“Mak, airnya naik!” teriak Dila,
bocah sepuluh tahun, sambil menunjuk ke halaman rumah yang mulai tergenang.
Ibunya, Sari, menutup pintu dapur
yang sudah bergetar setiap kali angin menerpa. “Ambil tas kecil, bawa baju satu-dua.
Cepat!”
Lantai rumah mulai bergetar. Dari
jendela, lampu-lampu rumah tetangga terlihat redup, sebagian padam. Suara
teriakan warga saling bersahutan.
Tiba-tiba terdengar dentuman keras
dari belakang bukit.
Brakk!
“Longsor!” teriak seorang pria dari
luar rumah. “Cepat keluar! Airnya datang!”
Sari menggenggam tangan Dila erat.
“Jangan lepaskan tangan Ibu, ya. Jangan apa pun yang terjadi.”
Air setinggi lutut menerjang pintu,
memaksa mereka keluar. Di depan rumah, warga berlarian. Seorang kakek terpeleset,
foto keluarga yang ia bawa terjatuh ke air. Ia meraih lagi meski tubuhnya sudah
terseret beberapa langkah.
“Pegang, Kek! Pegang tanganku!” seru
seorang pemuda sambil menariknya ke tempat yang lebih tinggi.
Arus air semakin keruh, bercampur
lumpur dan puing-puing. Dari arah bukit, longsoran besar menggulung pepohonan.
“Lari ke sekolah! Itu titik kumpul!”
teriak petugas desa.
Sari menggendong Dila, berlari
menembus derasnya air yang makin naik. Di tengah jalan, Dila menoleh ke arah
rumah mereka yang mulai roboh bagian belakangnya.
“Bu… rumah kita…”
“Rumah bisa dibangun lagi. Kamu
tidak.”
Air makin tinggi. Sari mulai
kehilangan keseimbangan. Seorang tetangga, Budi, datang berlari, wajahnya penuh
lumpur.
“Sini! Pegang bahu saya! Kita harus
cepat!”
Mereka bertiga menyusuri jalan yang
kini berubah menjadi sungai coklat. Di kejauhan, suara jeritan wanita terdengar
suaminya terseret arus bersama motor. Relawan mencoba mengejar, namun arus
terlalu kuat.
“Pak! Tolong… dia hilang!” suara
wanita itu pecah, tubuhnya gemetar.
Sari berhenti sejenak, wajahnya ikut
basah oleh air mata. “Sabar, Mbak. Kita cari bersama… asal kita selamat dulu.”
Pagi datang tanpa suara burung. Desa
yang kemarin hidup, kini seperti dunia yang tertidur dalam luka. Rumah-rumah
rusak, jalan tertutup lumpur, pohon tumbang menghalangi sungai.
Di tenda pengungsian, Dila duduk
memeluk selimut tipis.
“Bu… Ayah di mana? Sudah dapat
kabar?” tanyanya lirih.
Sari mengusap rambut putrinya.
“Belum, Nak. Tapi kita terus cari. Banyak yang hilang sejak malam itu…”
Relawan yang baru datang memberikan
roti kepada anak-anak. Suara mereka mencoba ramah, meski lelah tidak bisa
disembunyikan.
Budi datang membawa kabar. “Ri, data
terakhir dari kepolisian… sudah lebih seribu korban terdampak di Sumut. Banyak
yang hilang. Kita harus siap dengan apa pun.”
Sari mengangguk pelan. “Yang
penting, yang tersisa harus tetap hidup.”
Tiba-tiba tangis pecah dari tenda
sebelah. Seorang ibu baru saja diberi kabar bahwa anaknya ditemukan, tapi tak
lagi bernyawa. Tangis itu merambat ke seluruh tenda, membuat udara semakin
berat.
Dila meraih tangan ibunya. “Bu,
jangan pergi ya…”
Sari memeluknya erat. “Ibu akan ada
di sini. Kita bangun lagi hidup kita. Pelan-pelan.”
Di tengah duka, warga saling
membantu membersihkan puing. Relawan membangun dapur umum. Anak-anak bermain di
tanah basah, mencoba melupakan malam panjang yang menakutkan itu.
Di pinggir desa, Sari berdiri
memandang reruntuhan rumahnya.
“Air merampas banyak hal,” bisiknya.
“Tapi tidak dengan harapan. Itu yang akan kita jaga.”
Dila menggenggam tangannya. “Bu…
kita pulang ke sini lagi nanti?”
Sari tersenyum tipis. “Iya. Suatu
hari. Ketika luka ini sudah kering.”
Dan di antara sisa lumpur, suara
kehidupan perlahan kembali tumbuh kecil, rapuh, tapi nyata. Seperti sinar
matahari yang akhirnya menembus awan setelah malam paling gelap.
Karya: Siti Qummariyah (Kru LPM Frekuensi 23)
Editor: Santi Alfifat Khurosyidah (Kru LPM Frekuensi 23)

0 Komentar