumah mulai bergetar. Dari jendela, lampu-lampu rumah tetangga terlihat redup, sebagian padam. Suara teriakan warga saling bersahutan.

Tiba-tiba terdengar dentuman keras dari belakang bukit.

Brakk!

“Longsor!” teriak seorang pria dari luar rumah. “Cepat keluar! Airnya datang!”

Sari menggenggam tangan Dila erat. “Jangan lepaskan tangan Ibu, ya. Jangan apa pun yang terjadi.”

Air setinggi lutut menerjang pintu, memaksa mereka keluar. Di depan rumah, warga berlarian. Seorang kakek terpeleset, foto keluarga yang ia bawa terjatuh ke air. Ia meraih lagi meski tubuhnya sudah terseret beberapa langkah.

“Pegang, Kek! Pegang tanganku!” seru seorang pemuda sambil menariknya ke tempat yang lebih tinggi.

Arus air semakin keruh, bercampur lumpur dan puing-puing. Dari arah bukit, longsoran besar menggulung pepohonan.

“Lari ke sekolah! Itu titik kumpul!” teriak petugas desa.

Sari menggendong Dila, berlari menembus derasnya air yang makin naik. Di tengah jalan, Dila menoleh ke arah rumah mereka yang mulai roboh bagian belakangnya.

“Bu… rumah kita…”

“Rumah bisa dibangun lagi. Kamu tidak.”

Air makin tinggi. Sari mulai kehilangan keseimbangan. Seorang tetangga, Budi, datang berlari, wajahnya penuh lumpur.

“Sini! Pegang bahu saya! Kita harus cepat!”

Mereka bertiga menyusuri jalan yang kini berubah menjadi sungai coklat. Di kejauhan, suara jeritan wanita terdengar suaminya terseret arus bersama motor. Relawan mencoba mengejar, namun arus terlalu kuat.

“Pak! Tolong… dia hilang!” suara wanita itu pecah, tubuhnya gemetar.

Sari berhenti sejenak, wajahnya ikut basah oleh air mata. “Sabar, Mbak. Kita cari bersama… asal kita selamat dulu.”

Pagi datang tanpa suara burung. Desa yang kemarin hidup, kini seperti dunia yang tertidur dalam luka. Rumah-rumah rusak, jalan tertutup lumpur, pohon tumbang menghalangi sungai.

Di tenda pengungsian, Dila duduk memeluk selimut tipis.

“Bu… Ayah di mana? Sudah dapat kabar?” tanyanya lirih.

Sari mengusap rambut putrinya. “Belum, Nak. Tapi kita terus cari. Banyak yang hilang sejak malam itu…”

Relawan yang baru datang memberikan roti kepada anak-anak. Suara mereka mencoba ramah, meski lelah tidak bisa disembunyikan.

Budi datang membawa kabar. “Ri, data terakhir dari kepolisian… sudah lebih seribu korban terdampak di Sumut. Banyak yang hilang. Kita harus siap dengan apa pun.”

Sari mengangguk pelan. “Yang penting, yang tersisa harus tetap hidup.”

Tiba-tiba tangis pecah dari tenda sebelah. Seorang ibu baru saja diberi kabar bahwa anaknya ditemukan, tapi tak lagi bernyawa. Tangis itu merambat ke seluruh tenda, membuat udara semakin berat.

Dila meraih tangan ibunya. “Bu, jangan pergi ya…”

Sari memeluknya erat. “Ibu akan ada di sini. Kita bangun lagi hidup kita. Pelan-pelan.”

Di tengah duka, warga saling membantu membersihkan puing. Relawan membangun dapur umum. Anak-anak bermain di tanah basah, mencoba melupakan malam panjang yang menakutkan itu.

Di pinggir desa, Sari berdiri memandang reruntuhan rumahnya.

“Air merampas banyak hal,” bisiknya. “Tapi tidak dengan harapan. Itu yang akan kita jaga.”

Dila menggenggam tangannya. “Bu… kita pulang ke sini lagi nanti?”

Sari tersenyum tipis. “Iya. Suatu hari. Ketika luka ini sudah kering.”

Dan di antara sisa lumpur, suara kehidupan perlahan kembali tumbuh kecil, rapuh, tapi nyata. Seperti sinar matahari yang akhirnya menembus awan setelah malam paling gelap.

Karya: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)

Editor: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)